ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 14)

KARENA JILAN TERTANGKAP

 

 

Sementara itu di area perkebunan teh Sirah Kencong.

Panjul, Jilan, dan Ega masih berjuang keras menghindari kejaran komplotan pencuri setelah berhasil lolos keluar dari dalam gua. Karena teramat gugup, mereka bukannya berlari ke arah jalan yang menuju ke Pijiombo, tapi justru menuju ke tengah perkebunan. Namun, setidaknya hal itu justru menguntungkan mereka. Deretan pohon teh yang rimbun memudahkan mereka untuk menyelinap dan bersembunyi dari tangkapan orang-orang jahat yang masih saja membuntuti.

Untuk lebih memudahkan menyelamatkan diri, mereka berlari secara berpencar. Dengan begitu komplotan pencuri itupun ikut terpecah belah. Masing-masing anak dikejar oleh satu orang sambil mengacung-acungkan pentungan.

Suatu saat Ega yang sudah kelelahan nyaris saja terkejar oleh Jon yang berbadan kekar. Bahkan Ega sempat tersandung batu dan jatuh tersungkur di rerumputan. Dengan senyum menyeringai Jon mempercepat langkah dan bergegas menghampiri Ega yang belum sempat terbangun.

“Kena kau bocah! Mau coba berlari ke mana lagi kau, hah?!” gertak Jon sambil membentangkan kedua lengannya untuk menangkap Ega.

Oh Tuhan! Ega sudah menggigil ketakutan. Sebentuk wajah beringas itu tinggal beberapa langkah saja jaraknya dengan tubuh Ega yang masih tersungkur di tanah. Melihat keselamatan Ega terancam, Panjul yang sedang bersembunyi tak jauh dari tempat Ega berada segera bertindak.

Sekuat tenaga diseretnya potongan kayu sebesar paha orang dewasa yang tergeletak di tepi deretan pohon teh. Tepat ketika langkah kaki Jon tinggal selangkah lagi untuk dapat menggapai tubuh Ega, dengan sigap Panjul mendorong kayu itu dalam posisi melintang. Akibatnya, Jon yang pandangannya sedang fokus pada Ega tak sempat melihat datangnya potongan kayu melintang yang menghalangi langkahnya. Dug! Seketika betis Jon menghantam potongan kayu itu dengan keras. Jon terhuyung kemudian jatuh terjengkang.

“Egaaa! Cepaat lariii!” teriak Panjul sekencangnya.

Tanpa pikir panjang Ega segera bangkit dan berlari menjauhi Jon yang masih terduduk sambil meringis kesakitan. Sambil terus berlari Ega sempat mengacungkan jempol tangannya pada Panjul. Sang teman membalasnya dengan melakukan hal yang sama.

Di sisi lain, perjuangan Jilan juga tak kalah hebatnya. Meskipun sosok Jilan adalah bocah perempuan yang bertubuh kecil, tapi ia mampu berlari dan menghindar dengan gesit. Bahkan beberapa kali ia sempat mengecoh orang yang mengejarnya dengan melewati daerah-daerah yang ia tahu cukup licin. Sehingga tak urung orang yang mengejarnya sempat beberapakali tersandung dan terpeleset hingga terpelanting dan berguling-guling.

Sayangnya Jilan ternyata salah perhitungan. Ia sangka orang yang mengejarnya akan kapok setelah terjatuh dan terguling, tapi ternyata tidak. Orang itu justru semakin geram. Dia merasa telah dipermainkan oleh anak kecil. Dan dia tak mau kalah. Rasa geram itu semakin memacu semangatnya untuk dapat menangkap Jilan.

Suatu saat ketika Jilan hendak melompat ke deretan pohon teh di sisi kirinya, tiba-tiba kaos yang ia kenakan tersangkut salah satu cabang pohon.

Jilan terjatuh dan berguling-guling di tanah beberapa putaran. Sialnya arah bergulingnya tubuh Jilan justru mengarah ke orang yang mengejarnya. Tak sempat lagi Jilan menghindar. Begitu gulingan tubuhnya berhenti, serta merta ia ditangkap oleh orang berwajah bengis itu.

“Lepaskan! Lepaskan aku!” teriak Jilan meronta-ronta.

Kaki dan tangan Jilan menendang-nendang ke segala arah. Tapi sepertinya cengkeraman orang berwajah bengis itu terlalu kuat untuk bisa ia patahkan. Dengan cekatan orang itu mengikat tangan dan kaki Jilan.

“Ega! Panjul! Toloong lepaskan aku!” teriak Jilan terus meronta-ronta.

“Berteriaklah sepuasmu bocah tengil! Tidak akan ada yang bisa mendengar dan menolongmu di tempat ini!” damprat orang itu.

Jilan menangis tertahan. Orang itu menyeringai tanpa ampunan.

Mendengar teriakan Jilan, Panjul tercekat di tempat persembunyiannya. Ingin rasanya ia segera menolong Jilan, tapi hal itu ia rasa tak memungkinkan. Sebab orang yang mengejarnya masih tampak berkeliaran mencari-cari keberadaannya.

Demikian juga dengan Ega. Sambil menahan napasnya yang terengah-engah, ia terus meringkuk di tengah deretan pohon teh. Meski jeritan Jilan terdengar begitu memilukan, tapi Ega tak dapat berbuat apa-apa. Sebab keselamatan dirinya juga sedang dalam bahaya.

“Teman-teman kemarilah! Aku sudah berhasil menangkap salah satu bocah tengil itu!” teriak orang yang berhasil menangkap Jilan.

Serentak ketiga komplotan pencuri yang semula sedang mencari-cari keberadaan Panjul dan Ega, bergegas memenuhi panggilan temannya.

“Lalu bagaimana dengan dua bocah yang masih lolos itu?” tanya salah satu dari mereka.

“Sudah biarkan saja. Kalau temannya ini kita tawan, aku yakin mereka tak akan berani berbuat macam-macam,” sahut Jon.

“Kalau kedua bocah tengik itu berhasil pulang dan lapor polisi?” Kris mengutarakan kekawatirannya.

“Tempat ini jauh dari kantor atau pos polisi. Kalaupun mereka berhasil lapor, saat polisi tiba di sini kita pasti sudah berhasil membawa kabur semua ternak dan bocah ini,” bantah Jon optimis.

“Iya kau benar! Sebaikmya sekarang segera kita bawa ke gua bocah itu. Kita ikat dekat hewan ternak itu, biar kapok!” kata orang yang satunya.

“Jangan lupa sumpal mulutnya supaya tidak bikin gaduh di dalam gua!” Kris masih sempat mengingatkan temannya.

Dengan kasar Jon segera membungkam mulut Jilan memakai selembar kain. Lalu dipanggulnya tubuh Jilan yang masih meronta-ronta tak karuan.

Begitu empat orang anggota komplotan pencuri itu sudah masuk kembali ke dalam gua, Ega buru-buru menghampiri tempat persembunyian Panjul.

“Panjul, bagaimana nasip Jilan? Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Ega memperhatikan mulut gua yang kembali sepi.

Panjul diam sejenak. Sambil ikutan menatap mulut gua, Panjul sedang berpikir guna mencari cara untuk menyelamatkan Jilan. Sekaligus meringkus komplotan pencuri itu dan menyerahkannya pada pihak yang berwenang.

“Ega, kau masih percaya padaku kan?” balik tanya Panjul.

Spontan Ega menyahut dengan penuh keyakinan.

“Tentu saja! Kenapa kau malah bertanya seperti itu?” tanya Ega menatap heran ke wajah Panjul.

“Kalau begitu, sekarang lakukan saja apa yang aku perintahkan.”

“Baik, kau ingin aku melakukan apa?”

“Segeralah kau pulang. Ceritakan semua ini pada warga dan mintalah bantuan mereka bersedia melapor ke polisi.”

“Lalu kau mau apa?”

“Aku akan kembali ke dalam gua lewat pintu belakang yang tadi kita temukan untuk membebaskan Jilan.”

“Itu terlalu berbahaya, Panjul.” Ega berkata sambil mencekal lengan Panjul dengan erat.

Sambil tersenyum Panjul melepaskan cekalan tangan Ega yang begitu cemas.

“Sudahlah, lakukan saja perkataanku! Aku mengandalkanmu!” kata Panjul sambil menepuk-nepuk pundak Ega.

Sesaat Ega terdiam. Demi mengingat keselamatan Jilan yang sedang terancam, akhirnya dengan berat hati Ega menganggukkan kepala.

“Baiklah, aku berangkat sekarang. Berhati-hatilah kau, Panjul.”

Panjul menganggukkan kepala dengan mantap. Sesaat Panjul menatap kepergian Ega dengan tatapan berat. Karena Jilan tertangkap, kini Panjul harus bertindak cepat!

 

 

Bersambung …

 

 

 

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar