Tarian Ajeng di Negeri Impian (Part. 2)

Bab 2

Belajar Tari di Pulau Dewata

Saat menutup mata, Ajeng merasakan ada yang aneh. Akan tetapi, dia tak berani membuka mata hingga Bufi memintanya.

“Sekarang kamu boleh buka mata, Jeng!”

Perlahan, Ajeng membuka mata. Saat matanya terbuka sepenuhnya, Ajeng dibuat terkejut dengan sosok anak perempuan di depannya. Anak itu seumuran dengannya, memiliki wajah yang manis dan berkulit sawo matang.

“Ka-kamu siapa?” tanya Ajeng sambil celingukan.

“Kamu cari siapa, Ajeng?”

“Kamu mengenalku?” Ajeng melotot heran.

Anak perempuan berkepang dua itu menepuk keningnya sendiri. Kemudian, menutup mulut. Dia menahan tawa ketika melihat ekspresi di wajah Ajeng.

“Maaf, aku lupa memberi tahu. Aku Bufi, kupu-kupu cantik bersayap biru ungu.”

“Kamu bisa berubah menjadi manusia?”

Ajeng kembali kaget. Bufi pun menjawab dengan mengangguk seraya tersenyum.

Di sela-sela kebingungannya, terdengar denting gamelan Bali yang khas dengan suara alat musik ceng-ceng. Tanpa menunggu penjelasan Bufi yang telah berubah menjadi anak manusia, Ajeng justru melangkah cepat menuju sumber suara dan diikuti Bufi di belakangnya.

Mata Ajeng berbinar saat menjumpai para penari putri dengan baju tradisional khas Bali bercorak merah dan kuning keemasan. Pakaian mereka sama dengan baju Ajeng.

Ajeng pun tersenyum lebar. Sesekali tangannya mengikuti gerakan tari mereka.

“Jadi, sekarang kita ada di Bali, Bufi? Itu Tari Bali, ‘kan?” tanya Ajeng tanpa menoleh ke arah Bufi.

“Itu namanya Tari Pendet. Tari Bali itu banyak macamnya, Tari Pendet salah satunya.”

Ajeng mengangguk-angguk. Sambil mendengar penjelasan Bufi, mata Ajeng tak lepas dari gerakan para penari.

“Dahulu, Tari Pendet hanya dipentaskan di Pura saat ritual keagamaan Hindu, tetapi sekarang beralih menjadi hiburan untuk para wisatawan. Tari ini disebut juga tari penyambutan,” jelas Bufi.

“Kenapa disebut tari penyambutan?”

“Kamu lihat, kan, di tangan mereka membawa semacam mangkuk dari perak berisi bunga. Nanti di akhir pementasan, bunga akan ditaburkan oleh penari kepada penonton. Itu sebagai ucapan selamat datang.”

“Oh, kamu pinter banget, sih, Bufi.” Ajeng terkagum-kagum pada teman barunya itu.

“Kamu mau coba?”

“Emang boleh?” Ajeng sangat antusias.

Bufi pun meminta izin pada seorang pelatih Tari Pendet dan dijawab dengan acungan jempol. Kemudian, dia menarik tangan Ajeng agar berdiri di belakang para penari. Dengan lincah, Bufi mulai berlenggak-lenggok yang seketika diikuti Ajeng.

Ajeng yang gemar menari pun langsung dapat mengikuti dengan mudah. Hanya satu kesulitan bagi Ajeng, yaitu saat gerakan kepala yang ditonjolkan pada gerakan mata.

“Bufi, aku nggak bisa ikutin gerakan matanya,” rengek Ajeng.

Bufi cekikikan saat mendapati gerakan mata Ajeng yang masih salah-salah.

“Bukan seperti itu, tapi seperti ini.” Bufi menyontohkan gerakan matanya.

Ajeng yang ingin bisa pun, memperhatikan detail gerakannya.

“Ini namanya Nyeledet, gerakan mata ke kanan dan ke kiri,” ucap Bufi sambil menunjukkan.

“Kalau ini namanya Ngiler, gerakan mata berputar,” jelasnya lagi.

“Kamu sangat pandai, Bufi.”

“Kamu juga cepat pandai, Ajeng. Kamu tahu siapa pencipta Tari Pendet?”

Ajeng menggeleng sambil terus mencoba gerakan mata dan mengikuti suara gamelan Bali. Gerakan yang selaras dan gemulai makin membuat Ajeng tak ingin berhenti.

“Tari Pendet diciptakan oleh seorang Maestro bernama I Wayan Rindi pada tahun 1950-an. Oya, Tari Pendet juga pernah ditarikan secara massal, loh. Saat upacara pembukaan Asia Games ke-4 di Jakarta pada tahun 1962.”

“Maksudnya massal itu apa?” tanya Ajeng kebingungan.

“Massal artinya dalam jumlah banyak. Saat acara itu, diikuti hingga kurang lebih 800 penari, Jeng. Itu kenapa tari ini mulai dikenal dunia.”

“Wah, keren.” Ajeng makin bangga pada Indonesia.

Setelah belajar Tari Pendet, Bufi mengajak Ajeng menikmati makanan khas Bali. Ada nasi jinggo, sate lilit hingga ayam betutu. Ajeng sangat lahap ketika menyantap makanannya.

“Nanti malam, kita akan melihat pentas Tari Kecak, Jeng.”

“Tari Kecak? Yang penarinya berteriak ‘cak cak cak’, ya?”

Bufi mengangguk.

***

Di bawah sinar rembulan, beberapa orang duduk melingkar dan ditemani cahaya dari obor bambu. Mereka mengenakan kain kotak-kotak, mirip papan catur hitam putih, yang dililitkan di pinggang.

Para penari yang semuanya laki-laki, biasanya mengadakan pentas Tari Kecak dari pukul 18.00 WITA. Tepatnya di Pura Luhur Uluwatu yang menjadi salah satu objek wisata terkenal di Pulau Dewata.

“Pentasnya akan segera mulai, ya? Tapi, kok, kayak ada yang kurang, Bufi,” ungkap Ajeng sambil tengok kanan-kiri.

“Iya, sebentar lagi mulai. Emang, apa yang kurang, Jeng?”

“Kamu lihat nggak, sih. Di mana mereka meletakkan alat musiknya?”

Bufi tersenyum mendengar pertanyaan Ajeng.

“Oh, kamu nyari alat musik? Tari Kecak emang nggak diiringi alat musik, Jeng.”

“Hah! Nggak seru dong! Aku aja kalau latihan Tari Gambyong harus diiringi suara gamelan.”

“Itulah uniknya Tari Kecak, tanpa diiringi alat musik.”

Ajeng makin tak paham. Bufi lalu menjelaskan. Tari Kecak hanya diiringi suara kincringan atau keroncong yang dipakai para penari. Kemudian, secara bersama-sama dan bersahutan para penari berseru, “Cak cak cak!”

“Oooh.” Ajeng membulatkan mulut sambil mengangguk-angguk.

Bufi tersenyum lebar melihat mulut Ajeng yang tampak lucu. Bahkan, ketika acara pentas tari dimulai, Ajeng justru mengikuti gerakan para penari. Dia sampai mengangkat tangan dan bersuara, “Cak cak cak.”

“Ternyata, ini seru juga, ya, Bufi. Mereka kayak sedang main pertunjukan gitu.”

“Iya, Ajeng. Tari Kecak sendiri, emang pertunjukan dramatari seni khas Bali. Biasanya menceritakan tentang kisah Ramayana, makanya tari ini dimainkan oleh laki-laki.”

Pengetahuan Ajeng tentang tari-tarian di Pulau Dewata makin banyak. Dia berterima kasih kepada Bufi.

“Oya, Jeng. Kamu tahu siapa pencipta Tari Kecak?”

Ajeng menggeleng. “Emang siapa?”

“Jadi, pada tahun 1930-an I Wayan Limbak bersama pelukis asal Jerman bernama Walter Spies menciptakan Tari Kecak dan memopulerkannya sampai ke luar negeri. Makanya, tari ini sangat terkenal hingga sekarang.”

“Oh, gitu. Kamu pinter banget, sih, Bufi.”

Ajeng yang kagum dengan kepintaran Bufi, menangkup kedua pipinya gemas.

“Karena aku suka membaca buku. Buku, kan, jembatan ilmu. Kalau kamu mau pintar, kamu harus rajin membaca buku,” jelas Bufi sambil melepaskan tangan Ajeng di pipinya.

“Apa setelah ini kita akan pulang?”

Bufi menggeleng. “Setelah ini, kita akan belajar tari yang lain. Tentunya nggak kalah seru dari Tari Pendet dan Tari Kecak. Apa kamu sudah siap, Ajeng?”

“Siap!” seru Ajeng bersemangat.

Bufi pun meminta Ajeng menutup mata dan

memperingatkannya agar tak mengintip.

“Wah, jadi nggak sabar, kira-kira kita akan ke mana, Bufi?” tanya Ajeng seraya menutup mata.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar