Alkisah di sebuah sungai, hidup seekor buaya yang sangat besar. Ia adalah buaya paling ganas. Setiap mangsa yang ia inginkan, akan ia dapatkan.
Namun, beberapa hari ini si Buaya tidak berhasil mendapatkan mangsa. Semua hewan yang ia incar, kabur sebelum ia sempat mendekat. Satu-satunya hewan yang tidak lari darinya adalah seekor kucing oren.
Dengan santai, kucing itu tidur, membersihkan badan, bahkan makan di dekat si Buaya. Buaya pun enggan memangsa si Kucing, ia khawatir bulu-bulu kucing itu membuatnya tersedak. Lagipula, kucing itu membuatnya tidak merasa kesepian. Tetapi, kalau sudah bosan makan ikan, dan laparnya tak tertahankan lagi, si Buaya tak akan ragu menjadikannya santapan.
“Hei Buaya, saya perhatikan kamu tambah kurus dari hari ke hari,” kata si Kucing sambil santai menjilati kaki belakangnya.
“Saya juga heran, kenapa hewan-hewan makin hari semakin pintar? Mereka seakan sudah tahu saya akan datang,” keluh si Buaya sambil perutnya berbunyi lirih.
Si Kucing malah tertawa, “Kamu benar-benar tak tahu kenapa mereka bisa begitu?”
“Tidak tahu, ayo katakan, atau kumakan kau!” Buaya menggeram galak.
“Mulutmu mengeluarkan bau yang sangat busuk. Kamu sih, terlalu rakus! Pasti banyak daging busuk tersangkut di antara gigimu,” Si Kucing berkata dengan yakin.
“Jangan sembarangan kamu!” Buaya berteriak geram. Namun sebenarnya, buaya juga merasakan ngilu di gigi-giginya. Iapun urung menangkap si kucing karena rasa nyeri yang tiba-tiba datang.
Setelah si Buaya tenang, si Kucing kembali berujar, “Saya tahu seorang dokter gigi di desa. Orang dengan bau mulut datang ke sana, lalu bau mulutnya hilang.”
Mata si Buaya berbinar. Terbayang olehnya ia akan kembali bisa memangsa hewan-hewan besar yang lezat.
“Suruh kemari dokter itu!” katanya angkuh.
Si Kucing oren menggeleng, “Dia terlalu sibuk. Sepertinya kamu yang harus mendatangi kliniknya,”
“Kalau dia tak mau datang, akan saya makan dia!” si Buaya mengancam.
“Kalau kamu menyakiti Bu Dokter gigi, warga desa pasti akan memburumu. Dia sering membantu warga dan semua sayang kepadanya.”
Buaya mendengkus kesal. “Kalau begitu, ayo kita pergi. Itu mudah. Semua manusia akan takut saat melihatku dan memberiku jalan,”
“Kalau kamu menakutkan, si dokter juga tak akan mau memeriksa. Malah kamu akan dipukuli warga sebelum sempat memijak desa. Kamu harus terlihat jinak!” kata si Kucing.
“Jinak? Itu menjijikkan. Saya tak mau terlihat jinak!” Buaya membuang muka.
‘Ya, sudah, kalau begitu. Selamat kelaparan terus!” si Kucing hendak beranjak. Tiba-tiba saja Si Buaya merasa takut kalau ia tak akan pernah bisa memangsa lagi.
“Tunggu! Baiklah, apa rencanamu? Saya akan menurut!”
“Tapi kamu harus janji, kalau sudah sembuh, kamu tak akan memakan saya!”
“Oh, tentu saja. Kau tak akan terluka walau segores,” jawab si Buaya mantap.
Lalu si Kucing pun memberitahu rencananya. Awalnya si Buaya tak setuju, namun si Kucing meyakinkan si Buaya bahwa ini cara terbaik.
Rencana si Kucing berhasil. Para penduduk desa tidak merasa takut, malah gemas dengan si Buaya.
Kucing mengikat mulut si Buaya lalu menghiasnya dengan pita. Sementara itu, si Kucing akan tidur di atas punggung buaya seolah tempat itu adalah kasur ternyaman di dunia.
“Ih, lucu sekali!”
“Kucing itu menggemaskan,”
“Buaya itu sungguh penyayang!”
Semua orang sibuk membicarakan mereka. Bahkan ada juga yang mengambil foto.
Sebenarnya berkali-kali pula air liur si Buaya menetes, namun si Kucing dengan galak menepuk kepalanya bila itu terjadi. Si Buaya kesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia ingin segera bisa berburu lagi.
“Nah, kita sampai!” kata si Kucing.
Buaya melihat sekeliling. Ini pertama kalinya ia datang ke pusat desa. Ada berbagai bangunan di sana. Ada bangunan merah dengan truk besar, juga ada bangunan yang di depannya ada mobil dengan aneka lampu.
Saat melihat si Dokter, tanpa sadar air liurnya menetes. Dokter itu terlihat sangat sehat dan segar, perutnya mulai berbunyi. Tapi lagi-lagi, si Kucing memukul matanya sehingga ia sadar.
Dokter itu menggendong si kucing dan membelainya. Kucing oren itu memang kesayangan kampung. Lalu si kucing melompat dan menunjuk mulut si Buaya. Setelah beberapa kali berusaha memberi tanda, ditambah drama air mata pura-pura si Buaya, si Dokter pun paham kalau buaya ingin diperiksa.
“Supaya bisa memeriksamu, saya akan membiusmu dulu, Buaya. Kamu akan tertidur sangat lelap.” kata si Dokter sambil memegang sebuah benda logam panjang dengan besi runcing di atasnya.
Si Buaya ngeri melihat senjata mungil itu, nyalinya ciut seketika. Bahkan ketika Dokter memanggil orang-orang berseragam merah untuk memeganginya, si Buaya pasrah.
Malam harinya, tahu-tahu si Buaya sudah kembali di tepi sungai. Si Kucing terlihat tidur bergelung tak jauh darinya. Rasa sakit di giginya hilang, dan sepertinya, bau mulutnya sudah hilang juga. Dokter gigi itu memang benar-benar ahli.
Perut buaya berbunyi. Ia mundur untuk memangsa ikan-ikan di sungai. Lumayan mengenyangkan, tapi rasanya tidak seenak hewan berdaging merah. Sayang, jarang sekali hewan berkaki empat ke sungai di malam hari.
Tiba-tiba, pandangan buaya terkunci pada si Kucing yang sedang tidur. Air liur mulai membanjiri mulut si Buaya. Dengan senyap ia melangkah mendekati si kucing, lalu … Hap! Setengah badan si kucing masuk ke dalam moncongnya.
“Aduh, aduh! Dasar pengkhianat, kau, Buaya!” terdengar ngeongan si Kucing. Lalu tiba-tiba mulut buaya terasa nyeri. Si Kucing mencakari lidah dan langit-langit mulutnya. Buaya pun terpaksa membuka mulut.
Dengan tubuh basah oleh air liur, si Kucing tertawa. Buaya heran, hewan berbulu itu sama sekali tak terluka. Lalu semuanya jelas saat si kucing mengajaknya bercermin di permukaan air.
Gigi-gigi tajamnya sudah terpotong, bahkan beberapa sudah hilang dicabut. Buaya terngaga, tak percaya. Ia mengeram, mengamuk, menghantam air yang membuat kodok-kodok berlarian.
Sambil asyik menjilati kuku-kukunya, si Kucing berkata, “Rasakanlah, Ini semua akibat sifat rakusmu sendiri. Sekarang makanlah ikan saja seumur hidupmu, dan saya juga tak mau lagi berteman denganmu.”
Si kucing pun pergi meninggalkan si Buaya itu sendirian. Sejak hari itu, si Buaya tak pernah terlihat lagi di sana.