Layang-Layang Kecil Wani

Wani berdiri di tengah tanah lapang dan dia sedang memandangi anak laki-laki menerbangkan layang-layang. Tampak langit yang berwarna biru banyak dihiasi layang-layang dengan berbagai bentuk dan warna. Ada satu layang-layang membuat Wani kagum, karena bentuk dan bahannya berbeda dari kebanyakan layang-layang yang diketahuinya. Wani menghampiri si pemiliknya.

“Layang-layangmu bagus. Layang-layang apakah itu?” Wani bertanya.

Kaghati namanya,” jawab si pemilik layang-layang.

“Apakah kamu membuatnya sendiri?, Wani bertanya lagi.

“Ayahku yang membuatnya. Pembungkus kaghati itu bahannya dari daun gadung bukan kertas minyak, kenurnya pun dari serat daun nanas yang dipintal. Selain itu, kaghati layang-layang unik loh kata ayahku,” tegasnya.

“Memangnya uniknya apa?” Wani merasa penasaran.

“Ayahku bercerita bahwa kaghati yang diterbangkan tujuh hari-tujuh malam kemudian kenurnya diputus pada malam terakhir akan melayang-layang mencapai matahari. Kita tinggal memanjatkan doa dan pasti dikabulkan,” si pemilik layang-layang menjelaskan.

“Wah… aku ingin punya layang-layang sepertimu,” keinginan Wani sekaligus percakapan terakhir dengan si pemilik kaghati.

Wani meninggalkan tanah lapang dan si pemilik layang-layang yang sibuk mengulurkan kenur. Dia mampir ke toko layang-layang. Mata Wani fokus mencari layang-layang kaghati keinginannya, tetapi sudah dua kali Wani memutari etalase tetapi tidak ada. Dia ke toko sebelahnya juga tidak ada. Wani sudah mengusahakan dengan bertanya kepada penjual, tetapi jawabannya selalu tidak menyenangkan hatinya.

Kaghati jarang yang menjualnya,” kata satu penjual.

Kaghati rumit cara buatnya, makanya sulit didapatkan,” kata penjual lainnya.

“Adapun ada, harganya dua kali lipat dari layang-layang biasanya,” kata penjual layang-layang yang lainnya lagi.

Wani tidak akan mempermasalahkan berapapun harga yang ditawarkan oleh penjual, baginya ingin segera memiliki kaghati. Satu-satunya alasan Wani memiliki kaghati itu adalah menjadi tunggangan doanya untuk ibu. Kaghati Wani tak ingin terbang ke matahari, melainkan terbang ke surga, ke tempat ibunya berada. Mungkin kaghati itu menurut Wani bisa dibuat oleh ayahnya. Wani tidak habis akal.

Wani bergegas pulang dan langsung menemui ayahnya. Wani mulai bercerita tentang pengalamannya hari ini melihat kaghati. Dia meminta ayahnya untuk membuatkan layang-layang kaghati itu.

“Buatkan layang-layang yah,” minta Wani.

“Sejak kapan kamu bisa menerbangkan layang-layang?” ayahnya tampak kaget.

“Sejak tadi yah. Wani ingin punya layang-layang yang bahannya dari gadung dan nanas.”

Kaghati maksudmu?”

“Iya yah.”

Jawaban ayahnya selanjutnya bahwa kaghati sulit dibuat, disamping itu bahan-bahannya sudah mulai jarang ditemukan. Butuh perjalanan ke hutan mendapatkan daun gadung, sementara daun nanas mesti didapatkan kepada petani nanas. Sepertinya ayahnya menolak permintaan Wani. Wani sekarang tidak habis kesabaran. Dia terus merayu-rayu ayahnya untuk dibuatkan satu layang-layang kaghati, meskipun ukurannya kecil Wani tidak permasalahkan. Ayahnya pun luluh melihat usaha keras Wani tersebut. Ayah berjanji akan membuatkannya besok hari.

Sepanjang malam Wani susah tidur. Dia terus memikirkan layang-layang kaghati. Ketika Wani sudah terlelap, kaghati menjadi mimpinya. Wani tampak bersayap daun gadung dan terbang bersama kaghati menuju surga, bertemu ibu dan memenuhi undangannya. Tinggal berbahagia di rumah besar milik ibu yang dibelakang rumahnya mengalir sungai susu kesukaan Wani. Di halaman rumah ibunya berjejer tanaman buah-buahan yang teramat manis, Wani memetik dan memakannya.

Wani tertidur pulas. Ketika dia bangun matahari sudah di tengah-tengah atap rumahnya. Untungnya hari minggu. Wani tidak biasanya bangun seperti ini, dia biasanya terbangun saat azan subuh berkumandang. Dia mencuci muka, kemudian mencari ayahnya.

Wani menemukan ayahnya di belakang rumah sedang membuat sesuatu. Didekatinya ternyata sedang membuat kaghati. Tampak kaghati sudah setengah jadi. Kini tinggal proses pemasangan daun gadung dengan cara di capit-capit pada rangka layang-layang. Wani turut membantu ayahnya yang mulai tampak kelelahan. Wani menduga ayahnya capek mencari daun gadung itu. Akhirnya kaghati telah jadi. Ukurannya kecil, tetapi Wani tetap mensyukurinya.

“Ini layang-layangmu Wani!” ayah menyerahkan kaghati.

“Keren kaghati buatan ayah. Wani menyukainya,” Wani tampak kegirangan.

“Maafkan ayah hanya bisa buat ukuran seperti ini.”

“Tidak apa-apa yah. Ayo yah, kita terbangkan di tanah lapang. Angin sedang kencang-kencangnya.”

Wani tampak memegang layang-layang dan menunggu aba-aba, sementara ayahnya memegang kenur yang digulung pada kaleng susu bekas.

“Lepas…!” ucap ayah.

Kaghati seketika terbang lurus seperti roket meluncur. Kaghati mengudara disertai suara bunyi-bunyian mirip pesawat. Suara itu timbul dari tiupan angin keras meniup sundari yang terpasang pada kaghati, bentuknya seperti induk anak panah. Kaghati buatan ayah Wani menjadi perhatian dan ramai diperbincangkan pada saat itu karena memiliki kelebihan yaitu punya bunyian-bunyian ketimbang orang lain yang sedang terbang.

Wani mulai memegang kenur kaghati dan dimainkannya dengan cara menarik lalu mengulur. Kegiatan itu dilakukannya secara terus-menerus. Dia tampak senang saat itu.

“Bagaimana kita terbangkan saja di belakang rumah Wani? Ayah punya ide kita terbangkan selama tujuh hari-tujuh malam seperti kebiasaan orang-orang di kampung kita ini!” kalimat yang terlintas di kepala ayah.

Wani kembali teringat keinginannya bertemu ibu. Dia tanpa pikir panjang menyentujui ide ayahnya. Kaghati dipegang kembali oleh Wani dan menunggu aba-aba: lepas!. Sekarang kaghati sudah mengudara lagi. Langit yang senja, ayah dan Wani berusaha mengulur dengan cepat kenur kaghati. Sampailah pada ujung kenur yang terikat pada kaleng, kemudian kenur diikat pada batang pohon dengan erat-erat. Saban siang dan malam, sundari terus berbunyi mirip pesawat.

Tibalah di malam ketujuh, malam yang ditunggu Wani. Wani mulai membacakan doa sekaligus harapan-harapannya yang belum tercapai, tetapi paling dia tekankan bertemu ibu. Doa selesai kenur diputus oleh ayahnya. Bunyi sundari perlahan-lahan meninggalkan mereka berdua. Kebetulan malam itu bulan bersinar terang, Wani melihat kaghati yang telah berpisah dengan kenurnya mengepak-ngepak seperti punya sayap akibat dibawa oleh angin. Tujuannya tetap menuju ke angin barat. Wani pun berharap doa yang dipanjatkan tetap menuju ke rumah ibu. Pada malam itu, Wani teramat senang karena keinginannya tercapai.

“Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar