ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 11)

BERTEMU SI GIRAS

Panjul, Jilan, dan Ega tercekat!

Sekumpulan hewan ternak terpampang di depan mata mereka. Ada empat ekor sapi dan tujuh ekor kambing. Salah satunya adalah si Giras, kambing kesayangan milik Panjul yang raib sejak seminggu yang lalu. Sepertinya semua hewan ternak itu adalah hasil jarahan komplotan pencuri yang tadi mereka lihat. Seketika wajah Panjul berubah cerah. Ia bahagia sekali bisa bertemu lagi dengan si Giras yang amat disayanginya. Semula ia sempat percaya kalau si Giras sudah mati dimangsa harimau hutan seperti yang diyakini semua warga Pijiombo dan sekitarnya.

Perlahan Panjul menghampiri si Giras yang diikat di sudut dinding gua. Kambing berbulu putih dengan totol hitam di bagian tengah kepala yang sudah dirawat Panjul sejak lahir itu, langsung menyongsong Panjul sambil mengibas-ngibaskan ekor dan kedua telinganya.

Panjul tersenyum menyambut si Giras yang mengembek pelan seolah sengaja menyambutnya dengan ramah. Dengan perasaan sayang Panjul mengelus-elus kepala kambing itu. Ia berusaha menenangkan kambing kesayangannya agar tidak berisik sehingga menimbulkan kecurigaan bagi komplotan pencuri ternak itu.

“Syukurlah Giras, kita masih dapat berjumpa lagi. Sekarang kau tenang saja ya, aku akan segera membebaskanmu. Kita akan segera keluar dari sini dan pulang. Kita akan segera bisa bermain bersama-sama lagi,” kata Panjul sambil tetap mengusap-usap kepala kambingnya.

“Embeeek!” sahut kambing itu seolah paham dengan semua perkataan Panjul.

Dengan tenang kambing yang dijuluki Giras itu menekuk kedua lutut kaki depannya kemudian bersimpuh di lantai gua yang agak lembab. Kepala kambing itu terus mengendus-endus tubuh Panjul dengan gerakan pelan. Sepertinya kambing itu sedang melepaskan rasa rindunya.

“Giras, sepertinya tubuhmu jadi sedikit kurus sekarang. Pasti orang-orang jahat itu memberimu jatah makan sedikit saja. Baiklah sekarang aku ambilkan rumput untukmu. Kau makanlah sekenyangmu supaya kau punya cukup tenaga saat melarikan diri dari sini nanti,” kata Panjul lagi.

Aneh!

Kambing penurut itu mengangguk-anggukkan kepala seakan mengerti maksud ucapan Panjul.

Sesaat Panjul beranjak meninggalkan kambingnya dan menuju ke tumpukan rumput yang tak begitu jauh dari hewan-hewan ternak itu berada. Sang kambing segera melahap rumput yang diberikan oleh tuannya.

“Jilan, Ega, sekarang sudah jelas kan kalau hewan ternak warga yang hilang selama ini bukan karena dimangsa harimau tapi dicuri oleh orang-orang jahat tadi. Itu artinya kita harus melakukan sesuatu untuk menghentikan semua ini,” kata Panjul setelah menghampiri kedua temannya yang sedari tadi bersembunyi di balik tumpukan rumput yang jadi persediaan makanan bagi ternak-ternak hasil curian itu.

“Kalau begitu sekarang apa yang harus kita perbuat?” tanya Ega.

“Pertama kita harus menyelamatkan hewan-hewan ternak ini sebelum orang-orang jahat itu membawa mereka ke kota dan menjualnya,” jawab Panjul.

“Bagaimana caranya Panjul?” Kali ini Jilan yang bertanya.

“Caranya sedang aku pikirkan. Karena itu sambil mikir caranya, mari kita periksa sekitar sini, siapa tahu ada jalan keluar untuk kita,” jawab Panjul lagi.

Tanpa menyahut, Jilan dan Ega bergegas memeriksa bagian ujung lorong gua yang tampaknya berada di sisi barat. Sebab dari celah-celah bebatuan yang jadi penutup gua terlihat sinar matahari sore menerobos masuk.

Dengan lambaian tangannya, Ega memanggil Panjul agar menghampirinya. Panjul mengangguk. Sambil menggandeng tangan Jilan, ia beranjak mendekati Ega.

“Panjul, sepertinya ini adalah pintu belakang gua. Tapi sayangnya sudah tertimbun oleh bebatuan. Bagaimana kalau kita bertiga coba mendorong salah satu batu itu?” Ega bertanya sedikit ragu.

“Kau benar Ega! Tapi sepertinya batunya besar-besar. Kita tak mungkin kuat mendorongnya,” Panjul mengeluh.

“Tapi gak ada salahnya kita coba kan?” Jilan coba menyemangati kedua temannya.

Sejenak mereka terdiam. Panjul dan Ega memandang lurus pada tumpukan batu-batu itu. Sedang Jilan hanya menatap kedua temannya dengan penuh harap. Harapan semoga kedua temannya itu memiliki tenaga yang cukup kuat untuk mendorong salah satu batu yang ada.

“Jangan kelamaan mikirnya teman-teman nanti orang-orang jahat itu keburu datang ke mari,” kata Jilan kawatir sekali.

“Baiklah, ayo kita coba!” seru Panjul.

“Yuk!” sahut Ega.

Sedang Jilan hanya mengangguk dengan senyum kecil.

Sejenak mereka menundukkan kepala dan berdoa, meminta pertolongan serta tambahan kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Lalu serentak mereka menempelkan kedua telapak tangan pada salah satu batu yang mereka anggap paling mungkin untuk digeser posisinya.

Dengan aba-aba dari Panjul mereka mengucap “Bismillah” bersama-sama kemudian menarik napas dalam-dalam dan … hiaaat! Hap! Serentak mereka dorong batu itu sekuat tenaga.

Alhamdulillah!

Meskipun tak terlalu banyak, batu itupun bergeser juga. Kini suasana di sekitar mereka menjadi lebih terang karena semakin banyak sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam gua. Mereka tersenyum senang karenanya.

“Yuk, kita coba sekali lagi!” ajak Ega dengan senyum.

Jilan dan Panjul mengangguk. Lalu sekali lagi mereka mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Begitu kerasnya mereka berjuang hingga keringat membanjiri tubuh mereka.

Gludugk!

Akhirnya batu itupun terdorong dan menggelinding menuruni lereng bukit, entah menuju ke mana.

Sesaat mereka harus menutup hidung karena runtuhnya batu tadi menimbulkan debu bertebaran sehingga membuat sesak. Mereka mendengus kecewa sebab ternyata lubang yang tercipta dari jatuhnya batu itu hanya seukuran tubuh mereka. Jadi rasanya mustahil untuk mengeluarkan hewan-hewan ternak itu. Jangankan sapi, kambing pun tidak akan muat.

“Ega, kau cepatlah periksa keluar gua, siapa tahu masih ada seseorang yang bisa kita mintai pertolongan!” perintah Panjul.

Ega mengangguk setuju. Tanpa berkata-kata ia segera memasukkan tubuhnya ke dalam lubang itu. Ooh! Udara segar langsung memenuhi rongga dadanya.

Sesaat Ega mengedarkan pandangan. Tapi ia tak melihat siapa-siapa. Sejauh mata Ega memandang yang terlihat hanyalah gundukan bukit yang dipenuhi hamparan pohon teh. Rupanya bagian belakang gua ini tepat berada di tepi area perkebunan teh Sirah Kencong. Sungguh suatu pilihan tempat persembunyian yang sempurna.

“Bagaimana Ega ada orangkah di luar sana?” tanya Jilan yang sudah sangat menginginkan datangnya pertolongan.

“Enggak ada siapa-siapa. Sepertinya kita berada di tepi barat perkebunan Sirah Kencong,” sahut Ega sambil tetap memandang sekelilingnya.

Akh!

Panjul mendengus kesal. Sebenarnya ia sudah sangat penasaran dan ingin melihat keluar juga. Tapi karena tubuhnya yang agak gendut jelas tak memungkinkan untuk melewati lubang yang menganga di depan matanya.

“Panjul, terus sekarang bagaimana cara kita menyelamatkan hewan-hewan ternak itu?” tanya Ega sambil melongokkan kepala ke dalam lubang itu.

“Kau kembali masuk saja dulu nanti kita pikirkan bersama-sama,” ujar Panjul sedikit gelisah.

Ega kembali ke dalam gua. Selanjutnya mereka duduk di sebongkah batu sambil menyandarkan punggung ke dinding gua. Bersama-sama mereka mencari cara untuk mengeluarkan ternak warga dari dalam gua.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar