“Bagaimana jika sekolah kita mengadakan pesta halloween?”
Karla, sahabatku yang berkaca mata itu, memandangku aneh. Matanya membulat dan mulutnya menganga.
“Tidak mungkin, Sheila! Tidak akan pernah ada tradisi perayaan halloween di sekolah kita!” tukas Karla kemudian.
Aku tertawa melihat raut kesal Karla.
“Kan, aku hanya bilang seandainya, Kar! Siapa tahu minggu depan ada pesta seperti itu di sekolah kita!” cetusku sambil cekikikan.
Karla memberengut.
“Lupakan halloween, Sheila, please! Sekarang kita keluar!” Karla menarik lenganku, menyebabkan album foto tua yang kupegang terjatuh ke lantai.
“Karla! Sebentar!” Aku berseru dan berlutut untuk mengambil album foto yang tergeletak di lantai dengan posisi terbentang.
Saat ini aku dan Karla sedang berada di gudang sekolah. Tadi di kelas, Ibu Anita, guru Bahasa Inggris meminta aku dan Karla untuk menyimpan satu pot plastik ke dalam gudang sekolah yang letaknya di bangunan paling belakang. Dan, ini baru pertama kalinya kami masuk ke dalam gudang sekolah yang berukuran sekitar empat kali tiga meter ini, yang membuatku sukses melongo melihat berbagai benda bertumpuk dan berdesakan di sana.
Awalnya aku hanya iseng dan penasaran ketika memeriksa benda-benda di sana. Memeriksa laci sebuah meja kecil di pojokan gudang dan membuka pintu lemari. Dalam satu lemari itulah mataku tertumbuk pada salah satu benda yang berjejalan di sana. Itu seperti album foto. Saat kuraba sampulnya, kasar dan kotor.
Karla tadinya masih antusias ketika aku mulai membuka lembar demi lembar album foto yang memuat foto bangunan sekolah kami pada zaman dulu, dan berbagai foto perayaan di sekolah. Hingga Karla berteriak kaget saat melihat foto yang memuat orang-orang mengenakan pakaian seram. Dan pada sebuah foto tertera tulisan PESTA HALLOWEEN, 31 OKTOBER 1949.
Foto itu bagiku memang menyeramkan. Tapi mataku tak bisa beralih dari orang-orang yang berkostum penyihir dan mahluk-mahluk lain yang mukanya mengerikan. Hingga tercetuslah keinginan konyol dariku tadi pada Karla, seandainya sekolah kami, SMP Edelweiss, mengadakan pesta halloween seperti di album foto yang aku temukan itu. Dan reaksi sahabatku itu sangat tidak kuharapkan.
“Aku keluar sekarang, Sheila!” seru Karla mengagetkanku.
Aku yang kini tengah berlutut dan terpaku pada foto di depanku, bergegas menutup album foto, meraihnya dan buru-buru menjejalinya di dalam lemari, berdesakan dengan berbagai buku dan benda lainnya.
“Tunggu, Karla!” Aku berseru mengejar Karla yang telah keluar, dan lupa mematikan lampu dan menutup pintu gudang.
***
“SMP Edelweiss kan sudah sangat tua! Dibangun tahun 1920 yang awalnya sebagai gedung Hoogere Burgerschool,” jelas Kak Yoga padaku siang ini.
Album foto yang aku temukan di gudang sekolah kamis lalu di sekolah memang mampu menyita pikiranku. Ketika aku ceritakan pada kakak sulungku, Kak Yoga, yang empat tahun yang lalu baru saja lulus dari SMP Edelweis itu, Kak Yoga tampak sangat tertarik.
“Apa itu Hoogere Burgerschool, Kak?” tanyaku bingung.
“Hoogere Burgerschool atau HBS itu sekolah setingkat menengah untuk bangsa Belanda dan orang Indonesia dari kalangan ningrat,” jelas Kak Yoga.
Aku manggut-manggut.
“Tapi foto-foto berkostum seram itu?” tanyaku pelan.
“Mungkin itu foto beberapa siswa sekolah yang sedang merayakan pesta halloween di sekolah,” duga Kak Yoga.
Aku mulai paham. Melalui fasilitas internet, aku tahu tentang Halloween. Halloween merupakan tradisi perayaan malam tanggal 31 Oktober yang mulanya berasal dari Irlandia. Mereka yang merayakan halloween memakai kostum seram dan menghias rumah dengan simbol-simbol halloween seperti buah labu yang dibentuk seperti muka yang seram. Anak-anak mengetuk pintu-pintu rumah untuk meminta permen atau cokelat. Tradisi merayakan halloween kemudian juga dirayakan oleh berbagai negara di dunia.
“Kakak pernah masuk ke gudang sekolah?” tanyaku kemudian.
Kak Yoga mengangguk.
“Pernah sih, tapi enggak iseng seperti kamu, Shei! Lagian ngapain juga buka-buka lemari di gudang! Untung ketemunya cuma album foto, kalau……?” Kak Yoga menatapku dengan mata sipitnya.
“Kalau apa?” Aku mulai tidak enak nih, kalau Kak Yoga melihatku seperti itu, sudah bisa dipastikan kalau saat ini kakakku itu sedang berpikir yang aneh-aneh.
“Ketemu ini!” Kak Yoga melempar sesuatu.
“Huaaaaa!” Aku menjerit sejadi-jadinya, melihat ada seekor kadal tergeletak di pangkuanku.
“Hahaha…ini kadal mainan, Sheila!” Kak Yoga tertawa terpingkal-pingkal.
Aku membuka mataku, dan menyentuh kadal yang sedari tadi tak bergerak, terasa lembut. Menyadari itu adalah kadal dari karet, sontak aku cemberut, dan berlari masuk kamar meninggalkan Kakakku yang masih tergelak heboh.
***
Hari ini tanggal 31 Oktober. Aku berlari ke dalam gerbang sekolah dengan cepat. Ups, sudah pukul 07.10. Aku nyaris terlambat. Jam masuk sekolahku dimulai pukul 07.15.
“Sudah sepi?” aku bergumam ketika sudah menyusuri koridor sekolah, menuju ke kelasku, kelas VII C.
Ah, tentu saja, semua siswa tentunya sudah masuk kelas. Tapi ketika aku menoleh ke jendela kelas VII A, kelas tampak kosong. Biasanya juga jam segini masih ada temanku yang sama-sama baru datang. Tapi entah kenapa, aku merasa seolah sendirian di sekolah.
“Hei, Sheila!”
Aku terkaget-kaget ketika ada yang memanggil namaku. Itu suara Karla. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat Karla mengenakan topeng dan bertopi penyihir melambaikan tangan ke arahku.
“Hah! Ngapain kamu pakai kostum seperti itu!” seruku.
“Hei, Sheila! Kamu ini aneh! Hari ini kan pesta halloween!” ujar Karla.
Aku melongo. Kok aku tidak tahu? Kapan ada undangan dan pemberitahuan dari sekolah? Aku memilin-milin lengan bajuku karena bingung.
“Bukankah kamu yang ingin sekolah mengadakan pesta halloween!” cetus Karla.
Aku masih terpaku di tempatku. Halloween? Ah, rupanya aku benar-benar ketinggalan berita ini.
“Tapi, aku tak punya kostum halloween,” ujarku bingung.
“Gampang, ayo ikut aku!” Karla menarik lenganku.
Aku terdiam di pintu gudang sekolah. Karla mendorong pintu gudang dan menarik lenganku. Dan aku takjub, saat melihat gudang tampak rapi. Ada beberapa peti di sana, di dekat meja rias dan beberapa kursi. Kulihat ada beberapa orang tengah mematut di depan cermin. Itu pasti teman-temanku karena mereka melambaikan tangannya ketika aku masuk. Tapi aku tak mengenali muka mereka di balik topeng-topeng dan kostum aneh yang mereka kenakan.
“Nah, kamu mau memakai kostum apa?” tanya Karla.
Aku bergidik saat Karla membuka peti dan menarik beberapa kostum. Ada kostum bergambar tengkorak, kostum penyihir, kostum burung gagak, kostum bergambar buah labu dengan mata-mata yang menyeramkan.
“Aku pilih kostum penyihir sepertimu saja,” ujarku akhirnya, setelah menghela napas berkali-kali, kupikir kostum yang kupilih ini yang tidak terlalu menyeramkan.
Karla menyodorkan kostum berbentuk jubah warna hitam panjang, topi penyihir dan sebuah topeng berwarna hitam dan keperakan.
“Bagus! Kita seperti dua orang penyihir! Hihihi….!” Karla tertawa aneh, membuatku melotot padanya.
“Jangan tertawa seperti itu!” tukas.
Karla tertawa, lalu duduk di sebuah kursi dan menungguiku berganti kostum. Ih, rasanya aneh sekali ketika aku mematut diri di cermin dan melihat dibalik kostum penyihir bermuka seram itu adalah aku.
“Sudah yuk, kita ke aula sekarang,” Karla menarik lenganku.
Huft! Aku mengangguk. Memang sebaiknya aku tak berlama-lama berdiri di depan kaca, dari pada aku menjerit ketakutan melihat tampangku sendiri.
***
Aula dipenuhi dengan sosok-sosok yang menyeramkan. Tanganku dingin saat menggenggam lengan Karla. Rupanya Karla juga sama takut dan gugupnya dengan aku. Aku merasa kulit Karla terasa sangat dingin.
“Aku baru pertama kali ikut pesta halloween,” bisikku pada Karla.
“Aku sih sering,” ujar Karla.
Aku mengerutkan dahiku, dan menoleh pada Karla.
“Bukankah kamu penakut!” cetusku, membuat langkah Karla terhenti, dan dia tertawa cekikikan. Lagi-lagi tawanya sangat aneh, bulu kudukku sampai berdiri.
“Sekali lagi kamu tertawa seperti itu, aku tarik topengmu!” ujarku kesal.
“Iya, iya, sorry,” ujar Karla.
Beberapa orang yang tubuhnya jangkung mendekati kami dan menawarkan piring-piring berisi permen dan kue. Karla meraup permen dalam genggaman tangannya dan menaruhnya di kantong. Aku mendelik melihat kerakusan Karla. Aku sendiri hanya mengambil dua permen cokelat dan satu potong kue labu.
“Untuk apa permen sebanyak itu!” tegurku pada Karla.
“Ya, untukku dan adikku. Mamaku melarangku membeli permen yang banyak, takut gigi kami sakit,” ujar Karla membela diri.
“Memangnya adikmu sudah boleh makan permen?” tanyaku heran, karena adik Karla baru berusia satu tahun.
“Ya, boleh saja!” ujar Karla ketus, lalu menarik lenganku membaur dengan kerumunan orang yang sedang menari-nari di tengah ruangan.
“Mau menari?” tanya Karla.
“Ah, tidak. Aku mau duduk saja di sana,” ujarku pada Karla.
Karla mengangguk. Dia lalu menari-nari bersama yang lain. Aku memilih duduk di pojokan sambil mengulum permen cokelat. Ketika mataku mengedar ke sekeliling aula, aku makin bergidik. Dinding aula dipenuhi dengan gambar-gambar yang menyeramkan.
“Aku tidak suka pesta halloween!” cetusku pelan.
“Ha? Apa? Bukankah kamu yang menginginkannya!” ada yang berkata di sebelahku.
Dan aku menjerit saat sosok berbentuk tengkorak duduk dan menoleh padaku.
“Ii..ya, dan aku bercanda waktu itu,” ujarku. “Kamu siapa sih?”
“Kadang ketika kita berharap sesuatu, maka itu bisa menjadi kenyataan kan? Hihihi….” sosok tengkorak itu tertawa melengking, membuat telingaku sakit.
Aku sudah tidak betah di aula. Sebaiknya aku keluar dari pesta. Aku tidak suka pesta halloween. Aku lalu beranjak dari kursi, dan mencari-cari Karla. Namun aku tak menemukan Karla. Kuputuskan untuk keluar segera.
“Tidak boleh ada yang keluar sebelum pukul dua malam,” seorang berpakaian monster menahan lenganku.
“Pukul dua malam? Masih lama sekali!” cetusku kesal.
“Tinggal lima jam lagi,” ujar sosok berpakaian monster itu.
Aku memandang bingung. Rasanya baru beberapa jam aku di sini. Tadi kan, masih pukul tujuh lewat lima belas menit. Masa sih sekarang sudah malam?
“Aku mau pulang,” aku merengek.
Tapi sosok monster itu menahan lenganku. Dan, tiba-tiba beberapa sosok berpakaian menyeramkan lainnya menarik lenganku dan mengajakku menari-nari di tengah ruangan. Kakiku lemas, jantungku serasa mau copot. Saat itu aku menjering sekeras-kerasnya.
“Karlaaa! Aku mau pulaaang!”
Terdengar suara tertawa memenuhi ruangan. Aku menutup telingaku. Seketika aku menangis sejadi-jadinya.
“Toloong! Aku mau pulang,” aku merintih, dan seketika pandanganku mengabur, dan aku jatuh ke lantai.
***
“Sheila, bangun!”
Ada yang memanggil namaku. Aku membuka mata perlahan, dan melihat muka Ibu Anita dan Karla tepat di atas kepalaku.
“Aku tidak suka pesta halloween,” ujarku pelan.
“Pesta apa?” Ibu Anita tampak mengerutkan dahinya.
“Kamu ngelindur. Lagian, ngapain kamu tidur di gudang!” cetus Karla.
Aku melihat ke sekelilingku yang penuh debu. Bagaimana mungkin aku tidur di kursi dengan kepala menelungkup di atas meja kecil di dalam gudang. Bukankah tadi aku sedang berpesta halloween di aula sekolah? Lalu, aku pingsan di sana?
“Ini pukul dua malam? Bukankah kita tadi di pesta halloween, Kar?” tanyaku bingung.
“Hahaha…ini sembilan pagi, Shei! Kamu terlambat masuk kelas, lalu ada teman yang melihat kamu masuk gudang sekolah. Makanya aku dan Ibu Anita mencari di sini. Ternyata benar! Dan, aku tidak ke pesta halloween, tidak akan pernah!” tukas Karla.
“Sudah, mungkin Sheila kecapean. Yuk, ke kelas sekarang,” Ibu Anita membantuku berdiri.
Aku mengangguk. Ya, mungkin karena masih penasaran dengan album foto yang kutemukan minggu lalu, dan terbawa cerita kak Yoga kemarin, aku masuk ke gudang dan tertidur di sini. Entahlah, aku masih bingung dengan kejadian ini. Saat aku melangkah keluar gudang, jariku tak sengaja menyentuh benda mungil di saku bajuku.
“Permen cokelat!” mataku seketika membelalak. Aku sangat ingat bungkus permen ini. Permen itu yang aku ambil dari piring saat pesta halloween!
***