3 Jam Bersama Puca Si Capung Ajaib – Bab 1

Bab 1 – Kabar di Negeri Capung

Di dekat suatu danau yang indah terdapat tempat tinggal para capung dewasa. Serangga-serangga yang memiliki mata bulat dan besar itu terlihat sangat cantik.

Salah satunya bernama Puca. Ia mempunyai kepala berukuran besar, serta berwarna biru muda dan putih. Badan hingga ekor panjangnya berwarna ungu dan biru, begitu juga dengan keenam kakinya. Ia juga mempunyai dua pasang sayap panjang, tipis, dan transparan dengan warna biru sangat muda. Namun, saat terkena cahaya matahari warnanya menjadi seperti hijau muda. Benar-benar cantik.

“Terima kasih, Puca,” ucap Cati yang sedari tadi menanti kedatangan Puca.

“Terima kasih untuk apa, Cati?” tanya Puca saat baru hinggap pada kayu pembatas danau —tempat para capung suka bertengger —.

“Berkat bantuanmu, tadi aku tidak jadi ditangkap oleh ketiga anak manusia,” jawab Cati dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Puca tersenyum pada Cati, “Sama-sama. Kita, kan, harus saling menjaga dan membantu, saat ada yang berada dalam kesulitan. Apalagi, kamu adalah salah satu temanku.” Puca meletakkan salah satu sayapnya pada punggung Cati.

“Hari sudah mulai gelap. Kenapa kamu baru tiba di sini, Puca?” tanya Caku yang tiba-tiba datang dan hinggap di kayu pembatas danau itu. Ia berdiri di samping Puca. “Aku dengar, tadi kamu membawa tiga anak manusia ke negeri capung ini, ya?” tanya Caku dengan sinis.

“Tidak!” sanggah Puca.

“Kabar itu sudah diketahui oleh teman-teman di negeri capung. Mau mengelak bagaimana lagi, Puca? Mungkin sebentar lagi raja pun akan mengetahuinya,” ejek Caku dengan angkuh.

“Aku hanya mengajak bermain sebentar di rumah mereka. Bukan ke negeri kita,” jawab Puca dengan tenang.

“Itu sama aja, Puca!” sungut Caku tak mau kalah, lalu pergi begitu saja.

Puca terdiam.

“Biarkan saja, Puca. Caku, kan, memang begitu. Tidak suka dengan siapa pun yang menjadi sorotan di negeri capung ini,” bisik Cati.

Puca menghela napas panjang. “Iya, Cati. Terima kasih, ya,” sahut Puca dengan tersenyum.

Namun, sorot mata Puca menampakkan kesedihan. Ia tak ingin memiliki musuh, terutama dengan koloninya. Puca pun tak tahu alasan sikap Caku berubah padanya. Padahal, saat ia dan Caku masih menjadi nimfa, keduanya selalu bermain bersama-sama.

“Oh, iya. Bagaimana rasanya dapat berbicara dengan manusia?” Cati mengalihkan pembicaraan.

“Menyenangkan sekali. Ternyata, mereka itu tidak jahat seperti yang kita kira selama ini. Mereka hanya ingin bermain bersama kita. Tapi, caranya kurang tepat,” jelas Puca dengan mata berbinar.

Cati mengangguk-angguk mendengar kenyataan tentang manusia. Kabar yang selama ini beredar di negeri capung, manusia itu sangat kejam. Mereka suka sekali menyiksa para capung dengan berbagai cara. Bahkan, Cati pernah melihat salah satu temannya sulit terbang lagi, setelah dimainkan oleh anak manusia.

“Kamu mau aku kenalin sama mereka?” tanya Puca. Ia menoleh pada Cati.

“Ha!”

“Kita, kan, sudah pernah bertemu dengan ketiga anak manusia itu. Jadi, tidak perlu takut lagi, kan?” Puca mencoba meyakinkan Cati.

“Ehm … baiklah! Tentu saja aku mau!” tegas Cati dengan bersemangat. “Sepertinya, mereka menyukai kita,” sambungnya.

Puca pun menceritakan keseruannya saat bermain bersama ketiga anak manusia itu. Cati mendengarkan dengan antusias. Sesekali, mereka terbahak-bahak.

“Oh, iya. Nanti aku pikirkan dulu caranya agar dapat bermain bersama ketiga anak manusia itu, ya,” bisik Puca. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Cati mengangguk-angguk. “Rasanya sudah tak sabar.” Cati terkikik. “Besok pagi, kalau cuacanya cerah, kita bertemu di sini lagi, ya.”

Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Lambat laun, sinar matahari berganti dengan cahaya bulan sabit. Cati dan Puca pun berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka tak ingin menjadi santapan lezat hewan-hewan nokturnal.

Akan tetapi, keduanya tak menyadari jika sedari dari ada seekor serangga yang mengintai.

_To be Continued _

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar