Part 19 – Kembali ke Sekolah
Bel sekolah berbunyi tanda istirahat. Dudung sibuk makan pisang dan ubi rebus, bekal dari rumahnya.
“Tumben makan rebus-rebusan, Dung?” tanya Bunga.
“Diet, ya, Dung?” tanya Lilis.
“Bukan, saudara di kampung panen pisang dan Ubi. Emak merebusnya buat sarapan, sekalian aku bekal buat makan di sekolah. Kalian mau?” tawar Dudung.
“Banyak banget, Dung!” Lilis dan Bunga senang sekali.
“Eh, kalian ingat nggak, Kakek Bos para penangkap burung-burung langka itu pernah bilang, di antara kita ada yang ngompol. Memang siapa yang ngomol itu, ya?” Dudung mengerutkan dahinya.
Lilis yang sedang mengunyah langsung menghentikan kunyahannya, matanya melotot. Pelan-pelan ia menoleh ke arah Bunga. Dia ingat, malam itu dia mengantar Bunga keluar kemah untuk pipis. Berarti…
“Ah, Kakek itu hanya becanda mungkin!” ketus Bunga.
“Ah, masak, sih?” Lilis tersenyum. Bunga melotot sambil mencolek Lilis, menyuruhnya diam.
“Aneh juga. Aku, Matahari, dan Ujang, kan, selalu bersama. Tidak ada dari kami bertiga yang ngompol. Apa kalian yang ngompol saat diculik?” tebak Dudung.
“Enak saja! Memangnya kami bayi, masih ngompol!” seru Bunga cepat. “Kita sudah kelas lima sekarang. Sudah besar. Tidak mungkin ada yang ngompol!”
“Uhuk! Uhuk!” Lilis pura-pura keselek.
“Kenapa, Lis? Makanya kalau makan itu berdoa dulu,” Bunga kesal, Lilis hendak menjahilinya.
“Jadi siapa yang ngompol?” Dudung masih saja penasaran.
“Nggak ada! Bos itu kali yang salah ngomong!” ketus Bunga sekali lagi.
“Hei… hei…!” Matahari berlari-lari mendekat sambil melambai-lambaikan sesuatu.
“Itu Mahatari!” Bunga lega ada yang mengalihkan topik pembicaraan.
“Apa yang kamu bawa itu, Mat?” tanya Dudung.
Bunga lega akhirnya Dudung bisa lupa siapa yang ngompol. Lilis tersenyum geli.
“Awas keselek lagi, lho!” bisik Bunga sambil melotot pada Lilis. Lilis masih tertawa.
“Ini majalah anak-anak. Ada artikelku di rubrik jalan-jalan, cerita tentang indahnya Tanjung Lesung” Matahari tertawa bangga.
“Kamu cerita tentang petualangan kita di Pulau Pamali itu?” tanya Dudug menyusuri tulisan Matahari.
“Tidak, aku hanya cerita ada burung-burung indah di Tanjung Lesung dan pantainya yang memukau.”
“Benar ini tulisan kamu, Mat?” Bunga memperhatikan isi halaman majalah yang ditunjuk Matahari.
“Wuih, keren!” seru Lilis.
“Masak, sih, kamu bisa menulis sebagus ini?” selidik Dudung.
“Tumben kamu bisa nulis, Mat!” sindir Bunga.
“Ya, bisa, dong! Aku, kan, ikut kelas menulis untuk anak-anak,” seru Matahari.
“Aku akan percaya kalau honornya terasa di lidahku,” ujar Dudung.
“Halah, bilang saja minta traktir!” Matahari meringis.
“Bakso yang baru buka di ujung jalan sana katanya enak lho, Mat!’ tambah Lilis.
“Seblaknya juga enak, kok,” ujar Bunga.
“Iya, iya, nanti kalau honornya sudah kuterima,” Matahari jadi salah tingkah, mau pamer malah ditodong traktiran makan.
“Eh, ngomong-ngomong, kira-kira berapa tahun, ya, penjahat-penjahat itu dihukum?” tanya Lilis
“Entahlah, biarkan Pak Polisi yang mengurus itu,” jawab Matahari.
“Eh, tapi aku baru tahu, lho, pemburu burung-burung endemik dihukum serius oleh polisi,” ujar Dudung.
“Ya, karena ada kaitannya dengan pelestarian alam, Dung. Jika alam lestari, hidup manusia pun akan aman, karena itu perusak alam dihukum berat,” jelas Bunga.
“Aku masih tidak mengerti,” Dudung menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gini deh, contohnya di buku yang pernah aku baca. Dulu ada jenis burung-burung yang tinggal di Kepulauan Mauritius, yaitu negara kepulauan yang terletak di Samudera Hindia. Burung ini bernama burung dodo. Para peneliti memberinya nama ilmiah atau nama latinnya Raphus cucullatus. Sayangnya, burung ini kini sudah tidak ada lagi karena sudah punah pada akhir tahun 1600an,” jelas Bunga.
“Sayang sekali, tapi kenapa bisa punah?” tanya Dudung.
“Awalnya Mauritius adalah pulau-pulau dengan hutan hujan yang lebat. Ya, mirip dengan hutan yang ada di Indonesia. Burung dodo awalnya hidup damai di sana.”
“Lalu?” Dudung mulai penasaran.
“Tapi pada tahun 1598, para pelaut Belanda tiba di sana. Melihat keindahan kepulauan itu, mereka membuat pelabuhan dan rumah-rumah penduduk di pesisir pantai pulau itu. Mereka juga membawa hewan peliharaan mereka seperti anjing, kucing, babi, juga kera hidup di pulau itu. Tidak hanya itu, saat kapal bersandar di dramaga, tikus-tikus yang tinggal di kapal pun ikut masuk ke pulau itu dan berkembang biak di sana.”
“Pulaunya jadi ramai, pasti,” celetuk Matahari.
“Itulah. Jadi hewan-hewan yang dibawa pelaut Belanda itu memangsa burung dodo. Begitu pun dengan para pelaut dan orang-orang asing yang masuk pulau itu, mereka senang menyantap telur dan daging burung dodo. Apalagi burung dodo itu tidak bisa terbang jauh, mungkin burung dodo ini seperti ayam dan burung puyuh. Bedanya ayam dan puyuh diternakkan, dodo tidak.”
“Apakah itu penyebab Dodo jadi punah?” tanya Lilis.
“Iya, burung dodo dinyatakan musnah antara tahun 1680-1693.”
“Ya, ampun! Jadi hanya dalam waktu jangka 100 tahun burung dodo bisa punah? Sayang sekali,” Matahari menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Iya, hanya seabad! Tragis, ya?” wajah Bunga berubah sedih. “Parahnya lagi, para pelaut dan orang-orang asing yang datang ke Pulau Mauritius itu menganggap, punahnya burung dodo adalah hal yang wajar. Mereka menyalahkan burung dodo atas punahnya sendiri. Mereka menuduh burung itu gemuk, bergerak lamban, serta tidak dapat terbang sehingga wajar mudah punah. Bahkan setelah bertahun-tahun mereka ada yang tega menyebut burung dodo hanya cerita khayalan saja.”
“Huh! Enak saja yang gemuk dianggap wajar punah!” protes Dudung. Lilis dan Matahari meringis melihat Dudung jadi marah-marah.
“Karena itulah para peneliti saat ini meneliti ulang burung dodo ini. Mereka melakukan tes genetika atau tes penurunan sifat. Bahan penelitiannya diambil dari fosil bulu, tulang, paruh atau sisa-sisa tubuh burung dodo yang masih ada. Selain itu juga dilakukan pengecekan dari cerita-cerita nenek moyang masyarakat Mauritius yang dituturkan turun-temurun hingga ke generasi sekarang.”
“Hasilnya bagaimana?” Matahari penasaran.
“Ternyata burung dodo adalah burung yang kuat dan lincah. Jadi kepunahannya dulu memang karena kejahatan dan kelalaian para pelaut dan orang-orang asing yang masuk ke Pulau Mauritius.”
“Wah, kamu hebat, Bunga! Kamu rajin membaca, sih, ya!” puji Lilis.
“Nah, negara kita Indonesia ini sangat kaya dengan berbagai macam jenis hewan dan tumbuhan. Dari jenis burung saja sudah didapat beratus-ratus jenis yang sangat berharga. Tiap jenis burung memiliki keunikannya masing-masing. Mulai dari indahan bulu, bentuk, makanannya hingga tingkah laku mereka yang berbeda-beda untuk tiap jenisnya. Jadi harus dijaga kelestariannya,” jelas Bunga lagi.
“Betul juga. Sayang kalau burung-burung asli Indonesia punah, seperti burung dodo di Pulau Mauritius itu,” ujar Dudung.
“Ya, alam yang termasuk di dalamnya ada hewan dan tumbuhan, harus dijaga kelestariannya, demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Alam yang rusak ditandai dengan jenis hewan dan tumbuhan tidak lagi hidup seimbang. Jika ada hewan atau tumbuhan yang hidup berlimpah ruah hingga tak terkendali, atau ada hewan atau tumbuhan yang menjadi langka hingga punah, maka hidup manusia juga perlahan-lahan akan terancam. Karena manusia, hewan, dan tumbuhan hidup dalam satu planet yang sama, planet yang kita sebut Bumi,” jelas Bunga.
“Pantas, yang menangkap burung-burung endemik langka bisa ditangkap polisi dan dihukum penjara,” ujar Lilis.
“Apa itu alasannya pulau itu dinamakan Pulau Pamali? Pamali dalam bahasa Sunda, kan, artinya tabu atau tidak boleh dilanggar. Mungkin maksudnya agar orang-orang tidak sembarangan datang ke pulau itu, jadi burung-burung yang hidup di sana tidak terganggu,” tebak Dudung.
“Bisa jadi begitu, tapi penjahat-penjahat itu licik. Mereka justru memanfaatkan nama pulau itu untuk melindungi kejahatan mereka. Karena orang-orang enggan ke sana, kejahatan mereka jadi tidak ketahuan,” ujar Matahari.
“Wah, iya, betul! Kalau perahu Ujang tidak rusak, mungkin kita tidak ke sana dan kejahatan mereka tidak terbongkar. Ah, senangnya kita bisa memecahkan satu teka-teki lagi!” seru Lilis.
“Eh, katanya, kalian waktu kemping terima surat yang bilang kalian sudah disuntik bakteri sangat ganas, terus bagaimana kelanjutannya? Apa sekarang bakteri itu masih ada di tubuh kalian berdua dan Ujang?” tanya Bunga pada Matahari dan Dudung.
“Oh, saat di polsek itu anak perempuan, kan, dihibur sama Ibu-ibu Polwan (polisi wanita) karena menangis terus. Nah, Bapak-bapak Polisi membawa anak laki-laki ke rumah sakit untuk dicek darah. Ternyata darah kita aman. Jadi bakteri ganas itu hanya gertak sambal para pemburu burung-burung itu,” jelas Dudung.
“Kita berdua nangis juga karena takut, Dung!” bela Bunga yang disambut anggukan kepala Lilis.
“Paling tidak Dudung sempat ketakutan waktu awal-awal baca surat itu, kan?” Matahari terkekeh.
“Bakteri ganas, Mat! Semua orang pasti takut. Apalagi sudah disuntikkan ke tubuh!” Dudung kesal, jahil Matahari kumat. “Memangnya saat itu kamu tidak takut?”
“Ah, kalau aku, sih, takut nggak bisa makan banyak, seperti sekarang ini,” Matahari mencomot lima pisang dan enam ubi rebus milik Dudung, karena dari tadi ia tidak ditawarin ikut makan.
“Lho, kok, banyak banget! Makananku itu, Mat! Izin dulu!” mata Dudung terbelalak.
Bunga dan Lilis tertawa.
(Tamat)
Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha