Misteri Prasasti Hutan Larangan – Bab 12

BAB 12

Prasasti Hutan Larangan

Malam itu, untuk pertama kalinya Hutan Larangan terlihat terang benderang. Nyala obor terlihat di mana-mana. Cahaya senter berkelebatan di setiap penjuru. Dan semakin malam, semakin banyak warga desa Margasari yang berdatangan. Semua penasaran dengan berita mengejutkan yang sudah terjadi; Lima orang anak berhasil menggagalkan penyelundupan prasasti peninggalan sejarah!

“Kamu hebat, Ca, kalau kamu tidak lapor Pak Kades tentang kejadian ini, tentu nasib kita belum tentu seberuntung ini.” Jalu menepuk pundak Panca dengan mata berbinar.

“Iya, kamu ternyata anak yang pemberani, Ca,” puji Bima sambil tersenyum. “Buktinya kamu tidak takut ikut masuk ke Hutan Larangan, meski warga lain awalnya menolak ikut.”

Panca tersipu-sipu dipuji seperti itu. Dia merasa bangga bisa ikut membantu menggagalkan pencurian prasasti ini.

“Kalian semua anak-anak yang hebat!” Pak Wahyu yang mendengar pembicaraan itu berjalan mendekat. “Karena keberanian kalian, seluruh warga desa berhutang budi pada kalian. Coba lihat, siapa yang pernah tahu ada prasasti bersejarah di hutan ini? Kalau tidak ada kalian, prasasti ini akan hilang dicuri orang-orang seperti Dahlan dan kawanannya itu.”

“Prasasti ini sangat berharga ya, Pak?” tanya Jali.

“Sangat berharga.” Pak Wahyu mengangguk. “Ini bukan saja menjadi harta kekayaan desa yang tak ternilai, tapi menjadi harta kekayaan budaya dan sejarah bangsa kita. Pemerintah pasti akan menyambut gembira penemuan prasasti ini.”

Waaah … anak-anak itu terbelalak.

“Saya juga senang, akhirnya anak saya bisa mendapatkan sahabat-sahabat yang hebat di desa ini. Mereka adalah anak-anak yang jempolan!” Pak Duyo memeluk putranya dengan perasaan senang dan bangga.

Sandi melirik Jalu sambil tersenyum. Jalu pun membalasnya dengan senyum tulus. Permusuhan di antara mereka benar-benar sudah hilang begitu saja. Jalu harus mengakui, Sandi adalah anak yang cerdas dan setia kawan. Kejadian hari ini membuktikan kalau Sandi bukan anak yang egois. Mereka sudah bahu-membahu untuk mencari cara meloloskan diri dari para penjahat ini. Kalau Sandi benar-benar memusuhi Jalu, tentu dia akan mencari cara untuk meloloskan diri sendiri, tanpa perlu memikirkan keselamatan Jalu.

“Ayo, sekarang kalian pulang. Biar warga desa saja yang membereskan semuanya. Apalagi besok kita punya acara besar. Menurut kalian, siapa yang pantas menjadi Kepala Desa baru? Saya atau Pak Duyo?” kelakar Pak Wahyu.

Anak-anak dan seluruh warga yang berkerumun di sana terbahak. Pak Duyo bahkan merangkul Pak Wahyu sambil berkata; “Kalian lihat saja siapa yang paling ganteng di antara kami berdua.”

Tawa pun kembali membahana di Hutan Larangan.

“Sebentar Pak,” sela Jalu tiba-tiba. “Sepertinya saya tahu siapa yang sudah mengadudomba Pak Wahyu dan Pak Duyo selama ini.”

“Mengadudomba bagaimana maksudmu, Lu?” tanya Sandi. Seluruh warga pun menjadi penasaran dibuatnya.

“Mengenai perobekan dan pencabutan poster, dan juga pengrusakan media kampanye Pak Duyo,” jawab Jalu kalem.

“Kamu tahu?” Pak Duyo terperanjat. “Siapa orangnya, Lu?”

