Liyut, Liyut, Naik Gerobak

 

Karya: Titin Mulyaningsih

“Lho, kok Mama pulang sekarang? Gua ikut pulang jugalah,” Dodi merajuk.

“Eh, Mama, kan kagak libur, elo liburnya panjang, di sini, temani Simbah,” kilah Mama.

Dodi masih bersungut-sungut saat Mamanya memasuki mobil. Mama akan kembali ke Jakarta sore ini. Dodi ditinggal supaya menemani Simbah di Sleman.

Dodi masih memandangi laju mobil yang semakin tak terlihat.

“Ayo, Le, mlebu, masuk sini,” ajak Simbah sambil menggandeng tangan Dodi.

Simbah mengajak Dodi tidur di bale-bale di depan televisi. Dodi sudah membayangkan betapa membosankan berada di sini. Perkampungan kecil di antara perkebunan salak. Simbah mengatakan tak usah risau, besok Ranji akan datang menemani. Ranji adalah sepupunya yang berasal dari Bantul.

Ranji datang bersama orang tuanya. Setelah berbincang-bincang melepas rindu, oranng tua Ranji pun pamit pulang. Ranji tidak ikut pulang. Dia akan berlibur di sini menemani Dodi.

Dodi dan Ranji sudah terlihat asyik berbincang-bincang.

“Sudah ke mana saja, Di?” tanya Ranji.

“Belum, baru di sini aja. Emang elo mau ngajak gua ke mana?” jawab Dodi. Kening Ranji berkerut. Dodi menyenggol lengan Ranji.

“Malioboro, yuk!” ajak Dodi.

“Kalau ke Malioboro nunggu Bapakku datang, jauh itu,” elak Ranji.

“Eh, besok ada festival gerobak, lho,” Simbah memberi informasi.

“Ah, iya, besok kita lihat festival gerobak aja,” kata Ranji.

“Lihat gerobak? Apa asyiknya, mending mabar aja, yuk,” Dodi mengeluarkan gawainya.

“Ayolah, aku juga ingin lihat festivalnya,” sahut Ranji juga mengeluarkan gawainya. Sebentar kemudian mereka terlihat sudah asyik dengan gawainya masing-masing.

Esok harinya, mereka menuju lapangan dengan berboncengan sepeda. Festival Gerobak Sapi. Dodi terperangah melihat gerobak sapi berbaris.

“Wow, gerobaknya lucu-lucu,” ujar Dodi.

“Aku cari parkir dulu, ya. Kamu di sini saja, tunggu aku,” kata Ranji sambil menuntun sepedanya mencari tempat parkir. Suasana sangat ramai. Dodi mengamati gerobak-gerobak yang berbaris siap parade. Dodi mendekat pada gerobak untuk berswafoto. Foto itu dijadikan status media sosialnya.

Gerobak dengan berbagai hiasan semakin menarik rasa ingin tahu Dodi. Satu demi satu Dodi menghampiri gerobak-gerobak itu. Dodi menyentuh gribig yang dicat warna-warni. ada juga gerobak yang tidak memasang gribig, tapi diberi hiasan lukisan naga yang indah. Tak terasa Dodi sudah semakin jauh. Dodi bahkan lupa pada Ranji.

Terdengar aba-aba, parade gerobak akan dimulai. Dodi makin penasaran saat melihat satu demi satu gerobak mulai berjalan perlahan.

Ups! Dodi meloncat dan duduk di bagian belakang gerobak.

“Permisi, Pak. Saya numpang, ya,” kata Dodi pada badjingan, sebutan untuk kusir gerobak sapi.

“Nggeh, monggo, Den,” jawab badjingan dengan bahasa Jawa. Dodi hanya tersenyum menanggapi.

Gribig bergoyang-goyang mengikuti jalan gerobak. Gliyat-gliyut jalan gerobak, tak bisa cepat. Dodi menikmati perjalanan sambil memotret keramaian festival. Saat melihat gawainya, rupanya ada belasan panggilan telepon. Suara Ranji terdengar seperti orang marah-marah. Dodi hanya tertawa sambil minta maaf.

Sampailah gerobak di tempat semula. Dodi turun sambil mengucapkan terima kasih pada pemilik gerobak yang masih duduk di tumpang sari.

Tut … tut …. Dodi mencoba menghubungi Ranji. Dodi berjalan mencoba mencari Ranji. Dodi mencoba bertanya pada orang yang ditemui, namun, Dodi malah semakin bingung. Mereka menjelaskan dengan bahasa Jawa.

Eh, itu, dia. Ranji …!” teriak Dodi. Suasana yang ramai dan padat tidak membuat Dodi kesulitan mendekati Ranji dengan cepat. Dalam hitungan detik, Ranji sudah tidak terlihat lagi.

Dodi makin bingung. Tak berapa lama, terdengar suara dari pengeras suara.

“Perhatian …, perhatian! Panggilan kepada saudara Dodi, asa dari Jakarta, ditunggu saudara Ranji di pos keamanan!”

Dodi berjalan dan mencoba mencari dimana pos keamanan berada. Matanya awas mencari menara dengan pengeras suara. Dodi mencoba menerobos keramaian sambil berjalan menuju pos keamanan berada.

Dodi melihat Ranji duduk dengan wajah kusut.

“Hai, Nji!” Dodi menepuk pundak Ranji dari belakang.

Woalah, kowe seko ngendi wae?” spontan Ranji  berkata.

“Apaan?” Dodi bingung tidak paham. Melihat wajah Dodi yang kebingungan, membuat Ranji tertawa.  Ranji pun mengulangi pertanyaannya dengan bahasa Indonesia.

“Aku ikut naik gerobak, muter, asyik, gaes!” santai Dodi menjelaskan.

“Hah? Kamu naik gerobak?” Ranji membayangkan waktu tempuh 3 kilometer dengan gerobak membutuhkan waktu berapa lama.

Dodi asyik menceritakan asyiknya naik gerobak pada Ranji sambil berjalan. Ranji tak habis pikir, naik gerobak sampai dianggap hilang.

“Pantas, aku cari tidak ketemu, pusing aku. Kalau kamu hilang aku kan bisa kena marah, Simbah,” Ranji bersungut-sungut.

“Lagian, kenapa hapemu tidak bisa ditelepon?” tanya Dodi.

“Kehabisan baterai,” jawab Ranji.

“Ya, sudah, yuk, keliling beli jajanan,” Dodi merangkul Ranji sambil mengajak jalan. Mereka asyik melihat-lihat gerobak dan berbagai macam kuliner.

Cerpen Ini Diikutsertakan Dalam Lomba Cipta Cerpan Anak Paberland 2024

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar