ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 19)

BERBAGI TUGAS

 

 

 

Dua mobil polisi melaju kencang melintasi jalan berkelok-kelok dan berbatu-batu yang membentang di sepanjang perkebunan kopi Sengon. Kondisi jalan itu gelap gulita karena memang tak ada lampu penerangan di sisi kanan dan kirinya. Sementara tebing yang curam serta jurang yang menganga dalam menjadi tantangan tersendiri bagi kendaraan yang melintas di malam hari.

Beruntunglah kedua mobil itu merupakan kendaraan taktis yang bisa menakhlukkan segala medan. Sehingga dengan mudah kedua mobil itu menempuh perjalanan menuju kawasan ujung utara kota Wlingi yang terletak di pedalaman.

Mobil pertama memuat 10 orang anggota kepolisian. Dua orang duduk di jok depan sedang di bak belakang terdapat dua bangku panjang saling berhadapan yang masing-masing diisi 4 orang. Sedangkan mobil kedua hanya ada 4 orang anggota polisi saja. Dua orang duduk di depan, sedang yang dua orang lagi duduk di belakang menemani Adib dan Ega yang didaulat sebagai penunjuk jalan.

Sepanjang jalan tak seorang pun anggota polisi itu berbicara kecuali satu orang yang membawa radio komunikasi. Tampaknya orang itu selalu melaporkan setiap keadaan yang dilewatinya kepada anggota polisi lain yang memantau jalannya operasi itu dari kantor saja.

Saat mobil memasuki tikungan tajam di tengah hutan pohon karet, Ega berbisik pada Adib dengan suara perlahan.

“Adib, terima kasih ya tanpa bantuanmu mungkin saya belum mendapatkan bantuan polisi untuk menyelamatkan Panjul dan Jilan.”

“Santai sajalah, kita kan teman jadi selayaknya saling bantu kan,” sahut Adib sambil mempertahankan posisi duduknya akibat tubuhnya yang terguncang-guncang karena banyaknya bebatuan di sepanjang jalan.

“Tapi kalau boleh tahu, kenapa kau mau membantu Dib? Padahal Panjul telah menganggapmu sebagai musuhnya setelah kau kalahkan layang-layangnya.”

“Apa benar Panjul seperti itu?” Mata Adib terbelalak lebar.

“Iya bahkan Panjul menaruh dendam padamu.”

“Dendam padaku?”

Ega menganggukkan kepala.

“Iya,” jawab Ega singkat.

“Kenapa?” Adib masih serasa tak percaya.

“Panjul merasa sakit hati sebab kau telah meledek kekalahannya dengan posisi nungging dari balik selakanganmu.”

“He he he he he!”

Mendadak Adib tertawa mengekeh. Kedua polisi yang duduk dekat pintu belakang sampai menoleh.

“Waktu itu aku hanya bercanda, tahu! Kok disikapi serius seperti ini?” sanggah Adib penuh penyesalan. Sesal terhadap sikapnya yang kadang agak menyebalkan.

“Tapi bercandamu itu memang kelewatan sih.”

“Maaf, maaf kalau begitu. Tapi semoga dengan bantuanku sekarang ini Panjul jadi mau memaafkan aku, ya,” kata Adib penuh harap.

“Aku harap juga begitu, Dib.”

Percakapan mereka terhenti. Laju mobil terasa melambat karena sudah memasuki jalan Kenaren yang menanjak dan menikung tajam. Jalan itu juga selalu licin sebab akar pepohonan yang bermunculan dari tebing di sisi kanan jalan selalu meneteskan air sehingga membasahi lumpur yang meleleh di antara bebatuan.

Sementara jurang dalam yang ada di sisi kiri jalan tampak hitam menganga. Pucuk-pucuk pohon yang menyembul dari dalam jurang tampak seperti tangan-tangan kegelapan yang siap menerkam. Terlebih saat bulan timbul tenggelam di balik awan, menjadikan pemandangan di bawah jalan itu semakin menyeramkan.

Adib dan Ega bernapas lega saat mereka lihat lampu mobil sudah menyorot dinding berpatung yang merupakan gapura pintu masuk dusun Pijiombo. Deretan rumah warga yang ada di kanan-kiri jalan nampak masih menyala lampunya meskipun keadaan terasa sepi. Sesuai laporan dari Ega, kedua mobil polisi itu langsung menghampiri warga yang masuk berkumpul di depan Loji.

Warga yang semula sedang membagi tugas untuk mengadakan penyisiran di tepi hutan, serta merta bergerombol jadi satu saat mobil polisi memasuki halaman Loji. Mata mereka nampak terbelalak dan saling pandang. Mereka terkejut karena polisi sudah datang.

Terlebih saat Adib dan Ega turun dari salah satu mobil polisi. Warga semakin kebingungan dengan apa yang terjadi.

“Ega, kok kamu malah sama Adib? Di mana Panjul dan Jilan, hah?” tanya Pak Anto jelas terlihat sedang menahan geram.

“Teman macam apa kau ini, heh! Bisa-bisanya kau tinggalkan temanmu berada di sarang harimau? Kau senang kalau temanmu dimangsa harimau?” Ayahnya Panjul juga tak mau ketinggalan untuk menumpahkan kekesalan.

“Dasar bocah tak tahu diri!” maki warga yang lainnya. Makian yang kemudian disusul oleh teriakan-teriakan penuh amarah dari warga yang dilanda resah.

Seketika pucatlah wajah Adib dan Ega. Mereka takut jika warga akan menghukum mereka. Adib dan Ega hanya bisa menunduk dengan kaki gemetaran.

Di luar dugaan Adib tiba-tiba maju ke depan kerumunan warga dan langsung berteriak lantang membela temannya.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu jangan tersulut amarah dulu. Ega ini tidak bersalah! Ega bisa bersama para polisi ini karema sedang mencari bantuan untuk menyelamatkan Panjul dan Jilan. Biar semua jelas, sekarang kau ceritakan saja semuanya pada mereka, Ega!”

Ega mendongak takut-takut. Melihat keberanian Adib yang membela dirinya, perlahan tapi pasti Ega mulai berhasil mengumpulkan keberaniannya. Dengan gerakan perlahan ia melangkah menjejeri Adib. Ega sudah bersiap untuk memberi penjelasan.

Tapi sebelum Ega sempat mengucapkan sepatah kata pun, komandan polisi segera turun tangan untuk menenangkan warga.

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu harap semua tenang! Tenang! Bocah pemberani ini telah melaporkan semuanya pada kami. Karena itulah kami datang dan akan segera menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Pijiombo ini. Jadi saya mohon semuanya untuk bersabar sedikit. Sesuai keterangan Bocah pemberani ini, dua temannya masih dalam keadaan baik-baik saja. Tidak akan ada harimau yang memangsa mereka. Mereka hanya disekap oleh komplotan pencuri ternak yang selama ini telah membohongi warga Pijiombo dan sekitarnya ini!” kata komandan polisi dengan suara lantang.

Seketika warga yang semula berisik langsung bungkam. Mereka saling pandang dengan sesama warga yang ada di dekatnya.

“Bagaimana bisa kami tenang Pak, sementara setiap kami dengar suara auman harimau, maka esok harinya pasti ada ternak kami yang hilang dimangsa!” protes ayahnya Panjul yang berdiri paling depan.

“Seperti yang tadi kami katakan, bahwa selama ini komplotan pencuri itu telah menipu semua warga. Suara auman harimau yang Saudara-saudara dengar itu sengaja mereka putar dengan pengeras suara agar warga ketakutan dan bersembunyi. Dengan begitu mereka dengan mudah mencuri ternak yang mereka inginkan,” bantah komandan polisi dengan suara dan gaya yang meyakinkan.

“Bagaimana mungkin kami bisa mempercayai omongan bocah kecil itu?” suara seorang warga masih tampak sangsi.

“Cobalah Saudara-saudara pikir jika di bukit itu memang benar ada harimau tentunya tidak mungkin bocah ini bisa sampai di kantor polisi. Sudah pasti dia sudah dimangsa harimau bersama kedua temannya kan?” balik tanya sang komandan polisi.

Semua warga Pijiombo bungkam seketika. Apa yang dikatakan pak polisi memang cukup beralasan.

 

 

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 19)”

Tinggalkan komentar