ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 9)

JIWA JIWA PETUALANG

 

 

Di pinggir lapangan yang berada di sebelah timur SD Negeri Pijiombo, Adib yang bertubuh bongsor itu sedang menggulung benangnya dengan lesu setelah layang-layangnya kalah dan putus dalam adu sambit. Bibirnya yang biasanya tak pernah henti mendendangkan lagu-lagu dangdut yang tersiar lewat radio kecil yang senantiasa menggantung di lehernya, sekarang tampak bungkam tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Layang-layangnya yang putus karena dikalahkan oleh seorang anak kecil membuatnya terpukul dan hilang gairah. Dengan wajah cemberut dan kaki dihentak-hentakkan ke tanah, ia keraskan volume radio kecilnya. Sehingga semua orang yang sedang ada di lapangan langsung pada memandanginya dengan tatapan heran. Bahkan beberapa orang sampai menggeleng-gelengkan kepala lantaran heran melihat sikapnya. Tapi dasar Adib, ia tak peduli dengan semua itu.

Maklum sedari kecil ia sudah tak diasuh oleh orang tuanya. Saban hari ia hanya tinggal bersama neneknya. Semenjak ia masih bayi, ibunya sudah berangkat jadi TKW ke Singapura. Sedang ayahnya kerja di Malaysia. Makanya meski secara materi Adib mendapatkan lebih, tapi ia kekurangan perhatian dan kasih sayang. Hal itu yang menyebabkan ia sering bertingkah aneh-aneh.

“Untunglah sepertinya Panjul, Ega, serta Jilan tidak berada di lapangan, sehingga mereka tidak tahu soal kekalahanku yang memalukan. Seandainya mereka tahu, mereka pasti akan membalas ejekanku pada Panjul kemarin itu,” gerutu Adib sambil menggulung benangnya.

Namun, kiranya keberuntungan Adib tidaklah berlangsung lama. Sebab meskipun Panjul, Ega, dan Jilan tak melihat kekalahannya, nyatanya masih ada saja orang lain yang mengoloknya.

“Hai Adib! Masa sama layang-layang anak kecil saja kalah. Ayo dong balas!” teriak seorang anak yang layang-layangnya masih mengudara.

Adib melengos kesal. Ia mempercepat menggulung benang meski hasil gulungannya jadi tidak rapi. Jelas hal itu akan menyebabkan benangnya mudah ruwet. Tetapi Adib tak peduli lagi.

Begitu selesai menggulung benangnya, Adib bergegas meninggalkan lapangan. Buru-buru ia berjalan menapaki jalan berbatu yang merupakan satu-satunya akses menuju ke perkebunan teh Sirah Kencong. Rupanya Adib juga ingin berburu layang-layang putus agar secepatnya dapat membalas kekalahan yang baru diterimanya.

Langkah Adib baru berhenti ketika ia sampai di puncak bukit yang kedua dari lapangan tempatnya tadi berada. Namun hingga ia sampai ke tempat itu, belum ada satu pun layang-layang yang putus. Lantas ia pun memutuskan untuk beristirahat dulu saja sambil menunggu adanya layang-layang yang kalah dan putus.

Saat Adib sedang beristirahat itulah tiba-tiba tanpa sengaja pandangannya tertumbuk pada dua keranjang rumput yang teronggok di bawah sebatang pohon rindang. Serta merta hatinya tergerak untuk mendekatinya.

Astaga!

Adib terbelalak tak percaya. Ia tahu betul bahwa kedua keranjang itu adalah milik Panjul dan Ega. Tapi kemana mereka berdua? Sejenak Adib mengedarkan pandangannya. Tapi sejauh matanya memandang, ia tak melihat siapa-siapa kecuali pepohonan dan semak belukar yang menghampar luas.

Kembali Adib celingak-celinguk ke segala arah. Tapi tetap saja ia tak melihat siapa-siapa di sana. Lantas terbersit niat jahil dalam otaknya. Akan ia sembunyikan kedua keranjang penuh rumput itu agar saat yang punya datang, jadi kebingungan untuk mencari.

Tapi sisi hatinya yang lain justru melarangnya melakukan keisengan seperti itu. Ia memang nakal, tapi ia tak mau mengacaukan hasil keringat seorang teman. Karena itu ia hanya menggulingkan saja kedua keranjang rumput itu lantas bergegas meninggalkannya.

Kebetulan sebuah layang-layang tampak sudah putus dan melayang jatuh tak jauh dari tempatnya berada. Sambil tersenyum lebar, Adib segera mengambilnya kemudian melangkah kembali ke lapangan.

                                                       ***

 

Dengan perasaan takut-takut, Jilan dan Ega menyibak rerumputan yang menjuntai menutupi sebuah lubang tempat Panjul terperosok dan masuk ke dalam tadi. Mereka terperangah! Nyatanya yang tertutup tumbuhan menjuntai dan menyerupai bentuk hamparan tirai hijau itu kiranya adalah mulut sebuah gua yang lebar dan panjang.

Dengan memanfaatkan cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai tumbuhan yang menjuntai panjang itu, Jilan dan Ega berusaha mencari keberadaan Panjul sambil bergandengan tangan.

“Njul! Panjul! Di mana kau berada?” Suara Ega tertahan.

Sebab meski Bu Devi telah menjelaskan kalau harimau Jawa itu telah punah, tapi di dalam gua yang besar dan gelap seperti ini, bisa saja ada binatang buas lain yang menghuninya. Makanya ia takut bersuara keras agar binatang itu tak mendengar kedatangannya.

“Panjul! Di mana kau? Panjul!” Jilan juga melakukan hal yang sama.

Tak terdengar sahutan dari Panjul yang mereka panggil-panggil. Dengan langkah hati-hati mereka coba menyusuri sekitar mulut gua. Sampai akhirnya terdengar rintihan pelan dan memilukan dari sudut gua sisi sebelah kanan.

“Aduuuh … oohh … oohh ….”

“Panjul, kaukah itu?” Suara Jilan tetap lirih.

“Iyaa,” sahutan Panjul juga lirih.

Sambil tetap berpegangan tangan mereka mendekati arah asal suara. Sambil terus melangkah, mata mereka tetap mewaspadai lorong gua yang panjang dan gelap. Tapi untunglah keberadaan Panjul bisa cepat mereka temukan. Sehingga mereka bisa merasa sedikit lega.

“Bagaimana keadaanmu, Panjul? Kau nggak apa-apa kan?” Cemas Jilan bertanya saat mendapati Panjul terduduk di lantai gua dengan kondisi sedikit lemah.

“Katakan apamu yang sakit Panjul, biar aku periksa.” Ega tampak sama cemasnya.

Panjul tersenyum sambil meringis kesakitan. Padahal di dalam gua yang gelap itu tentu saja Jilan dan Ega tidak dapat melihat senyumnya.

“Aku gak apa-apa, kok. Cuma sedikit terkilir lenganku.” Jawaban Panjul membuat lega kedua temannya.

“Syukurlah, kalau begitu ayo aku bantu kau berdiri agar kita bisa segera meninggalkan tempat menakutkan ini,” Ega berkata seraya mengulurkan tangan guna membantu Panjul bangkit dari duduknya.

Tapi ya ampuuun, Panjul justru menolak bantuannya.

“Tidak usah, aku masih bisa berdiri sendiri kok. Dan sebaiknya kita tidak perlu tergesa-gesa meninggalkan tempat ini.”

“Kenapa begitu?” Jilan dan Ega bertanya heran.

“Tadi begitu aku jatuh ke dalam gua ini, ada seseorang yang mencoba mencariku. Orang itu muncul dari dalam gua sana. Dan kedengarannya dia tidak sendirian. Jadi kita harus menyelidiki siapa sesungguhnya orang-orang mencurigakan ini,” kata Panjul yang nampaknya mulai bangkit semangat berpetualangnya.

“Tapi aku takut,” ujar Jilan sambil celingukan.

“Gak perlu takut, kan ada aku dan Ega,” sahut Panjul coba meyakinkan Jilan.

Sesaat Jilan terdiam. Rasa takut dan kekawatiran jelas terpancar di kedua bola matanya yang bulat bening. Ega berusaha meyakinkan Jilan dengan menepuk-nepuk pundaknya.

“Kita kompak, kita bisa! Percayalah!” Ega memberi semangat untuk Jilan.

“Baiklah, aku percaya pada kalian,” sahut Jilan setelah agak lama terdiam.

“Nah, begitu dong,” seru Panjul dan Ega berbarengan.

Sebelum melangkah, untuk beberapa saat mereka memperhatikan keadaan sekitarnya. Setelah dirasa cukup aman, mereka pun mulai bersiap-siap berpetualang.

 

 

Bersambung …

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar