Bagian #14
KARENA KITA SEMUA JUARA
Di grand final Junior Chef, aku dan Tom diminta memakai jaket putih khusus chef yang bertuliskan nama lengkap kami. Jangan tanya bagaimana perasaanku, ketika melihat deretan nama lengkapku tertera di jaket itu, tidak terasa pipiku basah oleh linangan air mata. Rasa bahagia dan haru melebur menjadi satu. Kuelus jaket itu dan mulai memakainya dengan tangan bergetar.
Di depan cermin, aku melihat tampilanku sekarang. Dengan jaket khusus itu aku benar-benar mirip seorang chef sungguhan. Seketika kelebatan wajah almarhum Nenek, Mama, Papa, Kak Beryl, dan Kak Ayu melintas begitu saja. Impianku menjadi chef terasa begitu dekat dan nyata.
**
Hari grand final Junior Chef pun tiba. Sebelum nama kami dipanggil juri untuk memasuki galeri, aku dan Tom menunggu di luar pintu masuk. Aku meremas jemariku yang sangat dingin seperti es. Jantungku berdebar begitu kencangnya.
“Rileks, Sha. Wajahmu pucat banget.”
Suara Tom membuatku menoleh. “Kayak zombie, ya?” ujarku. Tak kusangka Tom tertawa. Lalu ia menatapku serius.
“Ada teknik relaksasi untuk mengurangi kegugupan. Nasha ikuti aku, ya!” Tom mulai memperagakan cara menarik napas dengan dalam dan mengembuskannya perlahan-lahan. Ia memintaku mengikuti gerakannya. Sebenarnya, aku sudah tahu trik ini, pernah diajarkan Kak Beryl. Aku pun sudah sering mempraktikkannya, tetapi aku tahu Tom bermaksud baik. “Apa pun yang terjadi, tetap fokus pada masakanmu, Sha.“
Perkataan Tom, kubalas dengan anggukan dan ucapan terima kasih. Aku jadi teringat ucapanku pada Katrina, bahwa aku dan Tom-lah yang akan masuk dua besar. Saat itu aku hanya bercanda, tetapi nyatanya kata-kataku tersebut kini menjadi nyata. Mungkin, itu alasan mengapa kita tidak boleh mengucapkan kata-kata buruk. Khawatir nanti terjadi sungguhan.
Seorang panitia membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk ke galeri. Tom menoleh. “Ayo, Nasha! Let’s cook!”
Aku mengangguk, mulai menarik-embuskan napas, dan mengucapkan kata-kata penyemangat. Hasilnya, lututku yang awalnya terasa lemas, kini mulai ada energi. Ya, aku harus melawan rasa takut dan gugup. Aku pasti bisa, bismillah.
Kami memasuki galeri, dengan Tom berada di depan, aku mengikuti di belakangnya. Ruang galeri terlihat sangat megah. Lampu-lampu menerangi dari berbagai sudut. Dari area masak, tersedia dua cooking station yang disebut-sebut para chef memiliki fasilitas memasak terbaik. Suara gempita para penonton terdengar membahana. Benar-benar berbeda suasana galeri di grand final dengan babak-babak sebelumnya yang lebih tenang.
Aku mengedarkan pandangan ke tribun penonton. Luar biasa bentuk dukungan mereka. Banyak sekali yang datang untuk menyaksikan pertandingan final antara aku dan Tom. Aku menelan ludah. Tenggorakanku tiba-tiba saja terasa kering.
Di deretan depan kursi penonton, duduk kontestan 18 besar. Aku bisa melihat Katrina dan Ali. Mereka melambaikan tangan, dan meletakkan genggaman jemari di dada. Sebuah bentuk dukungan tulus. Aku tersenyum dan membalas dengan genggaman tangan yang kuletakkan di dada. Aku telah berjanji pada Ali dan Katrina untuk terus berjuang meraih trofi juara. Kini, aku dan Tom telah berdiri di tengah galeri.
Di depan kami sudah hadir lengkap tiga juri, yakni Chef Arjuna, Chef Melinda dan Chef Budi. Kali ini mereka memakai baju formal. Chef Melinda memakai gaun yang anggun, sedangkan Chef Arjuna dan Chef Budi memakai jas dan berdasi.
“Bagaimana perasaan kalian? Pasti senang, bukan?”
Chef Melinda bertanya dengan ramah. Aku dan Tom gantian menjawab. Lalu chef cantik itu bilang ada kejutan untuk kami berdua. Tiba-tiba, pintu utama galeri terbuka lebar. Mataku terbelalak saat melihat siapa yang masuk ke ruang galeri. Keluargaku dan keluarganya Tom.
Aku lari dan menghambur ke pelukan Kak Beryl, lalu bergantian ke Mama, Papa dan Kak Ayu. Tangisku pecah tak terbendung. Sudah tiga bulan kami tidak bertemu. Rasa rindu, haru serta bahagia bercampur menjadi satu. Tak pernah terbayangkan, akhirnya aku ada di sini, di grand final Junior Chef. Semua atas doa dan dukungan mereka, keluargaku.
“Hai, Chef Bunny! Kakak tahu kamu pasti bisa!” ucap Kak Beryl saat memelukku.
“Kamu cantik pakai seragam chef gini, Nasha!” bisik Kak Ayu. Aku tersenyum mendengar pujiannya.
Di sebelah, aku melihat Tom dan keluarganya juga saling melepas rindu. Hanya ada dua orang yang datang. Seorang wanita cantik berwajah blasteran, kurasa itu mamanya Tom, karena wajah mereka sangat mirip. Rupanya, kulit putih dan mata kecokelatan Tom diwarisi dari mamanya. Lalu, ada seorang anak laki-laki yang tingginya sama dengan Tom. Wajahnya juga sangat mirip. Mungkinkah itu kembarannya?
Chef Budi rupanya penasaran. Spontan ia bertanya pada Tom. Anak laki-laki itu tersenyum dan menggeleng.
“Ini adikku, kami beda usia satu tahun.” Terjawab sudah pertanyaan itu.
Ketika waktu melepas rindu sudah habis, keluarga kami diminta duduk di deretan paling depan kursi penonton. Selanjutnya, Chef Arjuna mulai menjelaskan tantangan kali ini.
“Kalian akan diminta menyajikan tiga set menu, yakni appetizer, main course, dan dessert. Kalian bebas mengambil bahan di pantri ataupun mengambil alat-alat di ruang perlengkapan masak.”
Kami mengangguk kompak.
“Baik, waktu untuk ke pantri dimulai dari sekarang!”
Perkataan Chef Arjuna diikuti suara bel tanda acara grand final telah dimulai. Sontak suasana galeri langsung riuh. Para penonton memberi dukungan semangat untukku dan Tom.
Kami diberi waktu dua jam. Makanya, kami tidak mau kehilangan waktu. Dengan berlari, kami mengambil keranjang, langsung menuju pantri.
Tom lebih dulu keluar dari pantri. Sedangkan aku baru keluar dua menit setelahnya. Aku bisa melihat betapa cekatannya Tom. Ia sudah membersihkan bahan mentah, di saat aku masih menyiapkan bahan. Pembawaan Tom yang tenang, jauh berbeda denganku yang terlihat cukup panik.
Prang!
Aku menjatuhkan wajan. Tergesa kupungut dan kembali melanjutkan memotong daging. Suara penonton begitu berisik, membuat konsentrasiku sedikit terganggu.
“Nasha, fokus!” Aku bisa mendengar teriakan Kak Beryl. Kuacungkan jempol ke arahnya yang duduk di barisan depan bangku penonton.
Aku harus tenang dan konsentrasi. Untuk menetralkan emosi yang tidak karuan, aku memejamkan mata, dan mulai menarik-embuskan napas. Nasha, kamu pasti bisa! Jangan kalah sebelum berperang. Kembali aku menguatkan diriku sendiri.
Waktu terus bergerak cepat. Chef Melinda mengingatkan waktu memasak tinggal 100 menit. Aku mengangguk. Masih cukup waktu. Para juri dan penonton terlihat penasaran dengan hidangan apa yang akan kami masak. Chef Budi menghampiri meja masak Tom. Dari tadi kulihat, Tom terlihat menikmati proses memasak.
“Kamu masak apa, Tom?”
“Saya masak shrimp cocktail with salsa kecombrang sauce. Sengaja masak makanan Indonesia, yang dipadu dengan masakan barat.” Tom menjawab sambil tersenyum.
Chef Budi mengangguk. “Jadi kamu akan memadukan saus salsa dari Meksiko dengan kecombrang asli Indonesia. Sebuah perpaduan yang unik.”
Ya Allah, perutku jadi mulas mendengarnya. Pasti hidangan Tom luar biasa. Hush! Dengan cepat, aku menegur diriku sendiri. Aku tidak boleh bersikap seperti ini. Aku tidak boleh minder.
Ayo, Nasha! Masakan kamu juga nggak kalah enak dan menarik!