ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 32)

MALAM TERINDAH

Pesta pun dimulai!

Segenap warga dan undangan yang hadir tenggelam dalam kegembiraan. Mereka menikmati hidangan yang disajikan sambil menonton pertunjukan Kuda Lumping yang semakin malam semakin seru saja. Desa Pijiombo yang kecil dan sepi itu sekarang gemerlap, bertabur cahaya seperti kota besar layaknya. Segala keresahan dan kekawatiran yang kemarin-kemarin sempat mencekam, saat ini telah sirna. Berganti dengan kegembiraan yang menjelma.

Pagelaran Kuda Lumping dari desa Genjong tampil memukau. Diawali dengan persembahan tari Jaranan Senterewe yang dibawakan oleh 6 orang gadis dengan lincah dan gemulai. Penonton dibuat takjub oleh penampilan mereka. Dengan amat piawai keenam gadis itu memainkan kuda kepang disertai gerakan-gerakan indah memesona.

Dilanjutkan dengan tari Barong Kembar yang dimainkan oleh dua orang anak usia Sekolah Dasar. Diiringi gamelan yang rancak kedua bocah itu melakukan gerakan-gerakan tari Barong dengan sangat mengesankan. Mereka terlihat benar-benar menjiwai topeng barong yang dikenakan. Dengan gerakan luwes tapi bertenaga, tarian yang mereka bawakan mengundang decak kagum semua pemirsa.

Semua penonton merasa bangga dan terhibur. Terlebih para polisi dan aparat desa yang hadir. Di tengah maraknya gempuran teknologi, anak-anak hebat ini ternyata masih peduli untuk melestarikan kesenian tradisional. Hal ini sangatlah luar biasa. Saat sebagian besar anak-anak mulai diracuni oleh berbagai seni dan hiburan dari dunia maya, anak-anak ini justru masih konsisten melestarikan kesenian tradisional yang memiliki nilai-nilai luhur warisan dari nenek moyang.

Para aparat desa memberi acungan jempol buat mereka. Apa yang mereka lakukan itu patut mendapat apresiasi dari semua pihak. Grup-grup seni Kuda Lumping seperti ini patut mendapat perhatian dan sokongan agar tetap lestari keberadaannya. Meski tidak dapat dipungkiri dalam setiap pagelaran Seni Kuda Lumping sekarang ini selalu diselipi lantunan lagu-lagu dangdut atau campur sari yang sedang ngetrend saat ini.

Pada saat penampilan biduan-biduan yang menyanyikan lagu-lagu hits masa kini itulah, beberapa tamu undangan diberi kesempatan untuk ikut bergoyang sambil memberi saweran.

Dalam kesempatan itu ditampilkan juga tari Celeng. Tarian ini juga dibawakan oleh dua penari yang masing-masing membawa replika celeng (babi hutan). Dalam tariannya mereka memainkan gerak-gerakan menyerupai babi hutan yang sedang mencari mangsa di hutan. Tarian dibawakan dengan lincah sambil sesekali melakukan atraksi jungkir balik. Bahkan saat penari-penari ini sudah bertingkah seperti orang kesurupan, kadang mereka meminta gambuh berupa makan makanan yang tak lazim.

Ada yang memakan buah kelapa dengan mengupas langsung menggunakan giginya. Ada yang berjalan dan menari di atas bara api. Ada menginjak-injak pecahan kaca. Bahkan ada yang memakan beling tanpa terluka. Atraksi-atraksi maut seperti ini yang sering mendapatkan tepuk tangan meriah dari semua orang.

Di tengah meriahnya pesta itu, tiba-tiba Adib berkata pada ketiga temannya.

“Teman-teman bisakah aku mengajak kalian bicara di depan sekolahan? Di sini terlalu bising soalnya.”

“Memang kau mau bicara soal apa pada kami?” Panjul jadi penasaran.

“Sesuatu yang penting.”

Tanpa menjawab, Panjul menatap Jilan dan Ega secara bergantian. Panjul berharap minta persetujuan kedua temannya. Sesaat kemudian Jilan dan Ega mengangguk berbarengan.

“Baiklah, ayok!” Panjul mendahului melangkah setelah minta ijin pada orang tuanya. Begitu pula Jilan dan Ega. Mereka berdua melakukan hal yang sama dan segera pula menyusul Panjul yang sudah mendahului melangkah bersama Adib. Sepanjang langkah hati mereka bertanya-tanya hal apa yang sebenarnya akan disampaikan Adib sampai harus mengajak mereka bicara di tempat yang sepi.

“Teman-teman supaya kekompakan kita dalam berpetualang bisa tetap terjaga, bagaimana seandainya aku pindah sekolah ke sekolah kalian?” tanya Adib saat mereka sudah tiba di halaman SD Negeri Pijiombo. Kini mereka duduk di sebuah bangku beton berbentuk lingkaran yang di tengah-tengahnya terdapat sebatang pohon mangga.

Bangku beton melingkar itu sengaja dibuat untuk tempat anak-anak membaca buku dari perpustakaan saat jam istirahat. Di situ suasananya sejuk dan nyaman. Angin dari lereng sisi selatan bertiup sepoi-sepoi. Jadi sangat enak untuk duduk sambil membaca bersama-sama.

Sejenak Panjul, Jilan, dan Ega saling pandang. Mereka seolah tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

“Maksudmu kau mau pindah sekolah ke SD Pijimbo, Dib?” Jilan bertanya penasaran.

Adib mengangguk mantap.

“Ya,” jawabnya singkat.

“Kau serius, Dib?” tanya Panjul mencoba meyakinkan.

Kembali Adib mengangguk dengan mantap.

“Ya, tentu saja aku serius. Apa kalian setuju?” balik tanya Adib.

“Tentu saja!” sahut Panjul, Jilan, dan Ega kompak.

Serta merta mereka serentak memeluk Adib dengan erat. Kebahagiaan yang sedari tadi mereka rasakan kini terasa semakin besar adanya. Pesta itupun terasa semakin indah.

Panjul dan Ega seketika membayangkan betapa serunya jika Adib jadi bersekolah di SD Pijiombo bersama mereka. Tentu hari-hari mereka akan bertambah menyenangkan. Sikap Adib yang terkadang terkesan konyol bisa menjadi hiburan tersendiri. Selain itu mereka juga bisa bermain layang-layang bersama. Bahkan merumput pun bisa bersama-sama.

Lain lagi dengan Jilan. Meskipun ia masih kelas IV dan nantinya tidak sekelas dengan Adib, tapi ia tetap yakin kalau bersahabat dengan Adib akan menyenangkan. Meski terkesan rada keras kepala, sebenarnya Adib memiliki rasa empati yang tinggi kepada sesama. Buktinya walau sempat bermusuhan dengan Panjul gara-gara adu sambil layang-layang, tapi begitu tahu kalau Panjul dalam masalah serta merta ia mau membantu dan mengantar Ega melapor ke kantor polisi. Padahal saat itu hari sudah malam. Dan jarak kantor polisi dengan desa Genjong sekitar 7 kilometer.

“Memangnya kau sudah bicara sama nenekmu terkait rencana pindah sekolahmu itu?” Ega bertanya lebih lanjut. Ia tahu kedua orang tua Adib sedang bekerja di luar negeri.

“Belum, sih.” Adib menggelengkan kepala.

“Terus bagaimana kalau nenekmu gak mengijinkan?” Panjul menjajaki keseriusan niat Adib untuk pindah sekolah.

“Aku akan memaksanya agar setuju.”

“Memaksakan kehendak pada orang itu gak baik, tahu.” Jilan memangkas kata-kata Adib.

“Eee … maksudku aku akan merayu Nenek agar ia setuju.”

“Tantunya nenekmu terlebih dulu harus membicarakan hal itu pada kedua orang tuamu, Dib.” Kali ini Ega yang menyela.

“Kalau Bapak dan Ibuk, aku yakin pasti menurut apa kemauanku.” Adib menjawab dengan penuh keyakinan.

“JIka ternyata tidak?” Panjul menatap Adib dengan pandangan tajam.

“Maka kalian doakan saja semoga semuanya setuju.”

“Amiiin,” sahut Panjul, Ega, dan Jilan kompak/

Malam ini menjadi malam terindah bagi mereka. Sebab mereka bukan hanya mendapat medali dan hadiah, tapi juga akan mendapat teman sekolah baru.

“Terima kasih Tuhan atas malam terindah yang Kau berikan pada kami,” ucap Panjul, Jilan, dan Ega di dalam hati.

Malam terindah ini bisa jadi akan terbawa sampai ke dalam mimpi.

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar