ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 8)

TERPEROSOK

 

 

Sebelum semut rang-rang menyebar, Ega segera memungut dan melempar jauh-jauh ranting yang ada sarang semut rang rang itu. Ia tak mau usaha untuk mendapatkan layang-layang terganggu karena adanya sarang semut rang-rang.

Sementara itu di atas pohon, Panjul kembali memposisikan dirinya pada cabang yang terdekat dengan layang-layang tersangkut itu. Tanpa memerdulikan sisa-sisa semut rang-rang yang masih berkeliaran, ia berpegang erat-erat ke salah satu cabang yang berukuran cukup besar. Hampir sebesar betisnya.

Panjul tersenyum. Usahanya tak sia-sia. Dalam sekali sontekan, ujung galahnya yang berbentuk ketapel sudah berhasil menjangkau tali goci layang-layang itu. Panjul segera memutar-mutarnya agar tali yang terkait semakin erat.

Panjul yakin dalam posisi seperti itu, sekali sentak maka layang-layang itu pasti bakal terlepas dari pucuk pohon cengkeh.

“Jilan! Ega! Kalian siap?” teriak Panjul memberi aba-aba.

“Ya, saya siap!” sahut Jilan mantap.

“Saya juga siap!” Suara Ega terdengar bersemangat.

Dari tempatnya berada, Panjul melihat kedua temannya sedang mencari posisi yang tepat di bawah pohon cengkeh itu untuk menangkap layang-layang, seandainya nanti terlepas dari kaitan galahnya Panjul dan melayang jatuh.

“Satu, dua, tiga!”

Setelah menghitung sampai tiga, tangan Panjul segera menyentakkan galahnya dengan gerakan cepat.

Hap!

Benang panjang yang melilit di ranting-ranting pohon cengkeh itu seketika putus. Akibat kekuatan gerakannya beberapa daun cengkeh rontok dan melayang ke bawah.

Panjul tersenyum. Keinginannya untuk mendapatkan layang-layang yang didamba sudah hampir kesampaian. Tinggal sedikit usaha lagi, keinginan itu akan terwujud. Panjul semakin bersemangat mengarahkan ujung galahnya ke layang-layang tersebut.

Namun, angin yang masih bertiup agak kencang membuat dirinya ikut bergoyang-goyang. Sehingga untuk menjangkau layang-layang yang seharusnya merupakan hal mudah, nyatanya menjadi suatu kesulitan.

Pucuk pohon yang terombang-ambing oleh angin, membuat ujung galahnya belum juga berhasil mengait salah satu bagian dari layang-layang itu.

“Ke kanan sedikit, Panjul!” teriak Ega memberi arahan.

“Iya,” sahut Panjul sambil berusaha mengikuti arahan dari Ega.

Ujung galah ia arahkan agak ke kanan. Sayang, pada saat bersamaan angin justru bertiup ke kiri. Tak urung ujung galahnya hanya menemukan udara kosong.

“Ke kiri, Panjul! Ke kiri!” Kali ini Jilan yang memberi aba-aba.

“Iya, aku tahu!” sahut Panjul pula.

Panjul pun memindah galah ke tangan kirinya. Kembali ia dorong-dorong galah itu ke atas. Tetapi beberapa kali usahanya itu tak membuahkan hasil. Angin yang terus mengombang-ambingkan pucuk daun membuatnya kesulitan menjangkau layang-layang.

Namun, Panjul tak mau menyerah. Terus saja ia berusaha menjangkau layang-layang itu dengan galahnya. Meski berulang kali gagal, ia terus mencobanya lagi. Tepat ketika embusan angin agak mereda, dengan sigap Panjul mengarahkan ujung galahnya ke layang-layang itu.

Sekali sentak, ujung galahnya berhasil menjangkau layang-layang itu. Sejenak ia putar-putar galah itu supaya tali yang terkait ke ujung galah semakin membelit dengan kuat.

“Ah, akhirnya layang-layang ini akan jadi milikku juga,” gumam Panjul sumringah. Tak dihiraukannya lagi cucuran keringat yang mulai membasahi tubuhnya.

Kini layang-layang itu sudah sepenuhnya terkait pada ujung galahnya. Panjul tinggal melemparkannya ke bawah agar diambil oleh salah seorang temannya.

“Ega! Jilan! Bersiap-siaplah kalian untuk menangkap layang-layang di ujung galah ini!” teriak Panjul penuh keyakinan.

“Aku siap, Njul! Turunkan cepat!” sahut Ega.

“Aku juga siap dari tadi!” teriak Jilan tak mau kalah.

Sejenak Panjul mengatur napas. Dengan hati-hati dan pelan-pelan ia mulai menurunkan ujung galahnya. Egad an Jilan pun bergerak serentak mendekati arah turunnya ujung galah.

Tapi naas, sebelum Panjul sempat melemparkan galah itu ke bawah, tiba-tiba dahan yang menyangga tubuhnya dan ia pakai sebagai tempat berpijak itu patah.

Kreekk!

Tak sempat lagi Panjul menghindar atau berpindah ke dahan lain yang terdekat, tahu-tahu dahan itu sudah melayang bersamaan dengan tubuhnya. Dan karena letak pohon itu memang berada di tempat yang tingkat kemiringannya rada tajam, maka tak ayal tubuh Panjul pun terlempar dengan kejam. Hanya berteriak lantang yang bisa Panjul lakukan.

“Aaaakhh!”

“Panjuuul!” pekik Jilan dan Ega pias.

Bruukk! Teriakan Panjul baru terhenti ketika tubuhnya membentur dinding tebing yang tertutup rapat oleh aneka tumbuhan yang menjulur ke bawah. Dua kali tubuh Panjul terpental untuk kemudian terperosok ke dalam sebuah lubang.

Jilan dan Ega sampai menjerit tertahan. Mereka tak lagi menghiraukan kemana jatuhnya layang-layang yang tadi mereka kejar. Pandangan mereka kini tertuju ke lobang besar tempat Panjul terperosok dan masuk ke dalam.

Sejenak Ega dan Jilan terpana dan kaget. Mereka saling pandang dengan wajah cemas. Mereka takut kalau Panjul sampai kenapa-kenapa. Melihat Panjul yang mengerang kesakitan di bawah lereng bukit membuat kedua temannya itu semakin merasa cemas.

“Jilan, cepat kau ambil tali yang ada di keranjang rumput milik Panjul. Kita perlu pegangan untuk bisa menuruni lereng bukit yang terjal ini!” perintah Ega jelas kelihatan cemas.

“Baik.” Jilan menjawab singkat.

Dengan langkah tergesa Jilan kembali ke tempat keranjang rumput di bagian lain dari bukit tempat mereka berada saat ini. Rasa cemas terhadap keselamatan Panjul, membuat Jilan seolah memiliki tenaga berlipat ganda. Lelahnya seketika hilang. Ia melangkah lebih cepat dari saat mendaki tadi.

Sampai di tempat keranjang milik Panjul dan Ega berada, Jilan segera pula mencari tali tampar yang dimaksudkan oleh Ega. Tetapi Jilan harus mendengus kecewa. Sudah tiga kali ia memeriksa kedua keranjang di hadapannya secara menyeluruh, tali tampar yang ia cari belum juga diketemukannya.

Bahkan ia sampai mengeluarkan sebagian rumput dari dalam kedua keranjang itu. Siapa tahu tali tampar itu tertimbun rumput. Akan tetapi tetap saja tali itu tak ia ketemukan. Lantas ia pun mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya berada. Diamatinya dengan cermat setiap bawah pohon tempat mereka tadi sempat berteduh.

Namun, masih saja tali tampar itu tak ia ketemukannya juga. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya rerumputan serta daun-daun kering yang berserakan. Kondisi yang semakin membuat Jilan dikecam kekawatiran atas keselamatan Panjul.

Tak mau upayanya sia-sia, Jilan pun mulai melangkah berkeliling tempat itu. Ia menajamkan pandangan agar tali tampar yang dicarinya itu ketemu. Namun, hingga dua kali ia berkeliling, tetap saja ia tak menemukan apa yang ia cari.

“Di mana sih sebenarnya Panjul dan Ega meletakkan tali-tali mereka?” gerutu Jilan dengan wajah pias.

Mengingat Panjul yang sedang terperosok ke dasar lereng bukit, hati Jilan semakin gelisah. Ia tak tahu lagi bagaimana cara untuk menolong temannya itu tanpa adanya seutas tali untuk pegangan menuruni lereng bukit.

Panjul yang terperosok ke lereng bukit membuat hati Jilan merasa ikut terperosok ke dalam kekawatiran yang mendalam.

 

 

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar