– Judul: Burung-burung Kecil
– Penulis: Kembangmanggis
– Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
– Tahun terbit: Cetakan pertama 2002, cetakan kedua 2018
– Genre: Novel
– Jumlah halaman: 120 halaman
Penasaran (sekaligus tercengang) setelah baca ulasan yang cukup berani dari akun @langitabjad ini https://www.instagram.com/p/CQ3gPStF2V_/ akhirnya kepikiran untuk, kenapa tidak baca saja bukunya? Menemukan buku ini di ipusnas dan cukup terkesan dengan ceritanya.
Burung-Burung Kecil yang ditulis Kembangmanggis merupakan cerita yang manis dan sederhana. Walau demikian, cukup menggambarkan kehidupan anak-anak, terutama mereka yang hidup terlantar atau diterlantarkan, mereka yang tak punya keluarga, mereka yang bebas di jalanan, bak burung-burung kecil yang terbang bebas di udara. Eges adalah anak jalanan yang lebih suka bertualang di jalan. Namun, ia selalu punya tempat untuk pulang. Satu dari lima rumah Ibu yang selalu bisa menerimanya.
Kali ini, setelah mengemis dengan melipat tangan ke dalam lengan baju. Eges memutuskan pulang ke rumah Ibu. Ibu kaget melihatnya. Eges adalah salah satu anak yang punya tempat khusus di hati Ibu. Setiap pulang ke rumah Ibu, Eges akan membeli sandal. Karena Ibu suka melihat Eges pakai sandal. Ibu juga akan memuji Eges sehingga ia akan mandi, sebuah aktivitas yang langka ia lakukan, tapi ia akan lakukan demi Ibu. Sempat ia membuat seisi rumah heboh karena membawa burung terluka ke rumah, membuat ibu tergopoh-gopoh mengobati luka dan mencari sangkar. Eges mengunyahkan beras agar burung mudah makan. Lucunya, ia mengunyah segenggam beras, padahal maksud Ibu cukup biji per biji saja. Tapi pada akhirnya, bukan Eges yang mengurusi burungnya. Lebih banyak ia lupa pada piaraan yang akhirnya mati itu.
Eges selalu melihat Ibu yang kaya. Walau ia juga keheranan sendiri. Karena di kamar ibu ada banyak kaleng-kaleng kecil yang sesungguhnya tiap kalengnya adalah punya anak-anak yang tinggal di rumahnya. Ibu kaya, tapi Eges heran karena baju Ibu hanya tiga. Menurut Eges, Ibu juga seperti orang kaya lainnya yang takut mati. Padahal Ibu khawatir jika ia mati, bagaimana menjaga mutiara-mutiaranya?
Rumah Ibu adalah rumah dengan anak-anak yang berlaku sebagaimana anak-anak, apalagi yang telah terhantam kerasnya hidup di jalanan. Walau di antaranya juga sudah bekerja di usia yang sangat dini. Menyemir sepatu di usia 5 tahun, beradu siapa yang lebih tonggos, ambil tahu sembunyi-sembunyi (tentu tetap akan dinasihati Ibu). Menarik cara Ibu ketika tahu Eges mencuri sate. Ibu mengajak Eges makan sate bersama di tempat sate itu, mengakui kesalahan, menikmati sate bersama, plus membayar sate yang tadi dicurinya.
Suatu hari, seorang bayi diantar untuk diurus oleh Ibu. Hari-hari Ibu jadi bayi melulu. Eges bosan dan sepertinya cemburu. Ia memutuskan pergi dari rumah dan mendapatkan petualangan selanjutnya. Berteman dengan jalan, rel kereta, hingga bersembunyi dari Bang Musa, penguasa jalan yang ditakuti sekaligus baru saja keluar dari penjara. Bergabung dengan teman-temannya hingga ketakutan sendiri karena merasa telah membuat temannya meninggal.
“Pada anak-anak seperti Eges, hanya perhatianlah yang dapat mengikatnya. Hatinya halus sekali. Saat perhatian lepas, ikatan pun lepas. -hlm.96”
Tahun demi tahun berlalu. Kali ini Eges kembali datang dengan tangan buntung dalam arti sesungguhnya. Tapi Ibu tetaplah Ibu yang bahagia dengan kedatangan Eges. Waktu telah membawa Eges pada petualangan yang begitu jauh, hingga tangan Eges buntung dan disiram minyak panas agar tak terasa perihnya.
Tokoh paling favorit adalah Ibu. Ibu yang sederhana tapi kaya akan kasih sayang. Ibu yang dibilang kaya karena mengurus mutiara-mutiara. Mutiara yang dimaksud adalah anak-anak yang Ibu asuh. Ibu tidak menegur keras anak-anak itu, tapi menempatkan diri bagaimana memegang mereka. Tentu sulit dibayangkan bagaimana ketika kedapatan anak-anak yang datang jam 3 pagi melaporkan kawannya sakit karena kebanyakan minum dan menelan pil zat adiktif. Ibu menyampaikan kesedihannya. Tapi mereka tetap diberi makan dan diurusi sebaik yang ia bisa.
Buku yang mendapatkan penghargaan Adikarya Ikapi 2003 ini selesai ditulis pada 1989. Kalau menyimak ulang ulasan dari @langitabjad, aku paham bagaimana ia sangat mengapresiasi buku yang hangat ini. Hangat dengan cara yang apa adanya, bukan dijejali pesan moral yang penuh harapan. Setiap penulis mungkin bisa berbeda, kadang penasaran juga sih sama penelitian-penelitian tentang bagaimana cara menyampaikan karya sastra dan efeknya pada pembacanya. Pasti itu penelitian jangka panjang yang cukup sulit.
Selamat menikmati buku ini 🙂
Wah, jadi kepincut buat baca bukunya …
menjadi the next target di ipusnas 🙂