ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 2)

SAAT ISTIRAHAT TIBA

Pukul 09.15

Bel berdentang empat kali sebagai pertanda waktu istirahat tiba. Dalam sekejap seluruh siswa berlarian keluar kelas. Ada yang langsung bergegas menuju ke kantin sekolah untuk membeli jajan dan minuman. Ada pula yang langsung bermain bersama teman-temannya di halaman.

Kecuali Panjul, sampai dengan saat istirahat itu masih saja berdiam diri di kelasnya. Duduk tepekur di bangkunya dengan pandangan tanpa gairah. Bayangan ejekan Adib masih saja menari-nari di pelupuk matanya.

“Panjul, kita ke kantin yuk!” ajak Ega penuh harap.

“Malas ah! Kau ke kantin aja sendiri,” tolak Panjul.

“Kali ini aku deh yang bayari semua jajanmu,” bujuk Ega.

“Ogah! Aku bilang males ya males!” sentak Panjul sewot sembari bangkit dan pindah duduk di bangku pojok belakang.

Sejenak Ega menatap teman sebangkunya yang hari ini wajahnya sedang kusut masam. Yang dipandang justru berpaling keluar kelas. Ega yakin sahabatnya ini sedang dirundung suatu masalah. Untuk itu dengan sabar ia menghampiri sang teman.

“Panjul, sudah sejak kelas satu kita berteman. Tapi belum pernah aku lihat wajahmu muram seperti ini. Ada masalah apa sih sebenarnya? Katakanlah, siapa tahu aku bisa membantu,” kata Ega nampak bersungguh-sungguh.

Tanpa memandang Ega, Panjul menyahut.

“Meskipun aku katakan ya percuma saja.”

“Percuma saja bagaimana?”

“Kau pasti tidak bisa memberikan jalan keluarnya.”

“Belum tentu juga kali …,” seloroh Ega dengan mimik lucu.

Mendengar perkataan temannya yang begitu enteng terdengar, akhirnya Panjul luluh juga. Perlahan ia memutar wajah hingga wajahnya berhadapan langsung dengan Ega. Dengan raut muka serius ia tatap Ega yang lagi cengar-cengir tanpa beban.

“Sejujurnya Ega, sampai sekarang aku masih jengkel dan merasa gak terima atas ejekan Adib kemarin sore itu. Aku merasa dia benar-benar sengaja melecehkan aku. Aku terhina dan aku tidak bisa terima diperlakukan seperti itu,” kata Panjul menahan emosi.

Sambil cengengesan Ega menyahut tenang.

“Oo … jadi semua ini soal layang-layangmu yang kalah dan putus dalam adu sambit kemarin.”

“Ini bukan soal layang-layangnya, Ega.”

“Lalu soal apa?”

“Soal ejekannya yang keterlaluan itu! Itu yang harus aku balas!”

“Caranya?”

“Ya aku harus ganti kalahkan dia biar berakhir kesombongannya!”

“Alaaa gitu aja kok repot! Kalau kau ingin kalahkan Adib maka kau buatlah layang-layang yang lebih bagus dari miliknya. Lalu kita tantang adu sambit lagi seperti kemarin.”

“Kalau harus buat layang-layang segala, aku rasa sudah gak ada waktu. Kelamaan prosesnya. Aku sudah gak tahan terbayang ejekannya terus, Ega.”

“Terus maumu gimana sekarang?” Ega bertanya sambil menatap lurus wajah temannya.

“Hal itu yang sekarang sedang aku pikirkan,” jawab Panjul dengan dahi berkerut. Tampaknya Panjul sedang berpikir keras mencari cara terbaik dan tercepat untuk dapat membalas kekalahannya sama Adib.

Untuk beberapa saat keduanya tampak diam. Masing-masing sedang berpikir dengan keras. Memang sih soal layang-layang bisa saja mereka membeli pada orang-orang yang membuat dan menjualnya. Sebab pada musim layang-layang begini banyak pemuda di desanya yang piawai membuat layang-layang aduan sengaja berjualan hasil karyanya. Bahkan ada pula yang menjual lengkap dengan benangnya yang sudah diolesi aneka ramuan agar tajam saat adu sambit.

Namun hal itu tetap saja bukan jaminan kalau layang-layang itu akan jadi pemenang. Sebab dalam hal adu sambit layang-layang, bukan hanya layang-layang dan benangnya yang jadi faktor utama, tapi juga kelihaian orang yang memainkannya. Diperlukan ketepatan dan kecermatan untuk menyambit benang lawan dan kemudian menarik ulur benang sehingga gesekan yang ditimbulkan bisa dengan cepat memotong benang milik lawan.

Sungguh saat istirahat hari ini bagi Panjul dan Ega serasa seperti sedang menghadapi soal-soal ujian. Mereka harus berpikir keras hingga melupakan kebiasaannya untuk jajan dan bermain bersama teman-teman. Tali pertemanan yang terjalin erat di antara mereka membuat keduanya sama-sama merasa bertanggung jawab untuk segera mendapat suatu cara guna meraih kemenangan. Sampai-sampai ajakan bermain beberapa teman yang sengaja menyusul ke kelas, mereka abaikan saja.

Aha! Tiba-tiba mata Ega berbinar lebih cerah. Seulas senyum manis terlukis di bibirnya.

“Ahai, aku tahu caranya sekarang,” seru Ega girang.

“Iyakah? Bagaimana caranya Ega?” tanya Panjul penuh harap.

Namun sial, belum sempat Ega mengatakan cara yang telah ditemukannya tiba-tiba bel sudah berbunyi kembali sebagai pertanda waktu istirihat telah selesai. Akh! Ega dan Panjul sama-sama mendengus kecewa.

“Yaa kok sudah masuk sih, aku kan belum sempat jajan,” rungut Ega sambil menghentakkan kakinya ke lantai kelas yang berkeramik putih. Rona kecewa begitu jelas terpancar di wajahnya.

Heh!

Panjul hanya bisa mengangkat bahu. Sambil tersenyum kecil ia melangkah kembali ke bangkunya semula. Sedang Ega masih saja menyesali saat istirahatnya yang telah terlewatkan begitu saja.

***

“Ega, sebenarnya sejak tadi aku sudah membuat desain layang-layang yang aku yakin akan bisa mengalahkan layang-layang milik Adib,” kata Panjul sebelum Bu Devi masuk kembali ke dalam kelas.

“Nah, bagus itu,” sahut Ega dengan mata sedikit melotot.

“Cuma masalahnya kalau harus bikin sendiri waktunya kelamaan.”

“Terus maumu bagaimana?”

“Bagaimana kalau minta dibuatkan sama bapakmu saja.”

“Apa? Bapakku?” Mata Ega setengah melotot.

“Iya.” Panjul mengangguk yakin.

“Bapakku tidak akan ada waktu untuk membuatkan layang-layang. Bapak sibuk mencari rumput buat sapi-sapinya. Jangankan buatmu, membuatkan layang-layang untukku saja gak pernah sempat.”

“Ya, cobalah kau bujuk.” Panjul belum mau menyerah.

“Bagaimana caranya?”

Belum sempat Ega menanggapi lebih lanjut, perlahan pintu kelas terbuka. Bu Devi masuk kelas seraya menenteng beberapa buku.

Seketika seisi kelas terdiam. Semua murid segera mengeluarkan pelajaran selanjutnya. Sekarang waktunya pelajaran Bahasa Indonesia. Materi kali ini adalah tentang menulis karangan deskripsi.

Untuk beberapa saat Bu Devi menjelaskan ciri-ciri karangan deskripsi. Semua murid menjelaskan dengan seksama. Sesekali murid-murid mencatat apa yang disampaikan gurunya sambil memperhatikan buku modul yang terbuka di atas bangkunya.

Hanya Panjul sepertinya yang tetap belum bisa memusatkan perhatian secara pebuh. Pikirannya masih terbagi dengan rasa kecewa dan sakit hati atas kekalahannya adu sambit layang-layang. Ada banyak rencana yang sedang dipikirkannya. Andai bapaknya Ega bersedia membuatkannya layang-layang, kemungkinan untuk memang sangatlah besar.

Tetapi mau bagaimana lagi, seperti yang dikatakan Ega bahwa setiap hari bapaknya sibuk mencari rumput untuk sapi-sapinya. Tentu tidak mungkinlah kalau ia harus menggantikan mencari rumput agar bapaknya Ega mau membuatkan layang-layang.

Tenaganya terlalu ringkih untuk mencarikan rumput bagi empat ekor sapi. Menyadari hal itu, wajah Panjul kembali merona sedih. Maka jalan satu-satunya ia harus berhasil merayu Ega agar mau meminta tolong pada bapaknya.

Nanti saat istirahat kedua tiba, Panjul akan mencoba lagi merayu Ega.

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar