Siang itu Nabiella mengajak Adora bermain ke rumah Alana di pinggir hutan. Sebetulnya ia penasaran dengan bunga-bunga berbicara yang diceritakan Alana tempo hari. Pasti seru sekali bisa berbincang-bincang dengan bunga-bunga itu.
Awalnya Adora tidak terlalu tertarik dan tidak terlalu percaya. Pasti itu bujuk rayu Nabiella saja. Tapi dia penasaran juga ingin melihat bunga-bunga liar di hutan. Adora memang pencinta bunga sejati.
“Aduh, tapi di hutan kan banyak serangga, nanti kita bisa disengat lebah atau digigit nyamuk,” ujar Adora saat dalam perjalanan ke rumah Alana.
“Tenang saja, aku pernah kok ke hutan itu dan tak pernah digigit serangga. Apalagi kita ditemani oleh Alana, Insya Allah aman,” jawab Nabiella yakin.
“Iya, deh. Tapi kalau nanti terjadi apa-apa, aku tidak akan mau lagi jalan-jalan bareng kamu,” ancam Adora.
Ternyata Alana sudah menunggu kedua teman sekolahnya di depan rumah. Anak itu sudah siap dengan tas ransel, sepatu kets, dan gelang anti serangga yang melingkar di tangannya. Sebotol air putih tak lupa disiapkannya di dalam tas. Sehelai jas hujan juga selalu dibawanya saat berjalan-jalan ke hutan. Selain untuk melindungi tubuh dari hujan, jas itu juga bisa digunakan sebagai alas duduk dan shalat.
“Kalian sudah siap?” tanya Alana. “Nanti akan kutunjukkan tempat-tempat terindah di dalam sana,” ujarnya yakin.
“Oke, siap.” Nabiella berkata sambil mengacungkan ibu jarinya. Adora menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk memulai petualangan pertamanya di hutan.
Ketiga anak itu berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh semak-semak. Alana sudah kenal baik dengan jalan itu. Sesekali Nabiella memotret burung-burung yang bertengger di dahan pohon dan belalang yang hinggap di belukar .
Sedangkan Adora, merasa kesal dengan biji-biji rumput yang menempel di rok barunya. Semakin jauh dia berjalan, semakin banyak biji rumput yang menempel di roknya.
“Nah, itu dia bunga-bunganya sudah terlihat,” seru Nabiella senang.
“Hai, Dahlia, sudah lama tidak bertemu denganmu.” Alana melambaikan tangannya pada sebatang dahlia berkelopak jingga. Bunga itu pun mengayun tubuhnya untuk menjawab sapaan Alana.
Adora yang tadinya sibuk dengan roknya, setelah melihat bunga-bunga itu seketika lupa dengan rasa kesalnya. Mata coklatnya berbinar-binar melihat bunga berwarna-warni dengan gerak gerik yang tak biasa. Beberapa kali ia minta difoto bersama bunga-bunga itu pada Nabiella.
“Gatty… Gatty… !”
Tiba-tiba muncul seorang anak perempuan berambut pendek sepundak. Ia tampak sedang berteriak mencari sesuatu. Ia mengenakan rok jeans overall biru muda. Sebuah bandana merah yang diikat ke atas kepala menghiasi rambut lurusnya.
Alana datang menghampiri anak itu.
“Hai, bisa kubantu?” tanyanya menawarkan diri.
“Eh, Halo! Namaku Kalma.” Anak perempuan itu memperkenalkan diri, “Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya. Apa kalian juga anak Dollischola?”
“Iya, benar. Kami sedang berjalan-jalan, syukur-syukur bisa bertemu petualangan seru,” timpal Nabiella.
Keempat anak itu pun saling berkenalan. Ternyata mereka bersekolah di tempat yang sama, tapi belum pernah main bersama sebelumnya. Memang hanya ada beberapa sekolah di Negeri Dolla. Jadi, anak-anak yang bertetannga akan bersekolah di sekolah yang sama.
“Sejak pagi, Gatty si belang, kucing kesayanganku, belum kelihatan batang hidungnya.” Kalma berujar dengan risau. “Terakhir kali, kucing itu terlihat berlari-lari kecil ke arah hutan ini.”
“Bagaimana kalau kita cari bersama-sama?” tanya Alana kepada dua orang temannya.
“Ayo, kasihan Gatty, bisa-bisa dia mati kelaparan di hutan,” seru Adora prihatin.
“Wah, terima kasih, Teman-teman. Kalian baik sekali.” Kalma pun merasa senang. Ia mendapat bala bantuan untuk mencari kucing kesayangannya itu.
Kalma, Alana, Adora, dan Nabiella terus menyusuri jalan setapak di Hutan Verdola, sambil sesekali memanggil nama Gatty. Namun, setelah 15 menit berjalan, pencarian mereka masih belum berhasil. Sementara itu, awan gelap terlihat bergumpal di angkasa.
“Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan, kita harus mencari tempat berteduh” seru Alana.
“Aduh, aku lupa bawa payung!” Adora merutuk sambil menepuk keningnya.
Dari kejauhan tampaklah sebuah bangunan abu-abu yang terlihat masih kokoh. Warnanya kusam termakan zaman.
“Apa itu sebuah … rumah?” Nabiella menunjuk bangunan itu dengan tak yakin.
“Sepertinya itu mirip … kastil?” Adora memiring-miringkan wajahnya. Bangunan itu memang mirip sebuah kastil kecil, namun telah ditinggalkan sejak lama. Beberapa bagian dindingnya yang terbuat dari batu, ditumbuhi oleh sulur-sulur tanaman merambat.
“Oh, sebenarnya itu kastil nenekku. Beliau mewarisi kastil itu dari nenek moyangnya. Sayang, beliau tak sempat merawatnya. Sebenarnya … aku juga belum pernah melihat isinya. Ayo, kita berteduh di sana!” ajak Alana.
Hujan turun rintik-rintik. Keempat anak perempuan itu segera masuk ke pekarangan kastil. Pintu sampingnya tidak terkunci. Sesuai perkataan Alana, tampaknya sudah lama sekali tidak ada yang datang ke tempat itu. Debu tebal dan sarang laba-laba menghiasi perabotan yang masih utuh di dalamnya.
“Wow… seperti di negeri dongeng!” ujar Alana takjub.
“Seharusnya dari dulu kamu masuk ke sini, Al!” ledek Nabiella, yang dijawab dengan cengiran Alana. Anak-anak itu pun berkeliling memeriksa isi kastil itu. Sebuah meja makan panjang, lengkap dengan kursi-kursinya, tampak di ruang tengah. Sebuah lampu hias kristal yang penuh debu, menjuntai dari langit-langit bangunan itu.
“Uhuk … uhuk …,” Adora terbatuk-batuk akibat debu yang beterbangan. Ia menutup hidung dengan ujung kerudungnya.
Hujan di luar turun semakin lebat. Suaranya terdengar bergemuruh.
“Waktu zuhur sudah masuk, kita sholat di sini saja yuk,” usul Alana.
Empat sekawan itu pun berwudhu dengan air hujan yang mengucur dari atap kastil. Alana membentangkan jas hujannya di lantai yang berdebu itu untuk dijadikan alas sholat pengganti sajadah.
Seusai sholat mereka mengelilingi kastil sambil mengagumi barang-barang di dalamnya. Di pojok sebuah kamar terdapat lemari yang dipenuhi gaun-gaun dan mahkota cantik.
“Wow, tampaknya dulu kamar ini milik sang putri di kastil ini,” Adora menduga. “Gaunnya cantik-cantik sekali,” ungkapnya sambil mengamati sebuah mahkota mutiara.
Keempat anak perempuan itu pun mencoba memakai gaun-gaun yang ukurannya cocok dengan tubuh mereka. Tanpa ragu, anak-anak perempuan itu bergaya seakan mereka adalah putri raja.
Alana memilih gaun putih gading yang elegan, sedangkan Kalma lebih senang memakai yang gaun pink pendek dengan hiasan renda di pinggirannya. Adora dan Nabiella mengenakan pakaian pesta berwarna biru dan ungu.
“Alana, kamu cantik sekali memakai gaun itu,” puji Kalma.
Alana merasa sangat bahagia. Ia bisa berpakaian cantik bagai seorang tuan putri. Suatu hal yang tak pernah dibayangkannya selama ini.
“Ayo, kita berfoto dengan gaun ini!” ajak Nabiella. Ia mengeluarkan kamera dari tas punggungnya.
Ketika mereka sedang asik berfoto ria, tiba-tiba terdengar suara mengeong. Seekor kucing belang, muncul dan menyelinap dari pintu, lalu berlari menuju Kalma.
“Gatty! kemana saja kau?” teriak Kalma senang.
Anak itu kemudian menggendong Gatty lalu memeluknya. Kucing belang itu memainkan bandana merah Kalma. Alana, Adora, dan Nabiella ikut lega menyaksikan kejadian itu.
Hujan sudah mulai reda, hari semakin sore, sudah tiba waktunya untuk pulang.
“Gaun-gaun ini cantik sekali, ya. Bagaimana kalo kita bawa pulang?” usul Adora.
“Betul, bisa kita pakai untuk bermain putri-putrian di rumah,” seru Nabiella.
“Hmm … tapi gaun-gaun ini kan bukan milik kita, jadi kita tidak boleh mengambilnya,” seru Kalma.
Akhirnya Nabiella dan teman-temannya mengembalikan gaun-gaun itu ke tempat semula, lalu menutup pintu lemari rapat-rapat.
“Lain kali kita bisa main lagi ke sini dan berubah menjadi putri raja,” seru Nabiella senang.
“Kalau begitu, biar seru, kita harus memberi nama kerajaan kita ini.” Alana memberi usul.
“Benar, nama itu juga bisa kita pakai menjadi nama kelompok petualangan kita,” timpal Kalma.
“Aku tahu, bagaimana kalau kita beri nama Dollabella?” seru Adora antusias. “Dolla adalah nama negeri kita, sedangkan ‘bella’ artinya cantik.”
“Setujuuu!” ujar teman-temannya serempak.