Ketika Gedung Kaleme Dikunci

Kalomolomo adalah nama sebuah kota kecil yang terletak di pinggir hutan. Penduduk Kalomolomo mempunyai kebiasaan unik. Setiap kali mempunyai keinginan, mereka menulis keinginan itu di sebuah batu dan menggantungkan batu itu di langit-langit gedung tua yang bernama Kaleme. Makin besar keinginan seseorang, semakin besarlah batu yang harus digantungkan di Kaleme.

Suatu ketika walikota Kalomolomo mendapat laporan penting. Gedung Kaleme akan runtuh jika penduduk terus menambah batu-batu di langit-langit gedung.

Walikota segera mengumpulkan seluruh penduduk kota. “Mulai esok hari, gedung Kaleme akan dikunci. Kalian tidak boleh lagi menggantungkan batu di sana,” kata Walikota.

Seluruh penduduk protes. Mereka tidak mau mematuhi larangan walikota.

“Aku tidak mau. Aku tetap akan menggantungkan batu keinginan di sana,” kata seorang penduduk.

“Tanpa batu keinginan, sawahku akan kering,” seorang penduduk berseru.

“Pohon-pohonku akan mati kering kalau aku tidak menggantungkan batu keinginan,” kata seseorang.

“Besok pagi, aku akan menggantungkan batu keinginan, supaya sawahku tetap memberi panen yang berlimpah,” kata yang lainnya.

Esok pagi, seperti yang sudah diumumkan walikota, gedung Kaleme dikunci. Tidak seorang pun, tahu tempat penyimpanan kunci.

Penduduk yang hendak menggantungkan batu keinginan akhirnya kesal. Seluruh penduduk berkumpul untuk mencari jalan agar bisa masuk ke dalam gedung Kaleme.

Pak Teguh mengusulkan untuk masuk melalui jendela yang terdapat di sisi kiri dan kanan gedung. Namun, usul itu tidak dapat dijalankan karena seluruh jendela juga dikunci rapat.

Pak Gandi mengajukan gagasan untuk membobol dinding belakang yang sudah lembab. Ternyata gagasan ini pun, mustahil dilaksanakan. Dinding yang lembab itu sudah dilapisi dengan semen yang tebal dan kokoh.

Ibu Laela yang selalu penuh semangat mengajukan ide cemerlang, membuat kunci duplikat. Namun, seluruh ahli kunci tidak bisa membuat kunci duplikat. Mereka belum pernah melihat kunci asli pintu gedung Kaleme.

Sudah berhari-hari penduduk berkumpul untuk mencari cara masuk ke dalam gedung Kaleme. Mereka berkumpul pagi, siang, sore dan malam hingga melupakan pekerjaan di sawah dan kebun. Melihat sawah dan kebun yang kering, penduduk mengutus Pak Ramasdin untuk menghadap walikota.

“Walikota yang terhormat,” ucap Pak Ramasdin. “Sawah dan kebun kami kering. Kami cemas tidak bisa panen tahun ini. Bukalah gedung Kaleme, agar kami bisa menggantungkan batu keinginan,” pinta Pak Ramasdin.

“Hmm,” gumam Walikota sambil memegang dagunya. “Gedung Kaleme akan dibuka tiga bulan lagi. Tetapi ada syaratnya,” lanjut Walikota, “kalian harus berhenti berkumpul untuk mencari cara masuk ke gedung Kaleme.”

Pak Ramasdin pulang dengan gembira. Dia menyampaikan syarat dari Walikota kepada penduduk lainnya. Penduduk pun setuju.

Untuk mengisi hari-harinya, penduduk kembali bekerja di sawah dan kebun. Mereka memperbaiki sistem pengairan sawah, menyirami kebun, membuang ilalang dan memberantas hama tanaman.

Dalam beberapa hari tanaman padi dan pohon-pohon mereka kembali tumbuh subur. Bulir-bulir padi merunduk dan menguning, tanda siap dipanen. Pohon-pohon di kebun berbuah lebat.

Pada hari pembukaan gedung Kaleme, tidak seorang penduduk pun yang datang untuk menggantungkan batu keinginan. Semua penduduk sibuk memanen padi dan buah-buah.

Walikota mengunjungi penduduk di sawah dan kebun. “Sesuai janjiku, gedung Kaleme dibuka hari ini,” kata Walikota.

Pak Teguh maju ke depan. “Sekarang kami sadar. Kami tidak perlu batu keinginan,” kata Pak Teguh.

“Sawah dan kebun kami akan menghasilkan panen yang berlimpah, asal kami  rajin bekerja,” seru Pak Safari.

Bu Laela menambahkan, “Nanti kami akan mengunjungi gedung Kaleme untuk melihat-lihat saja.” Penduduk lain mengangguk-angguk tanda setuju.

Bobo No. 37/XXXIX 22 Desember 2011

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar