Tarian Ajeng di Negeri Impian (Part. 3)

Bab 3

Uniknya Tarian di Serambi Makkah

Setiap memejamkan mata, perasaan aneh bercampur penasaran selalu muncul. Namun, Ajeng menurut pada perintah Bufi agar tak mengintip. Hingga terdengar suara Bufi yang memintanya membuka mata.

“Kita ada di mana, Bufi?” tanya Ajeng setelah membuka mata.

“Tengok ke belakang.” Bufi memutar tubuh Ajeng dan menunjuk bangunan megah di depannya. “Menurut kamu kita ada di mana?”

“Ini … ini, kan, Masjid Raya Baiturrahman, Bufi. Itu artinya, kita ada di ….”

Ajeng yang begitu gembira sampai sulit berkata-kata.

“Aceh?” tanya Bufi.

“Iya, Aceh. Kota yang dijuluki Serambi Makkah. Pasti kita akan belajar Tari Saman, ‘kan?”

Bufi menjentikkan jari sambil berkata, “Iya, betul sekali.”

“Ayo, ayo, kita belajar Tari Saman sekarang. Buruan, Bufi.”

Ajeng yang tak sabar, terus mengguncang-guncang tubuh Bufi.

“Sabar, Jeng. Kita akan ke sanggar tari yang khusus mengajar Tari Saman. Tempatnya nggak jauh dari sini, tapi kita harus berjalan kaki dulu menuju sana.”

“Nggak masalah, tapi beneran, ya, kita akan belajar Tari Saman?”

“Kamu semangat banget, sih, Jeng.”

Ajeng pun mengatakan, selain Tari Gambyong, Tari Saman juga salah satu tari favoritnya.

Seperti Tari Kecak, Tari Saman mempunyai keunikan yang sama. Saat menari tidak diiringi alat musik, melainkan hanya diiringi syair-syair yang berisi pujian pada Allah Swt dan menggunakan bahasa Gayo.

“Sepertinya, kamu tahu betul tentang Tari Saman, Jeng.”

“Kan, favorit. Tentu aja aku pelajari betul-betul. Bukan hanya gerakannya, tapi juga sejarahnya.”

“Kalau gitu kamu tahu dong, siapa pencipta Tari Saman? Dan apa makna dari tari unik ini?”

“Kamu ngetes aku?” tanya Ajeng yang kemudian melipat tangan di depan dada.

Sambil jalan beriringan, Ajeng menceritakan awal mula Tari Saman yang dahulunya bernama Tari Tepuk Abe, sebuah permainan rakyat yang populer pada abad ke-14.

Kemudian, tari itu dikembangkan sebagai media dakwah pada waktu itu oleh seorang ulama besar yang bernama Syekh Saman asal dari Gayo, Aceh Tenggara. Makanya, tari itu dinamai Tari Saman, sesuai dengan pencetusnya.

Makna dari Tari Saman itu sendiri sebagai cerminan terhadap pendidikan, sopan santun, keagamaan, kepahlawanan hingga kebersamaan dan kekompakan.

Bufi bertepuk tangan ketika Ajeng selesai menerangkan. “Kamu betul-betul pintar, Jeng. Tahu semua tentang Tari Saman.”

“Karena di sekolah, Bu Guru pernah menjelaskan. Jadi, aku tahu.”

“Tapi, kamu hebat, bisa ingat semuanya. Kita sepertinya sudah sampai, Jeng. Kamu dengar suara itu?”

Ajeng menajamkan pendengarannya. Sayup-sayup mulai menangkap suara seruan khas Tari Saman.

“Iya, itu suara syair pengiring Tari Saman. Ayo, cepat kita masuk, Bufi.”

Begitu semangatnya, Ajeng sampai loncat-loncat kegirangan. Senyumnya sampai amat lebar. Bufi yang ikut senang, segera menekan bel pagar hingga seorang wanita berhijab hitam keluar.

“Bufi? Kamu sudah sampai, ya. Ayo, masuk.”

Wanita berbaju kurung itu meminta mereka masuk, tetapi Ajeng masih bingung, bagaimana Bufi bisa mengenal wanita itu?

“Kenalin, nama Kakak Cut Mutia. Panggil saja Kak Muti. Kakak guru tari di sini, siapa namamu, Cantik?” tanya wanita itu seraya mengulurkan tangan pada Ajeng.

“Aku Ajeng, Kak. Apa aku boleh ikut belajar Tari Saman?”

“Tentu saja boleh.”

Setelah masuk ke ruang depan sebuah rumah panggung, tampak beberapa penari perempuan sedang berlatih Tari Saman. Mereka yang beberapa hari lagi akan pentas pun, berlatih dengan kostum yang akan dikenakan nantinya supaya terbiasa.

“Kok, itu kostumnya ada yang beda sendiri, sih, Kak?” tunjuk Ajeng pada penari berbaju hijau, sedangkan yang lainnya berbaju merah.

“Oh, yang di tengah itu namanya Penangkat. Dia yang menentukan tariannya akan berhenti atau lanjut.”

“Kayak, pemimpin gitu, ya, Kak?”

“Iya dan dua orang di sebelah kanan kiri Penangkat namanya Pengapit. Mereka yang menggantikan Penangkat jika lupa lirik lagu atau kehabisan suara.”

Ajeng dan Bufi yang baru tahu fungsi dari tiap-tiap penari, sontak mengangguk-angguk. Kak Muti pun menjelaskan fungsi penari yang lainnya, ada Penjepit dan Penupang.

Penjepit yang bertugas menjepit barisan agar tidak lepas, sedang Penupang bertugas menopang barisan sehingga sekuat apa pun gerakan dan hentakan yang dilakukan, barisan tetap kokoh.

“Sekarang, kalian perhatikan lebih dulu gerakannya, ya,” pinta Kak Muti.

Para penari yang berjumlah ganjil sebanyak tujuh orang, kemudian membentuk barisan dengan posisi duduk. Penangkat memberi aba-aba dan mulai menyanyikan syair lagu. Semua penari pun melakukan gerakan dasar tepuk tangan dan tepuk dada.

Gerakannya terus berulang, tetapi makin cepat lagu maka makin cepat pula gerakan yang menampilkan gerak tangan, badan, dan kepala.

“Padahal, nggak diiringi alat musik, tapi gerakannya bisa kompak gitu, ya, Bufi,” ungkap Ajeng seraya meniru gerakan mereka.

“Iya, Jeng. Suara tepuk tangan para penari terdengar seperti nada musik,” sahut Bufi.

Ketika mereka sudah menyelesaikan tarian, Kak Muti meminta Ajeng dan Bufi bergabung ke barisan. Mereka ditempatkan di ujung kanan dan kiri barisan. Dengan cepat, mereka hafal gerakannya meski beberapa kali sempat salah-salah.

“Wah, kalian cepat pintar, ya. Terutama kamu, Jeng. Kak Muti yakin, jika kamu terus berlatih, kamu akan menjadi penari tradisional yang keren,” puji Kak Muti.

“Terima kasih, Kak Muti. Terima kasih juga sudah mau mengajari Ajeng,” balas Ajeng senang.

Ajeng dan Bufi lalu berpamitan kepada Kak Muti. Karena hari sudah sore, mereka akan kembali ke Masjid Raya Baiturrahman untuk salat Asar.

Akhirnya, Ajeng bisa salat di masjid yang menjadi ikon kota Banda Aceh. Masjid yang pernah menjadi saksi sejarah bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004.

“Sekarang kita akan ke mana lagi, Bufi?”

Bufi berpikir sejenak. “Apa ada tempat yang ingin kamu kunjungi, Jeng?”

“Ada. Aku ingin ke sana untuk melihat langsung pertunjukan tariannya.”

“Di mana?” tanya Bufi.

Ajeng kemudian membisikkan nama tempat yang ingin didatangi. Bufi pun meng

angguk mengerti. Seperti biasa, anak perempuan yang rambutnya dikepang dua itu meminta Ajeng memejamkan mata.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar