Kenangan di Palestina (Kisah Sebelum Vesivatoa)

Tepat setelah shubuh, Geng Dollabella sudah berkumpul di pulau Dollisola. Tak seperti biasanya, hari ini mereka cemas. Ghazi baru saja mendapat tugas untuk membuat naskah drama tentang Palestina. Sebenarnya, sejak dulu Geng Dollabella penasaran tentang Palestina, tapi saat itu mereka belum mengenal Ghazi. Padahal, mereka butuh anak lelaki yang bisa melindungi mereka. Tampaknya, sekarang saat yang tepat. 

“Maaf, apa aku terlambat?” kata Ghazi dengan nafas yang masih terengah-engah. 

“Belum terlambat,” jawab Alana.  “Teman-teman, aku minta maaf kalau ada kesalahanku yang menyakiti kalian. Tempat ini bisa jadi sangat berbahaya. Semoga Allah memberi kita keselamatan.” Yang lain mengaminkan dengan lirih. 

Sampai di dalam tiram teleportasi, mereka serempak mengucap basmalah. 

“Palestina,” ucap Alana sambil menekan tombol T.

Brukk… mereka jatuh di tengah hiruk pikuk. Anak-anak itu berada di depan Masjid Al-Aqsa. Orang-orang berteriak. Banyak tentara Israel di sana. Bahkan ada sekitar empat anak berseragam sekolah yang tengah dikelilingi tentara Israel yang membawa senjata. Ghazi segera sadar bahwa keadaan sangat bahaya. Matanya segera mencari sudut aman. Dengan segera dia melihat ruang sembunyi di balik sebuah jip usang. Ghazi menarik teman-temannya.

“Aah!” Kalma terpeleset tepat setelah berada di balik jip. 

Kipas yang diberikan prof. Nakamura terjatuh dari tas mungilnya dan melesat ke jalanan. Ghazi sigap berlari mengambilnya seraya terus merunduk, jangan sampai terlihat tentara Israel yang terkenal kejam.

Begitu mendapatkan kipas Kalma, Ghazi kembali berlari ke balik jip. Tak sengaja, Ghazi membuka kipas itu. Kilatan cahaya terang menyilaukan mereka. Sebuah suara muncul

“Selamat datang di sistem teleportasi darurat. Silakan pilih tahun!” sebuah layar sentuh muncul di depan mereka. Ghazi segera mengetik : 1910. Kilatan cahaya kembali menyilaukan mereka.

Terdengar  riuh gelak tawa. Mereka membuka mata dan mencoba memperhatikan sekitarnya. Sebuah taman yang luas. Bunga-bunga beraneka warna menghiasi hamparan rumput hijau. Anak-anak kecil berlarian dengan lepas dan ceria. Orang-orang dewasa mengenakan pakaian berwarna-warni. Para wanitanya mengenakan gamis dengan bordir dan kerudung bermanik-manik. Suasana begitu hangat dan ceria.

Alana terpesona pada pemandangan yang ia lihat. “Teman-teman, lihatlah disana!” Alana menunjuk lurus ke depan. 

 “Apakah itu Al-Aqso?” Kalma tercengang. Masjid itu sangat ramai, bersih, dan bersinar. 

Mereka terhenyak selama beberapa menit. Palestina seabad yang lalu sungguh mengagumkan. Begitu aman, makmur, penuh warna-warni yang ceria.

Tiba-tiba, terdengar suara seorang wanita,, 

“Hai … kemari!” Ternyata suara itu berasal dari seorang ibu. Ia melambaikan tangan ke arah mereka. 

Mereka saling berpandangan, tidak yakin kalau ibu dengan mata bulat yang indah itu benar-benar mengenali mereka. Ternyata, beliau benar-benar menghampiri mereka.

“Kalian dari masa depan, ya?” katanya sambil tersenyum. Anak-anak kelas 4 SD itu kaget bukan kepalang. “Prof.Nakamura sudah memberitahu saya,” katanya lagi. “Selamat datang Palestina di tahun 1910! Ayo … kalian harus ikut pesta!”

“Maaf, tapi Ibu siapa? dan bagaimana Ibu tahu tentang Prof. Nakamura?” Tanya Nabiella memberanikan diri. 

“Oh ya.. Nama saya Salma, Prof. Nakamura pernah kemari dan kami banyak berdiskusi, bahkan sampai hari ini. Tempat ini sudah ditandai dan penggunaan alat teleportasi terus diawasi oleh Prof. Nakamura. Jadi, Beliau sudah mengabariku kalau kalian sedang menuju kemari. Ah, sudahlah. Nanti kalian terlambat menyaksikan akad nikah keponakanku!” Ibu Salma lalu dengan lincah memilihkan baju dan kerudung bagi anak-anak itu.

“Nah, ini cocok sekali untuk anak setampan kamu!” Kata Ibu Salma pada Ghazi seraya memberikan jubah dan sorban untuk dikenakan di kepala.

“Wah … kamu cantik sekali Alana!” Pekik Adora melihat Alana mengenakan kostum warna merah dengan bordiran emas, kerudungnya dihiasi manik-manik perak.

“Hey… lihat aku!” kata Nabiella bangga memamerkan pakaian cokelat sutera dengan hiasan hijau keemasan. Kerudungnya pun berwarna coklat sutera. “Aku suka coklat dan hijau, seperti alam!” katanya sambil berputar-putar.

Sementara itu, Kalma menimang-nimang kostum sutera putih berhiaskan bordir warna-warni, tekstur kainnya begitu lembut. Adora malah di luar dugaan memilih warna hitam dan emas, “Aku sedang ingin tampil elegan” katanya berdalih.

“Ayo semua, acara akan dimulai!”  Ibu Salma mengingatkan.

 Ghazi menghampiri teman-temannya,  “Aku akan berkeliling. Kita ketemu satu jam lagi di titik kedatangan?” tanyanya. Keempat sahabat itu setuju.

Upacara akad nikah berlangsung khidmat, pengantin wanitanya sangat cantik bergaun putih keemasan. Setelah upacara selesai, Ibu Salma mengajak mereka ke tempat para wanita berkumpul. Saatnya perjamuan besar. Tentu, Kalma yang paling semangat kalau sudah soal makanan.

Tampah-tampah besar tersaji di tengah ruangan. Wangi rempah-rempahnya sangat menggoda. “Ini Mansaf, nasi rempah dan kaki kambing yang empuk dan lezat,” kata Ibu Salma menjelaskan. 

“Wah, itu taburan almond?” tanya Kalma semangat. 

“Ya! betul sekali, ada saus yogurt dari susu kambing juga,” kata ibu Salma.

“Ayo, kemari!” ajak seorang anak perempuan yang sudah menunggu di sekeliling tampah bersama dua sahabatnya. Mereka pun berkenalan. Ternyata, ketiganya bernama Sarah! Satu Sarah muslim, satu lagi Sarah nasrani, satunya Sarah yahudi. 

Orang pertama menyobek daging paha kambing lalu memberikan pada orang di sebelahnya, begitu seterusnya. Mereka juga mencicipi roti Musakhan, hummus, dan kanafeh yang lezat. Saking asyik makan dan mengobrol, tak terasa hampir satu jam berlalu.

 “Ugh, rasanya sudah tak ada ruang lagi dalam perutku,” Kalma mengelus-elus perutnya. Teman-temannya tertawa melihat tingkah Kalma, mereka pun merasa demikian.

“Alana, sudah satu jam!” Nabiella mengingatkan. 

“Maaf,  kami  harus pulang Ibu Salma,” dengan sungkan, Alana ijin berpamitan. 

Setelah berganti pakaian, Ibu Salma mengantar mereka ke titik kedatangan. Di sana Ghazi sudah menunggu dengan senyum lebar.

“Sudah siapkan kipasnya? Kalian harus sangat berhati-hati.” Ibu Salma menatap mereka khawatir. 

“Baik, Bu. Terima kasih banyak,” kata Ghazi. 

“Palestina sangat indah dan menyenangkan, Bu,” kata Kalma dengan mata berkaca-kaca. 

Teman-temannya teringat dengan keadaan Palestina di masa depan. Mata mereka ikut berkaca-kaca.

“Takdir sudah tertulis. Doakan kami, Anak-anak,” kata ibu Salma seraya memeluk erat mereka berlima. Air mata mereka pun bercucuran.. 

“Segeralah pulang, ” Ibu Salma mengingatkan. “Assalamu’alaikum.” Senyum ibu Salma pun berganti kilatan cahaya putih begitu kipas teleportasi dibuka.

Tiba tiba mereka sudah berada di belakang jip usang. Suara gelak tawa itu berganti desing tembakan, teriakan, dan tangisan. Kalma kembali membuka kipas. Kini mereka berada di ruang serba putih. Tiba saatnya Ghazi menyebutkan kata ‘Dollisola’. Sedetik kemudian, mereka kembali di depan tiram teleportasi.

***

Upacara pagi ini sungguh meriah. Kepala sekolah mengumumkan bahwa penampilan Ghazi dan timnya sukses. Para duta besar mengagumi karya mereka. Dana yang terkumpul pun sangat banyak. Ghazi pun dengan bangga mengacungkan piala itu ke arah Geng Dollabella.

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Kenangan di Palestina (Kisah Sebelum Vesivatoa)”

Tinggalkan komentar