“Mereka juga Pak, Kang Dahlan dan teman-temannya.”

Dengan ringkas Jalu memaparkan kesimpulan yang ditemukannya sampai siang ini. Semuanya sudah menjadi jelas di pikirannya sekarang. Kang Dahlan dan teman-temannya sengaja membuat keributan agar perhatian warga teralihkan. Pemilihan Kepala Desa ini adalah acara besar bagi seluruh warga, karena itu semua orang pasti akan membicarakan tentang agenda ini. Pengrusakan alat-alat kampanye adalah salah satu cara agar suasana di desa ini menjadi tidak nyaman. Perselisihan antara tim Pak Wahyu dan tim Pak Duyo pasti akan menyita banyak perhatian warga. Setiap hari selalu saja pertengkaran antara kedua pendukung tim ini. Apalagi seluruh aparat desa pun ikut menjadi sibuk karenanya. Mereka tidak menjadi curiga ada tindak kejahatan yang sedang terjadi di desa ini.

Pada saat itulah Kang Dahlan dan kawanannya melaksanakan aksinya. Tak ada lagi warga yang memperhatikan kegiatan mereka. Apalagi mereka tahunya orang-orang itu adalah pekerja pengukuran jalan yang dipekerjakan Pak Duyo.

“Tapi bagaimana kamu yakin mereka yang melakukan perusakan itu?” tanya Pak Wakyu semakin penasaran.

“Kami pernah mengikuti dua orang yang berlari ke arah Hutan Larangan ini sambil membawa robekan poster kampanye Pak Duyo. Poster-poster itu sepertinya akan dibuang di tempat ini, sayangnya beberapa lembar tercecer di pinggir jalan. Saat itu kami tidak mengenali siapa orangnya. Tapi kalau mereka lari ke dalam hutan ini, siapa lagi yang bakalan berani?”

Semua orang ternganga kagum dengan penuturan Jalu. Selama ini tak pernah sedikitpun terbersit di pikiran mereka seperti apa yang sudah disampaikan anak itu.

“Kamu benar-benar cerdas, Nak,” puji Pak Wahyu yang membuat Jalu tersipu. “Tapi biarlah nanti aparat kepolisian yang akan meyakinkan kebenaran pendapatmu itu. Yang jelas, mereka sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Polisi akan segera datang sebentar lagi.”

“Ayo kita pulang sekarang, Ibu kalian semua pasti sudah khawatir saat ini,” ajak Pak Duyo sambil menggiring anak-anak itu. Ayah masing-masing pun mengangguk setuju. Ibu mereka sudah sejak sore tadi menangis khawatir dengan kehilangan mereka semua.

“Eh, tapi Kakek Mahdi mana?” tanya Bima yang teringat ada sesuatu yang kurang. Bagaimanapun, Kek Mahdi sangat berjasa dalam penyelamatan mereka semua.

Jalu, Jali, Panca, dan juga Sandi tersentak. Mereka sudah melupakan Kakek Tua penyelamat itu. Setelah Pak Wahyu dan warga desa menemukan mereka semua di dalam gua, semuanya larut dalam kegembiraan. Tak ada seorangpun yang memperhatikan kemana Kek Mahdi pergi.

“Kakek Mahdi?” semua mata tertuju pada anak-anak itu. “Siapa dia?”

“Kakek Penunggu Hutan Larangan!” jawab mereka serempak.

Kelima anak itu terkikik melihat wajah-wajah bingung di sekelilingnya.

***

Pemilihan Kepala Desa Margasari yang baru berjalan lancar. Akhirnya Pak Wahyu terpilih ulang sebagai kepala desa, meneruskan jabatan sebelumnya. Yang membahagiakan, Pak Duyo bisa menerima kekalahannya dengan besar hati. Bahkan, dia akan tetap menjalankan rencananya untuk mengaspal seluruh jalanan desa, dan memasang lampu penerangan di pinggir jalan.

Kang Dahlan dan seluruh kawanannya sudah diamankan di kepolisian. Mereka terbukti sudah berniat untuk mencuri prasasti itu. Bagaimana mereka tahu ada prasasti yang terkubur di Hutan Larangan pun sempat membingungkan. Warga desa Margasari saja tidak tahu, darimana mereka tahu ada prasasti di sana?

Ternyata, mereka dipekerjakan oleh seorang pengumpul benda kuno. Orang itu sudah melakukan banyak penelitian tentang benda-benda kuno yang ada di wilayah Indonesia. Dari pencarian informasi yang dilakukannya, ternyata ada informasi akurat tentang keberadaan kerajaan kuno yang mencakup wilayah desa Margasari. Selama ini warga desa tidak pernah melaporkan adanya penemuan benda kuno di sekitar tanah mereka, jadi penelitian diarahkan pada Hutan Larangan. Apalagi hutan itu jarang tersentuh manusia selama bertahun-tahun. Ternyata benar, di Hutan Larangan ditemukan beberapa tanda keberadaan kekuasaan kerajaan tersebut, sehingga akhirnya dilakukan penggalian.

Untuk melancarkan usaha mereka, Kang Dahlan dan kawanannya mencari kerja di desa ini. Kebetulan Pak Duyo sedang membutuhkan pegawai untuk rencana perataan jalan. Dan semakin lancarlah usaha mereka untuk mencari prasasti dan peninggalan kuno tersebut.

Sampai saat ini pihak kepolisian masih mencari siapakah pengumpul benda kuno yang sudah merusak terhadap kelangsungan warisan budaya tersebut. Dialah otak dari semua kejadian ini.

***

Lima anak itu berlarian riang. Mereka memasuki Hutan Larangan tanpa ada rasa takut lagi. Sejak terbongkarnya kasus itu, Hutan Larangan sudah bukan menjadi hutan terlarang lagi. Apalagi sekarang. Hutan ini sudah dijadikan Cagar Budaya oleh pemerintah.

Pintu masuk ke dalam hutan tidak harus melalui pagar kawat rusak lagi. Sebuah gerbang yang megah sudah berdiri kokoh menyambut pengunjung yang datang. Jalan rata, yang sudah dipasangi paving block, membentang lurus sampai ke lokasi prasasti ditemukan. Setiap orang tidak perlu lagi menyusuri jalan setapak atau menyibakkan semak yang menghalang di sepanjang jalan. Sekarang semuanya sudah bersih dan teratur.

“Rasanya tidak percaya kalau semua ini gara-gara kita ya?” kata Jali sambil terkikik. Matanya masih tidak bosan memandang semua perubahan yang terjadi dengan hutan itu setiap kali datang kemari.

Jalu, Panca, Bima, dan Sandi ikut tertawa. Tidak bisa dipungkiri, ada kebanggaan yang luar biasa dalam dada mereka. Semua ini terjadi karena ketidaksengajaan.

“Coba kalau Jalu tidak pernah penasaran dengan isi hutan ini, ya?” kata Panca.

“Atau gimana kalau Sandi tidak menantang Jalu masuk ke hutan ini,” timpal Bima.

“Atau … bagaimana kalau aku tidak ngiri melihat keakraban kalian berempat,” imbuh Sandi.

Jalu, Jali, Panca, dan Bima langsung menoleh.

“Hah, kamu ngiri terhadap kami, San?” tanya Jalu sambil mengernyit. “Kami anak desa yang tidak punya apa-apa yang harus dibuat iri.”

Sandi tertawa pelan. “Tapi kalian memiliki persahabatan. Aku lihat kemana-mana kalian selalu berempat, dan akur satu sama lain. Kalian juga selalu terlihat gembira. Itu yang membuat aku iri. Selama tinggal di kota, aku tidak memiliki sahabat. Yang aku punya hanyalah teman selama di sekolah dan di tempat kursus. Ketika pulang ke rumah, aku sendiri lagi.”

“Tenang San, kamu memiliki banyak sahabat sekarang,” kata Jalu sambil menepuk bahu sahabat barunya itu.

“Kecuali kamu mau pindah ke kota lagi,” kata Panca sambil tertawa.

“Aku tidak mau!” kata Sandi cepat. “Aku sudah bilang Ayahku kalau aku mau tinggal di sini saja. Awalnya Ayahku mengajak pindah ke  kota lagi karena gagal terpilih jadi Kades. Gara-gara aku ngamuk, akhirnya keluargaku memutuskan tinggal di sini, kecuali Kakakku yang sekolah di SMA dan sudah kuliah.”

“Baguslah, jadi aku masih bisa ke rumahmu untuk main playstation lagi,” kata Jali.

Semuanya kembali tergelak.

Sebuah prasasti yang indah berdiri tegak di tengah Cagar Budaya itu. Ternyata tidak hanya prasasti itu saja yang akhirnya ditemukan. Para ilmuwan, ahli sejarah, dan arkeolog yang didatangkan pemerintah berhasil menemukan benda lainnya. Di sekeliling prasasti itu ditemukan pula tumpukan batu peninggalan lainnya yang menjadi pagar pelindung. Para ahli sejarah sudah memasastikan kalau prasasti ini adalah peninggalan dari pecahan kerajaan Galuh pada masa itu.

“Itu Kek Mahdi!” seru Panca sambil menunjuk seorang kakek tua yang sedang membersihkan rumput di sekitar tempat itu.

Kek Mahdi tersenyum senang melihat kedatangan anak-anak itu. Baginya, anak-anak itu sudah dianggap cucu yang tidak pernah dimilikinya. Mereka adalah anak-anak baik dan sangat menyenangkan. Di masa tuanya, akhirnya Kek Mahdi bisa merasa memiliki keluarga lagi.

“Wah, baju Kakek baru lagi,” celetuk Bima. “Kayak seragam pegawai desa!”

Kek Mahdi tertawa. “Pak Wahyu yang memberikannya kemarin. Katanya Kakek harus memakai baju seperti ini setiap hari mulai sekarang. Kakek diberikan dua stel.” Kek Mahdi terkekeh-kekeh.

“Berarti Kakek sudah dianggap pegawai desa kalau begitu,” kata Sandi. “Dapat duit gaji bulanan dong?”

Kek Mahdi kembali terkekeh-kekeh.

Sejak dipertemukan dengan seluruh warga desa, Kek Mahdi sempat ketakutan. Dia tidak mau masa lalunya yang buruk akan membuatnya dibenci semua orang lagi. Tapi ternyata tidak. Semua warga desa memuji Kek Mahdi dan menyukainya. Tidak ada seorang pun yang berani mengungkit-ungkit masa lalunya.

Pak Wahyu sudah meminta Kek Mahdi tinggal di rumahnya sebagai balas jasa atas bantuannya meringkus komplotan itu. Sayangnya Kek Mahdi menolak. Dia merasa sudah betah tinggal di hutan. Karena itu seluruh warga desa bergotongroyong membangunkan sebuah rumah kecil yang nyaman di dekat telaga. Pak Wahyu bahkan mempercayakan pengelolaan kebersihan lingkungan prasasti kepadanya.

“Oya, Kek, ada sesuatu yang ingin kami tunjukkan pada Kakek.” Sandi mengambil koran yang sedari tadi dikepitnya. Dia lalu membuka-buka koran itu, mencari sesuatu yang ingin dia tunjukkan sedari tadi.

“Ini dia,” katanya sambil menunjukkan sebuah artikel di koran itu.

Artikel itu berjudul ‘PAHLAWAN PRASASTI HUTAN LARANGAN’. Di bawah artikel itu terpajang foto mereka berenam; Kek Mahdi sedang diapit Jalu, Jali, Sandi, Panca, dan Bima.

Seketika mata Kek Mahdi berkaca-kaca. Dia merangkul lima anak itu dengan perasaan sayang.

— T A M A T —

Bagikan artikel ini:

Satu pemikiran pada “Misteri Prasasti Hutan Larangan – Bab 12”

Tinggalkan komentar