Hari minggu, Neli, ayah dan ibunya bekerja sama membersihkan halaman rumah. Neli menyapu daun-daunan kering yang berguguran. Ibu memotong rumput kering. Pekerjaan mereka pun selesai di siang hari. Halaman tampak lebih bersih dan rapi.
Di malam hari, Neli mengantuk. Ia beranjak dari kursi santai di ruang keluarga menuju kamarnya. Ia melihat ibu sedang sibuk mencuci piring di dapur. Dapur itu letaknya tak jauh dari kamar Neli. Ia pun tertidur.
Tengah malam, tiba-tiba Neli terbangun. Ia mendengar bunyi-bunyi ramai di rumahnya. Seperti bunyi piring dan panci. Ia turun dari tempat tidur. Ia pelan-pelan membuka pintu. Ia mencari asal suara itu. Ia berjalan dengan mengendap-ngendap.
Jantungnya berdebar-debar. Matanya beradaptasi dengan gelapnya ruang keluarga. Ia melihat ke arah dapur yang dekat dengan kamarnya. Bunyi-bunyi aneh itu berhenti. Ia tidak menemukan keanehan apa pun.
Ia pun kembali masuk ke kamar dan berselimut. Tak berapa lama, dia mendengar bunyi aneh-aneh lagi. Neli mulai takut. Ia segera turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar orang tuanya. Begitu dia keluar dari kamar, dia merasa ada yang menyentuh kakinya.
“Aaarggg! Ibuuuuuu!!”
Teriakan Neli membuat orang tuanya keluar dari kamar dan menyalakan lampu.
“Ada apa, Neli?” tanya ibu khawatir sambil memegang Neli. Neli bisa melihat ayah dan ibunya.
“Tadi ada bunyi aneh tapi setelah Neli lihat ternyata tidak ada apa-apa,” lapor Neli. Orang tuanya pun menjadi was-was. Rasanya tidak percaya jika ada maling masuk.
“Meoonggg!!” Suara seekor kucing terdengar dari luar.
“Ohhh! Itu suara kucing, Neli,” kata ayahnya setengah tertawa. Semua pun lega, “Mungkin dia tadi masuk dapur lewat atap. Ya, sudah. Ayo, tidur lagi.” Neli dan orang tuanya pun masuk ke kamar lagi.
Keesokan harinya, ia melupakan bunyi aneh itu. Saat ia melihat ke halaman rumah, ia melihat ada kotoran kucing. Baunya tercium begitu Neli keluar rumah.
Neli sebal. Ia pun mencari pasir dan menutupinya dengan pasir. Besoknya, ia pun melihat kotoran kucing lagi. Neli sampai sebal karena harus mencium bau tidak sedap hampir setiap hari. Neli tidak suka. Setiap ada kucing itu lewat, ia mengusirnya. Ia berupaya agar kucing itu tidak lagi datang ke rumahnya.
Neli sampai berjaga-jaga. Ketika kucing itu tiba, dia menggerak-gerakkan sapu ke arah kucing agar kucing itu pun pergi. Neli merasa berhasil menakut-nakuti kucing. Meski selang beberapa lama, kucing itu datang kembali. Neli mengusirnya kembali dengan sapu.
Saat malam hari, Neli mengantuk. Ia melihat ibunya masih sibuk di depan kompor. Ia pun masuk kamar. Ia pun tertidur.
Tak lama, ia terbangun karena mendengar suara ramai-ramai di belakang. Suaranya lebih ramai seperti biasanya. Mungkin cucian piring ibu yang bertumpuk lebih banyak, “Ini pasti kucing!” tebak Neli.
Ia pun keluar dari kamar. Lampu ruang keluarga tumben belum mati.
“Ibu pasti lupa mematikan lampi,” batin Neli. Orang tuanya pasti sudah terlelap.
Begitu itu melihat ke arah dapur. Ia kaget. Ia melihat asap keluar dari kompor. Apinya menyembul di antara panci dan kompor.
“Ibuuu, apiii!” Ia pun mematikan panci yang hampir terbakar itu.
Ibu tiba-tiba keluar dari kamar, “Oh! Ibu tertidur saat masak daging buat besok!”
Ibu melihat daging yang sudah habis airnya dan bau gosong.
“Untung saja kamu bangun, Nak,” kata ibu memeluk Neli.
“Ini berkat kucing itu yang membangunkan Neli,” kata Neli.
Ibu melihat ke arah cucian piring yang bertumpuk di belakang rumah. Sampah makanan sudah tercecer karena cakaran kucing.
“Kucing itu menyelamatkan kita. Kalau tidak, rumah ini bisa terbakar,” ujar ibu lagi.
Neli pun tahu bahwa kucing itu memberi isyarat kepada orang rumah. Ia sangat berterima kasih dengan kucing itu.
Besoknya, ia tidak mengusir kucing itu lagi. Justru ia memberinya makanan sebagai wujud terima kasih. Neli pun membelikannya pasir khusus tempat membuang kotoran untuk kucing. Neli semakin sayang dengan kucing itu meski bukan milik Neli.