Di Desa Wajo hiduplah seorang gadis kecil bersama sang ibu. Mereka berdua tinggal di sebuah rumah panggung. Sang ayah merantaui ke negeri seberang untuk mencari nafkah. Mantika nama gadis itu. Usianya 10 tahun. Gadis itu dididik dengan baik oleh ibunya. Hampir 24 jam rutinitasnya dilakukan bersama sang ibu.
Mantika adalah seorang anak yang penurut. Parasnya cantik perangainya pun santun, tak hanya itu ia juga merupakan sosok gadis yang cerdas. Seluruh masyarakat Desa Wajo menyenangi karakter Mantika. Ia menjadi gadis kebanggaan desa dengan unggah-ungguhnya yang anggun meskipun usianya masih terbilang belia.
Mantika merupakan murid sekolah dasar di Desa Wajo yang cukup cemerlang. Ia sudah beberapa kali mengharumkan nama sekolah di berbagai ajang kejuaraan olimpiade dan cerdas cermat. Meskipun begitu, Mantika tetap rendah hati. Sama seperti anak-anak di desanya, Mantika mempunyai kehidupan sederhana yang bersahaja.
Rutinitasnya dimulai dari bangun pagi-pagi, membereskan rumah, pergi ke pasar, menyiapkan sarapan, pergi ke sekolah, pulang untuk bermain, mengaji, membantu ibu menyiapkan hidangan makan malam, kemudian tidur di atas rumah panggung. Di hari libur biasanya Mantika ikut ibu pergi ke pasar, menjajakan hasil kebunnya buah pisang dan kelapa.
Mantika selalu antusias jika diajak pergi ke pasar oleh ibu. Sebab, di sana ia dapat melihat keunikan kerudung ibu-ibu pedagang di pasar. Hampir seluruhnya, baik penjual sayur, penjual lauk pauk, penjual barang-barang kelontong, penjual baju-baju memakai kerudung dari sarung tenun. Seragam, namun dengan motif yang berbeda-beda.
Suatu ketika Mantika bertanya kepada ibu saat berjalan di loss pasar bagian sayur-mayur. “Ibu, kenapa masyarakat kita suka sekali memakai kerudung dari sarung? Bukankah sarung itu seharusnya digunakan untuk menutupi tubuh area tengah ke bawah seperti rok?” tanya Mantika.
Ibu Mantika juga seperti ibu-ibu penjual di loss pasar itu, menggunakan kerudung dari sarung tenun. “Mereka mengenakan rimpu Mantika. Budaya kita mengajarkan untuk berpakaian seperti itu. Sarung tenun itu namanya tembe nggoli. Sarung tersebut cukup lebar sehingga bagian tubuh yang menjadi aurat tertutup rapat. Menutup aurat adalah perintah Allah yang diwajibkan untuk seorang perempuan,” urai ibunya dengan lembut. Mantika manggut-manggut.
Sore harinya saat di rumah, Mantika menggeledah lemari mencari sarung kain tenun/ tembe nggoli. Ia mencoba memakainya di kepala. Berkerudung meniru sang ibu. Mantika sibuk mematut-matut bayangan dirinya di depan cermin. Dengan tembe nggoli yang dipakainya itu, setengah tubuh hingga lututnya tenggelam. Ia berlarian menuju ibunya, memamerkan penampilannya dengan tembe nggoli. Sang ibu tertawa dan mengapresiasi percobaan Mantika menjajal berkerudung tembe nggoli.
Hari demi hari berjalan. Bulan berganti, tahun demi tahun terlewati. Hingga tibalah pada episode indah dalam hidupnya. Saat itu Mantika berusia 17 tahun. Mantika yang notabenenya merupakan siswa yang cerdas berkesempatan mengikuti ajang olimpiade tingkat nasional di ibu kota negara setelah melewati rangkaian seleksi hingga seleksi terakhir di tingkat provinsi. Sang ibu sangat bangga terhadap prestasi Mantika. Dalam hati ia terus berdo’a untuk keberhasilan Mantika.
Betapa beruntungnya Mantika, ia tidak hanya mewakili kontingen provinsi di daerahnya sebagai peserta olimpiade, namun juga berkesempatan menyaksikan festival dunia dalam rangka memperingati letusan Gunung Tambora. Festival itu digelar di ibu kota negara dengan tajuk Tambora Menyapa Dunia.
Tidak seperti di loss pasar, dalam Festival Tambora Menyapa Dunia yang menggunakan rimpu tembe nggoli berjumlah ribuan. Mereka semua terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Mantika senang sekali, kebudayaannya dikenalkan pada masyarakat Indonesia. Ia dalam hati berucap, “Aku bangga bisa memakai rimpu ibu saat kecil dulu.” Festival yang sangat berkesan baginya.
Setelah peristiwa itu, Mantika sering didelegasikan dalam berbagai kegiatan akademik di sekolahnya. Mantika benar-benar bersinar di bidang akademik. Ia bolak-balik kota-kota besar di pulau jawa untuk mengikuti berbagai macam perlombaan dan pulang dengan membawa kebanggaan.
Setelah lulus dari SMA di kota kabupaten tempat kelahirannya, Mantika memutuskan untuk melanjutkan ke sebuah universitas besar di Pulau Jawa. Ibunya melepasnya dengan haru. Ia berpesan agar Mantika selalu mengingat Allah dan mematuhi segala perintahnya. Mantika menurut.
Namun, hidup seorang diri di kota besar membuat Mantika lupa terhadap pesan ibunya. Mantika yang sejak kecil diajarkan memakai jilbab meski tidak berimpu, karena hasutan teman-temannya untuk berpenampilan modis, ia pun melepas jilbabnya. Mengurai rambutnya yang panjang yang kadang beberapa bulan sekali ia pergi ke salon untuk mengganti cat warna rambutnya. Mantika benar-benar lupa bagaimana kehidupan desa yang bersahaja. Gadis yang perilakunya santun itu, lama kelamaan terbawa arus pergaulan bebas. Demi menyamakan pola kehidupan yang dimiliki oleh teman-teman dekatnya.
Suatu hari Mantika dikunjungi ibunya di kost-an miliknya. Penampilan ibunya tetap sama masih berimpu tembe nggoli. Ibunya sangat terkejut sa’at menemui Mantika yang baru pulang dari kampus. Mantika mengecat rambutnya berwarna merah dan tidak menggunakan jilbabnya. Ibunya pun sangat marah dan kecewa dengan Mantika.
“Orang-orang dahulu melindungi dirinya yang mahal dengan berpakaian tertutup, Mantika. Sedangkan kamu malah memilih melindungi gengsimu dengan mengumbar rambut seperti ini!” ketus ibunya dengan nada pelan. Menahan emosi yang menggelegak.
“Rimpu ini kebanggaan kami, Mantika! Tidak apa-apa jika sudah tidak ada generasi muda yang menyukainya karena ini bukan jilbab modern tapi hanya sebuah sarung kain tenun, tapi ibu bangga memakainya!” tuturnya kemudian. Mantika terdiam. Dalam hati timbulah penyesalan dalam diri Mantika. Ia adalah gadis yang penurut, hanya saja gengsi dan malu telah membuatnya lupa dengan nasihat sang ibu.
“Ibu, maafkan Mantika .., Mantika berjanji tidak akan mengulangi lagi!” ucapnya penuh penyesalan.
Ibunya pun memeluk putri semata wayangnya. Ia mendekap Mantika dengan penuh rasa kasih sayang. “Mantika namamu memiliki arti yang paling cantik. Hati dan jiwamu harus bersih dengan keta’atan pada Allah. Perintah menutup aurat harus kau ta’ati sebagai gadis yang suci sebagaimana ibu diajarkan oleh nenek dan para leluhurmu di Dompu untuk mengenakan rimpu sebagai lambang keagungan wanita,” nasihat ibunya pada Mantika. Semenjak itu, Mantika tidak pernah lagi mengumbar auratnya. Ia selalu tampak manis dengan kerudung yang tersampir di kepala.
Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024