Ketika Pohon-Pohon Pergi

Beberapa pohon yang berjajar di tepi trotoar keluar dari tanah. Akar-akar mereka menggeliat seperti tentakel dan kemudian merayap di aspal jalanan yang basah.

Pohon-pohon itu berjalan tanpa suara di bawah cahaya bulan purnama. Ranting-ranting mereka bergoyang dan sehelai daun terputus dari tangkainya, melayang-layang di udara, untuk kemudian jatuh di atap sebuah rumah yang lampu depannya masih menyala.

Di dalam rumah itulah Gadis Kecil mengintip keluar jendela. Sepasang matanya terbuka lebar menyaksikan pohon-pohon di luar sana berjalan seperti layaknya manusia.

“Bagaimana?” tanya Kakek yang saat itu juga ikut mengintip. “Sekarang kamu sudah percaya cerita Kakek?”

Gadis Kecil tidak memberikan jawaban apa-apa. Mulutnya sedikit terbuka, tetapi tidak mengeluarkan kata-kata. Pemandangan malam itu betul-betul membuatnya terpana.

Sebelumnya, Kakek memang bercerita. “Setiap malam bulan purnama, tepatnya pada pukul 12 malam, beberapa pohon di desa ini akan keluar dari tanah dan pergi entah ke mana.”

Tentu saja Gadis Kecil tidak langsung percaya. Dia menganggap cerita Kakek mengada-ada. Dia memang masih kecil, usianya masih 9 tahun, tetapi dia sudah bisa membedakan mana cerita sungguhan dan mana cerita khayalan. Pohon berjalan, tentu saja, adalah cerita yang tidak bisa dipercaya.

Namun, kenyataannya, pohon-pohon di luar sana memang sedang berjalan di bawah cahaya bulan purnama. Itulah alasan mengapa Gadis Kecil masih belum bisa berkata apa-apa. Akalnya tidak percaya, tetapi pemandangan ajaib itu terpampang jelas di depan mata. Mana yang harus lebih dipercaya? Akal atau pandangan mata?

“Sekarang tidur, ya,” kata Kakek kemudian. “Besok pagi mamamu datang menjemput.”

“Pohon-pohon itu pergi ke mana, Kek?” tanya Gadis Kecil sambil menutup gorden jendela.

“Menurutmu, mereka pergi ke mana?”

Gadis Kecil tidak bisa menjawabnya.

***

Pagi itu, Gadis Kecil sudah berada di dalam mobil bersama Mama. Libur panjang telah usai. Rutinitas sekolah akan kembali dimulai. Namun, peristiwa tadi malam masih terus terbayang jelas di benaknya dan sepertinya memang akan sulit dilupakan.

“Ma, sekarang aku jadi tahu kenapa desa Kakek menjadi panas dan gersang,” kata Gadis Kecil memulai percakapan dalam perjalanan pulang.

“Karena, sudah jarang ada pohonnya, ya?” tanya Mama.

“Iya. Tapi, Mama tahu enggak, kenapa di desa Kakek jarang ada pohonnya?”

“Banyak yang ditebang?” tebak Mama.

Gadis Kecil menggeleng. “Setiap malam bulan purnama, pohon-pohon di desa Kakek keluar dari tanah dan pergi meninggalkan desa.”

Mama tersenyum sambil terus menyetir. “Kakekmu memang pandai bercerita,” katanya kemudian.

“Aku melihatnya langsung, Ma,” jawab Gadis Kecil mencoba meyakinkan. “Mama pasti enggak percaya.”

Mama tertawa. “Siapa bilang Mama enggak percaya?” tanyanya.

“Mama harus melihatnya sendiri.”

“Oke, nanti saat malam bulan purnama kita lihat bersama-sama dari rumah, ya.”

***

Pada saat bulan purnama berikutnya tiba, tepatnya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, di dalam rumah yang terletak di tengah kota, Gadis Kecil dan Mama mengintip keluar jendela. Namun, mereka tidak melihat apa-apa. Tidak terjadi apa-apa.

Rupanya, mereka lupa. Di kota mereka, pohon-pohon memang sudah tidak ada sejak lama.[*]

Bagikan artikel ini:

5 pemikiran pada “Ketika Pohon-Pohon Pergi”

Tinggalkan komentar