Suatu hari, hiduplah seekor kucing betina belang tiga bernama Katy. Sejak kecil, dia selalu tinggal di rumah besar dan tidak dibolehkan untuk keluar rumah. Katy yang penasaran dengan dunia luar akhirnya memutuskan untuk keluar rumah ketika tidak ada orang di dalam rumah.
Katy kagum melihat dunia luar yang begitu indah. Dia bisa melihat orang berlalu-lalang. Terkadang dia terkejut mendengar suara klakson.
Katy terus melangkah. Tanpa sadar, dia telah memasuki hutan. Dia menemukan seekor koala yang sedang memakan daun. Dia duduk dengan santai di dahan pohon. Melihat hewan yang berbeda bentuk dengan dirinya, Katy yang penasaran segera menyapa koala itu.
“Halo!” sapa Katy ramah. “Namaku Katy. Aku kucing belang tiga. Siapa namamu? Dan kamu hewan apa?”
Koala itu kaget. Lantas dia segera bersembunyi. Katy kebingungan.
“Kamu enggak usah kaget. Dia memang sedikit pemalu.” Tiba-tiba datanglah seekor harimau. Ini juga pertama kalinya Katy melihat sosok hewan yang memiliki tiga pasang kumis seperti dirinya, tapi badannya jauh lebih besar daripada kucing pada umumnya.
“Oh begitukah?” tanya Katy. “Oh ya. Namaku Katy. Aku adalah kucing belang tiga. Salam kenal.” Katy menyodorkan tangan.
“Namaku Tigrina. Aku adalah seekor harimau. Salam kenal juga, Katy.” Tigrina menyalami Katy. “Ngomong-ngomong, aku baru pertama kali melihatmu di sini.”
“Iya. Ini memang pertama kalinya aku ke sini.”
“Asalmu dari mana?”
“Aku tinggal di perumahan sebelah sana,” tunjuk Katy ke arah tempat-tempat manusia tinggal. “Pemilikku memang baik, tapi aku bosan hanya tinggal di dalam rumah. Aku ingin melihat dunia luar seperti televisi yang kutonton.”
“Wah. Pasti membosankan, ya,” timpal Tigrina. “Kalau begitu, ayo kuajak kamu berkeliling!”
Katy mengangguk setuju. Katy mengikuti jejak Tigrina. Katy sangat takjub melihat keadaan hutan. Dia bisa melihat tebing yang tinggi, pohon dengan berbagai jenis dan ukuran, dan bertemu dengan berbagai hewan yang belum pernah dia jumpai. Dia juga diajak memanjat pohon dan berbagai tempat oleh Tigrina, bahkan mereka sampai memanjat bukit yang dikenal sangat tinggi. Katy bisa melihat pemandangan yang lebih luas lagi. Dia bisa melihat betapa indahnya alam. Dia bisa melihat bahwa rumah besar yang ditempatinya jauh lebih kalah luas dibandingkan luasnya hutan. Dia juga dapat melihat sungai panjang yang memutari hutan, seperti membelah hutan menjadi beberapa bagian.
“Hebat. Ini indah sekali!” seru Katy.
“Iya, kan? Inilah hebatnya ciptaan Tuhan. Sepintar dan sehebat apa pun manusia, pasti mereka tidak akan bisa membuat hal seperti ini,” sahut Tigrina.
“Iya. Benar juga katamu. Sepanjang perjalanan tadi, aku kagum dengan semua bangunan yang manusia buat. Tapi melihat ini, aku benar-benar kagum. Ini jauh lebih luar biasa!”
“Aku selalu ke sini kalau ingin bersantai. Kalau aku merasa kesal dan lelah, dengan melihat pemandangan ini, semangatku terisi kembali,” tambah Tigrina.
“Ya! Aku juga merasa mendapat energi kehidupan setelah melihat pemandangan ini!” seru Katy. “Terima kasih, Tigrina sudah mengajakku ke sini. Sungguh ini pengalaman yang tak terlupakan olehku.”
Mereka menikmati pemandangan hingga matahari terbenam. Katy kembali kagum melihat merahnya matahari yang sangat indah, dihiasi burung-burung yang beterbangan. Dia ingin tinggal lebih lama lagi, tapi dia sadar kalau ini adalah waktunya sang pemilik pulang.
“Aku harus pulang. Pemilikku akan mencariku,” ucap Katy. “Tapi aku tidak tahu jalan pulang.”
“Nanti akan kumintai tolong Hato mengantarmu sampai rumah. Dia adalah burung merpati yang sering bolak-balik ke sini dan area manusia.”
Katy mengucapkan terima kasih dan salam berpamitan kepada para penghuni hutan. Tak lupa dia juga mengucapkannya lebih spesial kepada Tigrina.
Beberapa hari kemudian, Katy menyempatkan diri seminggu sekali untuk pergi ke hutan. Karena sifatnya yang ceria dan mudah bergaul, Katy memiliki banyak teman di sana. Tentunya Katy lebih dekat dengan Tigrina, bahkan dia menganggap Tigrina seperti sahabatnya. Hanya saja Katy masih kesulitan berteman dengan Kolala, si koala pemalu. Katy berusaha mendekati Kolala, tapi Kolala selalu bersembunyi atau tidur.
Hingga Katy memutuskan memanjat pohon eukaliptus yang ditinggali Kolala. Tapi saat Katy mendekati pohon itu, Kolala berteriak, “Jangan langkahi rumput itu!”
“Kenapa?” tanya Katy bingung. “In ikan rumput yang biasa dimakan hewan lain.”
“Bukan! Itu memang mirip, tapi itu beracun!” seru Kolala. “Kalau kamu menyentuhnya, badanmu akan gatal-gatal parah selama satu minggu!”
Tiba-tiba ada seekor kelinci yang berlari karena dikejar monyet. Saat si monyet menyentuh rumput itu, tiba-tiba seluruh badannya merah dan dia gatal-gatal hebat.
Katy kaget, sekaligus kagum dengan kepandaian Kolala. Dia mengira kalau Kolala adalah hewan yang tidak mau berbicara, tapi saat melihat ada hal yang buruk, Kolala langsung berbicara dengan lantang.
Katy akhirnya berhasil berteman dengan Kolala. Meski pemalu, Kolala sangat pintar. Katy dan Tigrina jadi belajar banyak hal dari Kolala.
Hingga suatu hari, diadakan kompetisi cerdas cermat di hutan. Banyak hewan yang mengikuti kompetisi tersebut. Tidak terkecuali Mongki, monyet yang dikenal pintar tapi sombong.
Katy dan Tigrina yang mendengar kompetisi itu segera menemui Kolala.
“Kolala! Ayo ikut kompetisi cerdas cermat!” ajak Katy penuh semangat.
“Tidak. Aku tidak mau,” tolak Kolala.
“Kenapa?”
“Aku tidak yakin aku bisa.”
“Jangan seperti itu, Kolala! Kamu pintar banget, sayang sekali kalau kamu tidak mengembangkan bakatmu!” tambah Tigrina.
Kolala ragu. Akhirnya, setelah dibujuk cukup lama, Kolala mengangguk setuju.
Tiba waktunya pelaksanaan kompetisi cerdas cermat, semua hewan di hutan antusias berkumpul. Peserta lomba ada lima ekor hewan yang berhasil lolos seleksi, dua di antaranya adalah Kolala dan Mongki. Mongki dengan sombongnya yakin kalau kali ini dia akan menjadi juara lagi.
Skor Mongki dan Kolala saling berbalapan. Tapi semakin lama, Mongki menjawab lebih cepat dibanding Kolala, membuat skor Mongki bertambah lebih banyak daripada Kolala. Kolala merasa rendah diri. Dia tidak yakin bisa melawan Mongki.
“Kolala! Jangan putus asa! Ini belum berakhir!” teriak Katy.
“Iya, Kolala! Kamu pasti bisa! Kami yakin kamu bisa jadi pemenangnya!” Tigrina ikut berteriak.
Kolala yang sempat murung akhirnya semangat kembali. Dia tetap berusaha semaksimal mungkin, bahkan ketika ekor Mongki mengganggu tangan Kolala.
“Pertanyaan terakhir! Jika bisa menjawab pertanyaan ini, mendapat poin 100. Tapi jika salah, akan dikurangi 150!” seru Falke si elang. Suasana semakin tegang. Falke mengambil masing-masing satu tangkai tanaman yang dilapisi kain. “Yang mana yang berbahaya? Yang kiri, atau yang kanan?”
“Yang kiri!” seru Mongki sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Firasatku berkata kalau kiri adalah hal yang buruk!”
Semua hewan sudah tidak tertarik mengikuti jalannya kompetisi karena sudah yakin kalau Mongki yang jadi pemenangnya.
“Salah!” seru Falke.
“Argh!” Mongki berteriak kesal. Poinnya yang sudah tinggi berkurang 150. Tapi skor Mongki tetap di atas Kolala meski berbeda tipis.
“Apa kamu ingin menjawabnya, Kolala?” tanya Falke.
“Lah! Enggak bisa begitu, dong! Ini enggak adil! Sudah pasti jawabannya yang kanan beracun! Dia langsung menang!” protes Mongki yang merasa Falke tidak adil.
Kolala mengembuskan napas. Dia mengatur napasnya, lalu dia menjawab dengan lantang dan yakin, “Meski begitu, jawabanmu tetap kurang tepat.”
“Ha? Apa maksudmu?” tanya Mongki dengan wajah mengejek.
“Keduanya beracun. Tidak ada yang aman.”
“Ya! Benar sekali!” seru Falke. “Dengan ini, diputuskan pemenangnya adalah Kolala!”
Semua penghuni hutan bersorak-sorai. Tidak terkecuali Katy dan Tigrina. Mereka langsung berlari dan memeluk Kolala.
“Benar kan kataku! Pasti sahabatku ini bakal menang!” kata Katy.
“Bukan! Dia itu sahabat kita!” ucap Tigrina.
Kolala sangat senang. Perjuangannya tidak sia-sia untuk memberanikan diri mengembangkan bakatnya.
Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024