Ssstt.. Ini Cerita Kinan!

Kardus-kardus yang sudah berumur itu sedang diseleksi oleh mama Kinan dan Yayu Dea pun turut membantu kegiatan mama. Tak jauh jarak dari tempat tersebut, terlihat jelas wajah Kinan merengut seperti sedotan yang tertekuk. Kardus-kardus itu bukan sembarang kardus. Bukan kardus biasa. Di dalam kardusnya ada mainan-mainan kesukaan semasa Kinan kecil. Ini permasalahan sederhana, Kinan tak rela jika mama membuang seluruh mainannya. Menanggapi hal tersebut, mama hanya bisa terus memberikan pengertian pada Kinan.

“Kinan, ‘kan sudah kelas 4 SD. Mainan-mainan ini lebih bagusnya kita berikan untuk orang yang membutuhkan saja, ‘ya?”. Rayu mama.

“Itu masih Kinan mainkan kok, Ma. Jangan dibuang dan diberikan sama siapapun.”

“Kapan kamu bakal mainkan, sayang?” Tanya Yayu Dea.

“Sesuka hatiku aja, Yu. Aku sayang banget sama mainanku itu.”  Kinan tetap teguh dengan jawaban menolak.

“Lihat deh, beberapa mainanmu sudah tidak layak pakai, ada yang bolong dan robeknya.” Mama membuktikan dengan dua mainan punya Kinan yang ada di tangannya.

“Yasudah, mama izin tetap menyeleksi kardus-kardus mainanmu ya. Tidak semua mainan yang akan mama buang dan berikan pada orang lain, kok. Kamu tetap punya mainannya.”

“Betul itu, Yayu juga mau bantu ah. Tenang saja, serahkan tugas ini pada kami berdua. Siap ga nih ma?” Yayu Dea bersemangat. Senyuman mama menjadi tanda akan kesetujuan mama.

Sekitar 3 jam lamanya membereskan mainan-mainan punya Kinan. Selama 180 menit pula Kinan masih sebal dengan mama dan Yayu Dea. Santai saja, untuk membuat Kinan ceria kembali, Yayu Dea dan mama sudah tau solusinya loh. Mama membisikkan hal serius pada Yayu setelah semuanya kembali rapih. Yayu bersorak senang dan pamit keluar untuk melaksanakan perintah mama. Kinan terheran-heran.

Mama mengangkat telepon, “Iya, ‘Yah? Wah asik dong. Nanti Mama sampaikan berita senang ini pada Kinan, ‘ya. Tapi sayangnya Kinan lagi marah sama Mama nih ayah. Huhu. Sedih deh.” Sengaja, mama membesarkan volumenya agar rasa penasaran Kinan semakin menjadi-jadi.

Kinan mendengar pembicaraan telepon ayah dengan mamanya. Saking penasarannya, Kinan bergegas menghampiri Mama yang sedang duduk di dekat ruang tamu. “Ma, Kinan minta maaf ya.” Mama tertawa geli melihat tingkah lucu Kinan. Segera, mama menutup pembicaraan telepon dengan ayah.

“Sudah mama maafkan kok. Yuk Kinan, kita tunggu sampai Yayu Dea datang.”

Seraya menunggu Yayu Dea, Kinan dan mamanya menonton kartun kesukaan Kinan. Sepertinya ribuan senyum terlukis di wajah mereka berdua. Suara motor terdengar bertepatan dengan berakhirnya kartun di televisi tersebut.

“Kinan pastinya sudah lapar nih. Ya dong, masa enggak. Tadi ‘kan kamu abis marah-marahan sama kami.” Yayu Dea terkekeh geli.

“Nah ini namanya Docang.”

“Wah Ma, Yu, aku suka banget sama docang. Makasih banyak sudah ingat makanan kesukaanku.”

“Mari makan. Jangan lupa berdoa.”

Bungkusan docang yang dibawa Yayu Dea untuk Kinan hanya berisi campuran potongan lontong, daun singkong, toge, dan kerupuk. Nah bahan-bahan tadi kemudian disiram dengan kuah dage atau oncom yang hangat. Mama Kinan tak memperbolehkan docang Kinan pakai parutan kelapa dan tak pakai sambal, itu pesan mama pada Yayu Dea sebelum membeli docang di pasar.

“Yayu duwe (punya) pertanyaan kih (ini). Menurut Kinan, kira-kira docang itu makanan yang ada sejarahnya enggak jeh?”

“Hmm.. kalau menurutku ada dong. Yayu, aku mau diceritain dong asal-usul docang Cirebon.”

“Boleh. Asal kita bantu mama dulu nyuci piring, ‘ya?” Ajak Yayu.

Sesampainya di dapur, tak disangka piring-piring yang awalnya kotor sekarang sudah bersih kinclong karena baru saja mama selesai mencuci piring. “Kita telat dong, ma.” Ujar Kinan dan Yayu Dea hampir berbarengan. “Tidak apa, sayang. Kalian lanjutkan aktivitas berceritanya, ‘ya.” 

Kinan dan Yayu Dea berjalan menuju teras rumah. Seperti yang dijanjikan di awal, sekarang Yayu Dea akan menceritakan semua yang Yayu tau tentang docang.

Docang ternyata sudah ada sejak lama loh Kinan. Tepatnya sudah ada sejak zaman Wali Songo menyiarkan agama Islam di kawasan Cirebon dan sekitarnya. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat nih, bermula saat Pangeran Rengganis tak menyukai kegiatan dakwah Islam yang dilakukan Wali Songo. Nah jadinya sang pangeran membuat masakan beracun yang nanti akan dihidangkan untuk Wali Songo yang sedang berkumpul di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Kamu tau apa yang terjadi selanjutnya?”

Kemudian Yayu Dea melanjutkan ceritanya, “Racun yang dicampurkan ke dalam makanan tidak bereaksi apapun. Ajaibnya, Para Wali justru menyukai dan meminta kembali untuk disajikan masakan dari Pangeran Rengganis dan akhirnya menjadi kuliner khas Cirebon deh.”

“Wah berarti Pangeran Rengganis bisa dibilang orang yang pertama kali meracik docang bukan ‘Yu?”

“Sepertinya begitu, Kinan. Jangan khawatir, docang yang tadi kita makan itu ga ada racunnya kok, hihi. Kamu tau enggak, sampai sekarang docang tetap eksis dinikmati oleh masyarakat Cirebon maupun luar daerah.”

“Kalau itu aku setuju, ‘Yu. Masih ada cerita lagi ga ‘Yu tentang docang?”

“Ada kok ada.” Yayu Dea kembali menjelaskan bahwa docang berasal dari kata bodo (oncom) dan kacang hijau (toge). Namun, ada juga loh yang menyebutkan nama docang merupakan singkatan dari godogan kacang yang berarti air rebusan kacang yang dihaluskan.”

Tiba-tiba mama datang ke teras rumah dengan membawa beberapa camilan. Mama izin nimbrung dong, ujar mama. Kinan menjawab, boleh banget maa. 

“Sekarang Kinan sudah tau ‘kan sejarah docang kuliner khas Cirebon.”

“Hehe iya ma. Makasih banyak Yayu Dea.” Lalu mama mempersilakan Yayu dan Kinan untuk makan-minum dulu.

“Dea dan Kinan, tadi mama dengar juga loh cerita seru kalian tentang asal-usul docang, nah mama pikir kalian harus tau nih kalau di dekatnya Keraton Kasepuhan dan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ada Alun-alun Sangkala Buana. Alun-alun ini juga punya sejarahnya. Sekarang, Alun-alun Sangkala Buana lebih mempesona karena sudah direvitalisasi oleh Pemerintah Provinsi Jabar.”

“Wah Dea tau kok ma. Seingat Dea, mantan gubernur Jawa Barat Pak Ridwan Kamil juga ikut meresmikan alun-alun ini pada tahun 2022. Betul tidak ma?”

“Kalau Kinan justru baru tau dari mama dan Yayu Dea.”

“Jawaban Dea itu betul. Kita belajar sejarah budaya Cirebon bareng-bareng ya nak.” Mama berkata bahwa Alun-alun Sangkala Buana nama lainnya adalah Alun-alun Kasepuhan. Alun-alun Sangkala Buana merupakan destinasi wisata religi, sejarah, dan keluarga. Setiap wisatawan yang datang harus menjaga dan merawat alun-alun.

“Di sana ada jajanan ga, ma?” 

“Eh kamu mah selalu tanyain makanan bae (aja).” 

“Sudah tidak apa Yayu. Nanti ke alun-alun, kita ajak juga ayah ya.”

“Oke maa. Asikk.”

“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Sumber gambar:

Gambar Alun-alun Sangkala Buana: https://radarcirebon.disway.id/read/129799/mitos-dan-fungsi-alun-alun-sangkala-buana-pada-jaman-dahulu

Gambar Docang kuliner khas Cirebon: https://www.merdeka.com/jabar/3-fakta-docang-makanan-khas-cirebon-yang-pernah-digunakan-untuk-meracuni-walisongo.html

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar