SEPAK SAWUT, PERMAINAN TRADISIONAL SUKU DAYAK

Sepak sawut adalah olahraga tradisional khas suku Dayak di Kalimantan Tengah. Olahraga ini seperti  permainan sepak bola, tetapi bedanya bola yang dipakai adalah bola api. Bola sepak sawut terbuat dari bongkahan sabuk kelapa tua yang telah kering dengan terlebih dahulu airnya dibuang lalu bongkahan tersebut direndam menggunakan minyak tanah. Tujuannya supaya minyak meresap kedalam serat-serat bola kelapa tersebut agar mampu menghasilkan api yang besar atau tinggi.

Tahukah kalian asal usul sepak sawut ini?  Permainan ini dahulu merupakan ritual adat suku Dayak. Dalam kepercayaan agama Kaharingan, jiwa orang yang meninggal dunia akan menuju lewu tatau (Surga). Nah, upacara kematian suku Dayak ini membutuhkan tahapan-tahapan. Biasanya jasad yang meninggal akan dimakamkan tiga atau beberapa hari kemudian, bahkan ada yang sampai berminggu-minggu. Tentu saja, hampir sama dengan kepercayaan agama lainnya atau adat budaya yang diyakini oleh suku lain, jasad orang yang meninggal harus ditunggu semalaman supaya jasadnya tidak diganggu atau diambil oleh roh-roh jahat. Untuk itulah maka orang-orang suku Dayak zaman dahulu bermain sepak sawut ini. Orang-orang suku Dayak meyakini bahwa bola api yang dimainkan saat menunggu jenasah ini  gunanya adalah untuk menakut nakuti roh jahat. Semakin besar dan tinggi api yang dihasilkan dari bola sawut tersebut,  maka roh-roh jahat akan semakin takut mendekat.

Selain itu juga, tujuan bermain sepak sawut juga untuk menghibur keluarga duka. Keramaian dan keriuhan yang terjadi pada saat permainan akan mengundang banyak orang untuk datang dan ikut melayat. Keluarga duka akan terhibur dengan melihat keseruan permainan ini.

Selain untuk permainan menunggu jenasah dan mengusir roh-roh jahat, permainan sepak sawut juga dimainkan saat membuka ladang berpindah. Suku Dayak memiliki tradisi handep atau gotong royong. Banyak orang yang ikut serta membantu membuka lahan dan menanam padi. Ketika lahan sudah selesai dibakar dan digarap, maka para pemuda akan memainkan permainan ini untuk menyemarakkan suasana.

Permainan ini dimainkan oleh dua kelompok yang masing-masing beranggotakan lima orang. Luas lapangan yang dipakai tidak berbeda jauh dengan luas lapangan basket. Peraturan main juga hampir sama, tidak berbeda jauh dengan main sepak bola pada umumnya yang terdiri dari dua gawang. Pertandingan dipimpin oleh seorang wasit. Siapa yang banyak memasukkan bola ke gawang lawan maka tim tersebut yang dinyatakan sebagai pemenang dalam lomba.

Sekarang permainan sepak sawut sudah jarang dilakukan. Biasanya, permainan ini hanya bisa disaksikan ketika ada event-event seperti festival budaya atau dan perlombaan saja. Namun, di desa-desa yang penduduknya menganut kepercayaan agama Kaharingan, permainan ini bisa ditonton di malam hari saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Pemainnya bukan hanya kerabat atau orang yang beragama Hindu saja. Bila ingin mencoba bermain sepak bola unik ini dan kita punya keberanian untuk menendang bola api, siapapun bisa ikut. Tetapi tentu saja bermain sepak sawut membutuhkan ketrampilan khusus.

Melestarikan permainan sepak sawut artinya melestarikan budaya Dayak. Permainan tradisional hakikatnya tercipta sebagai hasil kebudayaan dari masyarakat setempat sehingga makna dan nilainya sama dengan hasil kebudayaan yang lain seperti sastra, seni, arsitektur dan hasil budaya luhur lainnya. Sepatutnya permainan tradisional suku Dayak seperti sepak sawut ini, besei kambe, habayang, lawing sakepeng dan lain-lain diperkenalkan kepada anak-anak sehingga mereka memahami, mencintai, bangga dan pada akhirnya turut melestarikan budaya suku Dayak sebagai identitas mereka.

Sumber gambar : Wadaya

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar