Apa Itu Jipang?

Apa Itu jipang?

Nun jauh di balik rimbunan daun-daun pohon jambu, serombongan semut rangrang berbaris rapi meninggalkan sarang menuju sumber makanan. Anak-anak semut tampak sibuk melakukan hal lain. Mereka mendorong selembar daun jambu yang dijadikan gerobak untuk membawa Kakek Semut naik ke puncak tembok. Kakek Semut adalah semut tertua dalam koloni semut rangrang itu.

Setiap minggu pagi, Kakek Semut gemar duduk di puncak tembok pembatas antara kebun pohon jambu tempat tinggal mereka dengan bangunan tua kosong di sebelahnya. Bangunan tua itu adalah bekas pabrik jipang.

Jipang adalah camilan manis terbuat dari beras yang digoreng hingga meletup-letup seperti popcorn kemudian diberi gula cair dan diaduk rata hingga lengket, kemudian diiris kotak menyerupai penghapus.

“Ayo… dorong lebih kuat,” teriak Ruru, cucu Kakek Semut memberi semangat pada teman-temannya. Di sebelahnya, Dudu sahabat Ruru sampai bercucuran keringat.

“Kenapa Kakek Semut hobi duduk di puncak tembok?” bisik Dudu diiringi napasnya yang tersengal-sengal. “Me… nyulit… kan… sa… ja….” gerutunya ngos-ngosan.

“Kakek sangat ingin makan jipang,” kata Ruru.

“Tapi kan pabriknya sudah lama tutup,” jawab Dudu. “Kenapa tidak makan permen saja? Hampir tiap hari kita menemukan permen.”

“Entahlah. Aku tidak tahu apa enaknya jipang. Aku belum pernah memakannya,” sahut Ruru.

Akhirnya, setelah berusaha keras, mereka berhasil mendaki tembok tinggi. Mereka sukses membawa Kakek Semut ke tongkrongan favoritnya. Setelah memastikan Kakek Semut aman di puncak tembok, barisan anak-anak semut pergi bermain.

Sementara itu, Ruru dan Dudu, duduk menemani Kakek Semut. Ruru sangat menyayangi Kakek Semut.

Kakek Semut memonyong-monyongkan hidungnya dan bertanya, “Aku tidak mencium wangi jipang. Apa hidungku tersumbat?”

Dengan penuh kesabaran Ruru menjawab pertanyaan Kakek Semut yang sudah pikun itu. “Pabrik jipang sudah tidak membuat jipang lagi, Kek.”

Kakek Semut mendengar hal itu menjadi sedih. “Dulu, pabrik jipang itu memasak banyak sekali jipang. Ada banyak remah-remah jipang di halaman belakang….” Kakek Semut menatap pabrik itu dengan murung, “Jipang itu rasanya sangat enak. Aku suka sekali.”

Ruru ingin mewujudkan keinginan Kakek makan jipang, tapi dia tidak tahu harus mencari jipang di mana. Hatinya kian iba, melihat Kakek Semut menangis.

“Dulu ada anak laki-laki yang selalu memberiku jipang utuh dan besar.” Kakek Semut menerawang jauh. “Apa kabarnya bocah itu ….”

“Dia pasti seusia Kakek sekarang….” sahut Ruru.

Setiap mereka nongkrong di sini, Kakek Semut selalu mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Awalnya Ruru bosan dan kesal. Tapi lama-lama dia iba karena Kakek Semut menjadi seperti itu karena usianya sudah sangat lanjut. Sekarang, Ruru selalu menjawab pertanyaan Kakek dengan penuh kasih sayang.

“Ru…lihat Ru… ada yang datang.” Dudu mencolek-colek Ruru dengan panik.

“Aduh… bagaimana ini? Teman-teman masih bermain.” Ruru ikutan panik. Mereka khawatir mobil yang masuk ke halaman pabrik adalah mobil tukang kebun yang biasanya akan membersihkan kebun dan menyemprotkan obat anti serangga.

Ruru berusaha menenangkan diri dan melihat lebih saksama. Itu bukan tukang kebun, melainkan seorang kakek-kakek kurus memakai tongkat. Di belakang mobil kakek itu ada tiga mobil lain, tetapi berisi sekelompok pemuda berpakaian rapi. Mereka langsung masuk ke pabrik, sementara kakek itu menuju teras, berusaha keras duduk di undakan.

Kakek Bertongkat mengeluarkan bungkusan kecil berbentuk kotak. Hidung Kakek Semut berkedut-kedut, “Aku mencium aroma jipang.”

Ruru dan Dudu saling berpandangan. Tanpa pikir panjang keduanya lalu berpamitan pada Kakek Semut dan bergegas meluncur menuju jipang sambil terus bersembunyi dari pandangan Kakek Bertongkat.

Kakek Bertongkat mencuil jipang dan meletakkannya di tanah. “Kalian mau?”

Ruru dan Dudu terkejut. Tidak mengira Kakek Bertongkat melihat mereka. Demi mendapatkan jipang untuk kakeknya, Ruru memberanikan diri mendekat.

Kakek Bertongkat mencuil lagi, “Dulu aku punya teman semut. Setiap aku ikut kakekku ke pabrik, aku selalu memberi semut itu jipang dan mengobrol dengannya meskipun dia mungkin tidak mengerti apa yang kuucapkan. Entah di mana dia sekarang.”

“Dia ada di atas tembok, Kek! Dia juga menunggu Kakek!” Jeritan Ruru tentu saja tidak terdengar oleh Kakek Bertongkat.

Kakek Bertongkat mencuil jipang lagi dan meletakkannya di tanah. “Kok tidak dimakan? Ini enak lho,” katanya dengan sedih sambil mengambil satu potongan besar dari dalam saku jaket dan memakannya. “Aku memasak sendiri jipang ini.”

Ruru berteriak lagi “Ini untuk kakekku! Dia sangat ingin makan jipang!”

“Oh… mungkin kalian pemalu,” kata Kakek Bertongkat seraya menaruh sepotong jipang lagi di tanah.

Ruru dan Dudu mendekat ragu-ragu. Mereka mencoba makan jipang demi menyenangkan hati Kakek Bertongkat. Jipang itu harum seperti aroma kue tart. Ketika tangan Ruru dan Dudu mengambilnya, tangan mereka terasa lengket. Dan ketika memakannya, rasanya manis dan… enak! Pantas saja Kakek Semut merindukan makanan ini.

Kakek Bertongkat terharu melihat Ruru dan Dudu makan. “Aku senang kalian suka jipang buatanku. Anak-anak manusia banyak yang tidak mengenal jipang.”

“Mengapa? Padahal ini enak…” ucap Dudu dengan mulut penuh.

“Tidak ada lagi yang suka jipang.” Kakek bertongkat bergumam. “Pabrikku bangkrut dan aku jual. Pemiliknya yang baru, anak muda itu….” Kakek Bertongkat menunjuk seorang laki-laki muda berkemeja lengan panjang biru, “Dia akan membangun hotel.”

Kakek Bertongkat menyusutkan air mata dengan sapu tangannya lalu terhuyung-huyung bangkit berdiri, “Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi. Terima kasih telah menyukai jipang buatanku.”

Setelah Kakek Bertongkat pergi bersama rombongannya, Ruru dan Dudu memanggil teman-teman mereka guna bersama-sama menggotong jipang menuju tempat duduk Kakek Semut.

Jipang sangat besar apabila dibandingkan tubuh mungil para anak-anak semut. Ruru berusaha memotong-motong jipang, tapi sulit karena lengket. Akhirnya, Ruru memutuskan membawa jipang itu utuh-utuh.

Tembok itu terlalu curam. Ruru memanggil semut-semut dewasa. Namun, seberapa banyak pasukan dikirimkan tidak mampu mengangkat jipang. Berkali kali rombongan tergelincir kembali ke bawah.

“Kalau seluruh pasukan selalu tergelincir kembali ke bawah saat mencoba naik, bagaimana kalau….” Ruru berpikir keras. “Bagaimana kalau kita membawa Kakek Semut ke bawah, dan kita makan sama-sama di bawah?”

Koloni semut menyambut gembira ide itu. Mereka menggotong Kakek Semut menuruni tembok. Ini pekerjaan mudah sekali karena ada efek gravitasi bumi.

Setibanya di bawah, Kakek Semut langsung melahap jipang. Para semut sepakat membiarkan Kakek Semut makan bagian terbanyak, dan membagi sisanya bagi seluruh koloni. Kalau masih ada sisa lagi, mereka akan membawa ke sarang. Tentu akan lebih mudah karena jumlahnya tinggal sedikit.

Sepanjang hari itu, para semut berpesta jipang, makanan langka yang belum tentu bisa mereka nikmati lagi kelak.

#Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar