Nasha Si Chef Bunny Bagian #4

Bagian #4

KOMPETISI MASAK JUNIOR CHEF

Setelah berhasil melakukan pendaftaran online untuk mengikuti kompetisi masak, langkah selanjutnya adalah menunggu pengumuman hasil seleksi.

Selama menunggu, suasana di rumah tetap seperti biasa. Papa dan Mama sibuk bekerja. Kak Beryl, Kak Ayu, dan aku sibuk dengan urusan kami masing-masing. Selain sekolah, Kak Ayu sibuk dengan kegiatan ekskul vokal grupnya, aku terus berlatih masak. Sedangkan Kak Beryl, sudah dua hari ini berada di luar kota, ada acara kampus. Makanya, rumah jadi sepi banget. Tidak ada yang jail mengacak-acak rambutku atau melakukan keisengan lainnya.

“Kak Ayu ….”

Agak ragu aku memanggilnya, tetapi aku butuh seseorang untuk diajak bicara. Mama dan Papa belum pulang kerja. Sedangkan saat ini di ruang keluarga lantai dua, hanya ada kami berdua. Kak Ayu yang sedang asyik dengan ponselnya menoleh. Ekspresi wajahnya seperti bertanya, ada apa.

“Kak Beryl masih lama di Malang?” tanyaku pelan.

“Kenapa, kangen?” Mata Kak Ayu terlihat menyelidik. Dengan cepat, aku menggeleng. Tentu saja, aku gengsi kalau ketahuan kangen Kak Beryl. Melihat responsku, Kak Ayu malah terbahak. “Kamu dan Kak Beryl itu persis Tom and Jerry. Kalau ketemu berantem, tapi kalau pisah, kangen.”

Aku tentu saja protes. “Eh, siapa yang kangen. Enak rumah jadi sepi, nggak ada yang jail.”

Kak Ayu tergelak, lalu tersenyum. “Jangan khawatir, Sha. Besok Kak Beryl pulang.”

Aku mengangguk, dan pura-pura sibuk membaca buku. Padahal hatiku senang ketika mengetahui besok Kak Beryl akan pulang.

**

Kak Beryl pulang tanpa membawa oleh-oleh. Katanya ribet kalau harus beli-beli segala. Mama hanya tertawa mendengar alasannya, Kak Ayu tentu saja marah-marah, sedangkan aku kembali jadi bulan-bulannya Kak Beryl. Baru tiba di rumah saja, kakakku itu langsung memeluk, padahal ia belum ganti baju, boro-boro sudah mandi.

“Hiiy! Kak Beryl bau keringet. Lepasiiin!” Teriakanku sama sekali tidak digubris Kak Beryl. Pelukannya malah makin kencang.

“Kakak kangen Bunny. Di sana nggak ada yang bisa dipencet hidungnya, ha ha ha.”

Sungguh menyebalkan. Hari-hariku bakal dipenuhi kejailannya lagi.

**

Hari pengumuman tiba. Alhamdulillah, ada namaku di deretan list peserta yang lulus seleksi. Untuk tahap selanjutnya, ada sesi wawancara. Wah, ada ratusan anak yang menjadi kontestan. Dari informasi di pengumuman disebutkan kalau dari sesi wawancara, hanya akan dipilih sepuluh anak sebagai perwakilan tiap kota. Wow, audisinya ketat banget!

Dengan diantar Mama dan Kak Beryl, aku ikut menjadi peserta dari area Jabodetabek. Lho, Mama dan Kak Beryl bukannya sibuk? Kok, bisa mengantar aku? Itulah dia. Mama sampai mengambil cuti satu hari untuk menemaniku. Katanya, ini kesempatan istimewa untuk putri bungsunya, dan ia tidak mau melewatkan momen ini. Begitu pula Kak Beryl, jauh-jauh hari, ia sudah mengatur waktu agar bisa mengantarku. Melihat dukungan keluarga, aku berjanji untuk sungguh-sungguh berusaha.

Saat menunggu antrian, kami duduk di ruang tunggu aula, bergabung dengan kontestan lain dan keluarga yang mengantar. Suasana di aula mirip di terminal, begitu ramai dan berisik. Suara-suara obrolan memenuhi telinga. Sama seperti yang lain, mamaku juga ikut mengobrol dengan ibu-ibu lainnya.

“Anak Mama ikut kursus masak?”

“Oh, kalau anak saya ikut kursus Koki Cilik,” timpal ibu berkerudung biru.

Seorang ibu dengan dandanan modis ikut mengangguk. “Iya, Titania ikut Young Chef Academy, sudah dua tahun ini.”

Aku melirik anak perempuan yang duduk di samping ibu itu. Sejak tadi, kuperhatikan ia sibuk dengan ponselnya. Namun, tiba-tiba ia mendongak. Sepertinya menyadari kalau sedang kuperhatikan. Tatapan mata kami bersirobok. Aku tersenyum, tetapi ia malah melengos.

Mendengar obrolan ibu-ibu itu, aku jadi tahu kalau teman-teman peserta, rata-rata sudah bisa memasak. Iseng, aku mengedarkan pandangan. Ada peserta yang terlihat masih imut, tetapi ada yang sudah terlihat remaja. Hal itu karena syarat usia peserta berkisar antara 8-13 tahun.

Aku kembali mengamati sekitar. Ada macam-macam tingkah para kontestan selama menunggu giliran wawancara. Ada yang sibuk dengan ponselnya. Ada yang asyik mengobrol. Ada yang bercanda. Ada yang terlihat bosan. Ada yang tegang, tetapi ada yang terlihat santai dan tetap ceria.

“Bunny, nggak usah tegang gitu. Senyum, biar ototnya relaks.” Sambil bicara, tangan Kak Beryl sudah memegang kedua pipiku, lalu menariknya hingga bibirku tertarik ke atas. Seorang kontestan yang duduk di sampingku sampai tersenyum melihatnya.

“Ish, Kak Beryl, ah!” Buru-buru aku menepis tangannya. Kak Beryl selalu menganggap aku masih kecil, padahal aku sudah 12 tahun. Namun, tanpa merasa berdosa, Kak Beryl malah terkekeh. Sejurus kemudian, ia mengobrol dengan Mama. Aku tidak terlalu memperhatikan, tapi tiba-tiba Kak Beryl berdiri dengan tangan terulur ke arahku.

“Ayo, Bunny. Kita keluar.”

Tanpa menunggu persetujuan, Kak Beryl menarikku untuk bangun.

“Eh, mau ke mana?” tanyaku heran. “Nanti kalau Nasha dipanggil, gimana?”

“Udah ikut, aja!”

Aku hanya bisa menurut. Kak Beryl ternyata mengajakku ke kafetaria yang masih berada di area gedung tempat wawancara. Dengan sigap, ia langsung memesan dua mangkuk es krim. Untungnya, pelayanan di tempat ini cukup cepat. Tak menunggu lama, pelayan datang membawakan pesanan kami. Es krim oreo cheesecake untukku dan es krim crunch chocovan untuk Kak Beryl. Menikmati lelehan es krim di mulut, perlahan membuat hatiku terasa lebih baik.

Saat dalam perjalanan kembali ke aula, Kak Beryl menanyakan perasaanku. “Bunny, udah enakan?” Mata yang biasanya jail itu menatap teduh. Seketika, hatiku terasa begitu hangat. Ya, walau jail dan kadang menyebalkan, sebenarnya Kak Beryl, kakak yang perhatian.

“Bunny?” Kak Beryl menanti jawaban. Aku mengangguk dan sebuah ucapan terima kasih tulus kuucapkan. Kak Beryl tersenyum. Senyum sehangat mentari.

**

Giliranku akhirnya tiba. Mama mencium kening dan membisikkan kata-kata penyemangat. Aku masuk ke dalam ruangan dengan jantung yang berpacu kencang.  Di dalam ruang itu, duduk dua orang juri. Aku mengenali mereka. Keduanya chef yang sering tampil di televisi.

“Silakan perkenalkan nama, usia dan motivasi ikut acara ini!”

Aku menelan ludah. Dengan sopan, aku mulai memperkenalkan diri dan menjelaskan motivasi ikut kompetisi. Lalu satu per satu pertanyaan dari juri berhasil kujawab. Hingga muncul pertanyaan yang membuatku terdiam sesaat.

“Mengapa kamu masak bistik lidah sapi sebagai hidangan istimewa? Apa spesialnya?”

Aku mengangguk. “Nenek, almarhum nenek ….” Suaraku tercekat, mataku penuh oleh air. “Karena aku ingin menjaga warisan Nenek. Bistik lidah ini masakan istimewa di keluarga kami. Nenek biasa memasaknya setiap hari raya dan saat ada anggota keluarga yang berulang tahun.”

Entah kenapa jawabanku membuat juri terkesan, mereka memberikan tepuk tangan.

**

Malam hari semua kontestan telah selesai diwawancara. Tim juri kemudian memanggil satu per satu kontestan, dan memberikan masing-masing sebuah amplop. Ada yang berteriak gembira ketika isi amplopnya bertuliskan “congratulation” yang artinya ia lulus seleksi. Ada yang menangis, karena tidak lulus. Bagaimana dengan aku?

“Nasha Razeta!”

Aku maju ke depan dan menerima sebuah amplop. Apa isi amplop ini? Dadaku berdebar begitu kencangnya.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar