Nasha Si Chef Bunny Bagian #10

Bagian #9

BABAK ELIMINASI YANG MENEGANGKAN 

 

Babak sepuluh besar pun dimulai. Pukul tujuh pagi, aku, Katrina, Ali, Titania, Tom dan lima kontestan lainnya sudah tiba di aula. Dengan memakai kaus seragam Junior Chef, kami akan berangkat menuju tempat yang belum kami ketahui. Kak Ardy hanya bilang kalau acara masak dilakukan di luar galeri.

“Kita mau ke mana, ya?” tanya Ali dengan suara berbisik. Aku menggeleng, sedangkan Katrina mengangkat bahunya.

Ketiga chef juri datang dengan tampilan yang berbeda dari biasanya. Chef Arjuna bergaya maskulin. Ia memakai jaket dan topi berwarna hitam, celana jin dan sepatu kets. Chef Melinda tampil feminin dengan blus putih yang dipadukan dengan rok bermotif bunga. Chef Budi memakai kemeja, celana denim, dan sepatu kets.

“Selamat pagi, Anak-anak! Selamat datang di sepuluh besar Junior Chef!” Chef Arjuna membuka pertemuan. Kami bertepuk tangan, menyambut riang dimulainya acara.

“Kali ini, kalian akan menghadapi Offsite Challenge, yaitu tantangan masak yang dilakukan di luar galeri, di tempat yang telah ditentukan. Kalian akan menyediakan sejumlah masakan untuk para undangan. Menarik, bukan?”

Suara gumaman dan celoteh di antara kami membuat suasana terasa riuh dan ramai. Chef Budi meminta kami untuk tenang. Ia menjelaskan tentang aturan-aturan dalam melaksanakan tantangan.

“Bagaimana Anak-anak, siap menerima tantangan ini?” Kini Chef Budi bertanya sambil tersenyum kebapakan.

“Siap, Chef!” jawab kami kompak dan bersemangat.

“Dua terbaik dari tantangan sebelumnya akan dipilih menjadi kapten.” Suara Chef Arjuna terdengar lantang. “Kapten tim biru, silakan maju ke depan, Ali!”

“Yeaay!”

Sorak sorai dan tepukan diberikan untuk Ali. Anak laki-laki itu maju ke depan dengan gaya pecicilan.

“Selanjutnya, kapten tim merah, Katrina!” Chef Arjuna memanggil Katrina untuk maju ke depan.

“Wow!” Aku berseru gembira sambil bertepuk tangan bersama teman-teman yang lain.

Ali dan Katrina menjadi pemenang di babak sebelumnya, tantangan mistery box. Saat itu kami harus membuat makanan pembuka yang terbuat dari ayam.

Chef Arjuna kembali berbicara. “Untuk Ali dan Katrina, sebagai kapten, kalian boleh memilih anggota tim. Dimulai dari tim biru. Silakan Ali.”

Ali tersenyum jail. Tangannya ditaruh di bawah dagu, bergaya sok bingung. Bagiku tidak masalah ikut di tim biru ataupun tim merah. Kedua kapten tim adalah sahabatku.

“Nasha!” Ali memanggil namaku. Matanya membulat ceria. Chef Melinda terlihat tertarik dengan pilihan Ali.

“Kenapa kamu memilih Nasha?”

“Saya butuh anggota yang cekatan dan bisa bekerja sama. Nasha punya keduanya.” Ali menjawab lugas. Chef Melinda mengangguk.

Aku pun maju dan berdiri di dekat Ali. Sedangkan ketika giliran Katrina, ia memilih Tom. Tentu saja bukan hal yang aneh, sudah sejak lama Katrina kagum dengan keahlian masak Tom. Tadinya aku berharap bisa satu tim dengan Tom. Sayangnya keinginanku belum terkabul. Aku melirik Tom yang berjalan tenang menuju Katrina.

Pemilihan anggota tim terus berlanjut, hingga menyisakan Titania yang mau tak mau akan masuk ke dalam tim merah.

“Baiklah, semua sudah lengkap anggota timnya. Saatnya kita ke lokasi. Let’s go!” Chef Budi memberikan semangat. Kami kemudian masuk ke dalam bus yang telah disediakan.

Kami berangkat dengan hati penasaran. Para chef ataupun Kakak Mentor tidak ada yang memberitahu kami akan ke mana. Perjalanan berlangsung lancar. Lalu bus mulai memasuki kompleks sekolah dasar di daerah selatan Jakarta. Rupanya di sinilah tempat kami memasak.

Kedatangan kami disambut murid-murid yang bersorak gembira. Kami turun dari bus, lalu berjalan mengikuti para chef menuju ruang terbuka. Di lapangan telah disediakan dua tempat memasak yang dipayungi tenda.

Kedua tim diberi waktu untuk berembuk menentukan hidangan yang bakal disajikan. Hasil rembukan, tim kami akan memasak cripsy calamary, roasted chicken potato aspagarus gravy, creme brulee with cookies dan ice mix fruit jelly. Semua nama berbahasa asing ini biasa dipakai selama kompetisi.

Tim merah membuat long spring roll, spaghetti aglio olio with sliced pan seared chicken breast, pannacota blackberry cookies crumb dan mango float. Pilihan hidangan mereka terlihat menarik, tapi pilihan tim kami juga tidak kalah oke.

Cuaca panas, dan suasana riuh dengan celoteh murid-murid SD yang menonton membuat kami harus bergerak cepat. Kesibukan pun dimulai dari menyiapkan bahan, memasak hingga menyajikan hidangan. Ali si tukang bercanda, rupanya berhasil menjadi ketua tim. Ia bisa mengatur kami dan menyemangati saat ada yang mengeluh atau pun panik.

Setelah waktu masak habis, bagian mendebarkan pun dimulai. Para murid dan jajaran guru mulai mencicipi hidangan dari kedua tim. Selesai makan, mereka memasukkan koin ke dalam kotak tim dengan hidangan favorit. Tim dengan jumlah koin terbanyaklah yang menjadi pemenang.

“Pucat banget muka kamu, Sha. Tenang, Ali yakin kita menang!” 

Ali berkata penuh percaya diri. Aku melirik tim merah. Katrina sedang mengobrol dengan Tom. Apa yang sedang mereka bicarakan? Tom yang biasanya pendiam, sampai bisa tersenyum selebar itu.

Semua pencicip hidangan telah memasukkan koin ke dalam kotak. Akhirnya saat yang menentukan itu tiba, perhitungan koin! Chef Arjuna yang memimpin perhitungan. Suasana begitu riuh tapi mendebarkan. Perutku mulas, tenggorokanku seperti terganjal batu.

Di depan meja, koin-koin dari kotak tim merah dikeluarkan. Satu per satu mulai dihitung. “Satu koin, dua, tiga, empat .…” Terdengar suara lantang Chef Arjuna. Perhitungan terus berlanjut, hingga koin terakhir. Tim merah berhasil mendapatkan koin sebanyak 125.

Selanjutnya kotak tim biru. Ya Allah jantungku berlompatan. Aku menggigit bibir, dan berusaha debar jantung dengan menarik napas dalam-dalam. Tumpukan koin tim biru terlihat banyak, tapi akankah jumlah koinnya lebih banyak dari tim merah?

“Satu koin, dua koin, tiga, empat ….” Suara Chef Arjuna kembali bergema. Aku terus merapal doa di dalam hati. Lalu koin terakhir berada di tangan Chef Arjuna. “112 koin untuk tim biru.”

Gumam kekecewaan meluncur dari tim biru. Aku sendiri juga sedih. Tim kami kalah, artinya semua anggota tim biru masuk babak eliminasi. Namun, melihat wajah Ali begitu murung, aku berusaha menghibur.

“Maaf, Sha, ternyata kita kalah.” Ali tertunduk lesu.

“Nggak apa-apa, Li. Kita sudah berusaha yang terbaik. Lagian ini kompetisi. Harus ada yang menang dan kalah, kok.”

Terdengar helaan napas Ali. “Tapi, sebagai kapten tim, aku merasa gagal.”

Aku menepuk bahu Ali, menyemangatinya.

“Hey, ini kayak bukan Ali! Ayo, semangat. Udahan sedihnya, lebih baik sekarang kita fokus ke babak eliminasi. Berjuang biar nggak terdepak pulang. Hayuk, Ali! Fight!”

Ali tercenung, lalu mengangguk. Walau, sebenarnya, di dalam hatiku sendiri, aku pun merasa cemas. Ini pertama kalinya aku masuk babak eliminasi. Ya Allah, semoga aku dan Ali tetap bertahan di kompetisi ini.

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar