Beruang Lapar

Di pedalaman Finlandia, hiduplah pemuda bernama Mikka yang mendapat warisan dari ayahnya berupa sebidang tanah di dekat sungai. Ada sebuah jembatan di atas sungai itu, yang menghubungkan kampung Mikka dengan kampung lain. Mikka berpikir apa yang bisa ia lakukan pada tanah warisannya?

Suatu hari Mikka membangun pondok kecil di dekat sungai. Di pondok itulah Mikka berjaga dari pagi sampai sore. Setiap ada orang yang hendak melintasi jembatan, Mikka keluar dari pondok lalu segera mencegat.

“Apakah kau akan melintasi jembatan?” tanya Mikka pada seorang nenek yang berjalan menuju jembatan.

“Benar,” jawab si nenek.

“Kau harus membayar dua keping perak padaku, Nek,” kata Mikka menyodorkan tangan, meminta nenek itu untuk membayar.

“Jangan bercanda, anak muda. Jembatan ini milik umum, mengapa aku harus membayar?” tanya si nenek.

“Memang, Nek, jembatan ini milik umum. Tetapi, untuk menuju jembatan itu kau melintasi tanahku. Kau harus membayar dua keping perak padaku,” jawab Mikka.

“Aku akan lewat jalan lain saja,” kata si nenek.

“Silakan, Nek. Nenek bisa lewat jalan di sana, tetapi hati-hatilah, Nek. Di sana ada beruang lapar,” kata Mikka.

“Beruang lapar?” sahut si nenek berpikir. “Baiklah, aku akan melintasi jembatan ini saja.”

“Dua keping perak,” Mikka kembali menyodorkan tangan.

Si nenek membayar dua keping perak seraya berkata, “Semoga Tuhan menghukummu, pemuda malas!”

Mikka tertawa. Ia mendapatkan uang banyak hari itu.

Hari demi hari berlalu, makin banyak orang yang percaya omongan Mikka tentang beruang lapar. Mereka terpaksa melintasi jembatan dan harus membayar dua keping perak pada Mikka. Itu lebih baik, daripada melewati jalan lain dengan risiko bertemu beruang lapar.

Suatu hari, Mikka bergegas ke luar dari pondok ketika melihat seorang kakek berjalan menuju jembatan.

“Tunggu, Kek,” kata Mikka. “Kakek hendak melintasi jembatan?”

“Benar, anak muda. Aku akan mengunjungi cucuku di kampung sebelah,” jawab si kakek.

“Kau harus membayar dua keping perak padaku, Kek.”

“Dua keping perak? Ah, lebih baik uang itu kuberikan pada cucuku, daripada kuberikan pada pemuda malas sepertimu,” kata si kakek.

“Kalau kau tak membayar, kau tak boleh melintasi jembatan, Kek.”

“Tidak apa. Aku akan lewat jalan di sana saja, meski lebih jauh tetapi tak perlu membayar,” kata si kakek.

“Tapi di jalan sana ada beruang lapar, Kek,” sahut Mikka.

“Beruang lapar?” si kakek tampak berpikir.

“Ya, ada beruang lapar di sana, Kek.”

Si kakek tersenyum, lalu menunjukkan obor yang belum menyala pada Mikka.

“Aku akan menyalakan obor ini ketika melewati jalan di sana. Beruang takut pada api,” kata si kakek lalu pergi.

Rupanya keberanian si kakek itu kemudian diikuti orang-orang kampung itu. Mereka memilih melalui jalan lain, meski lebih jauh.

Tak ada lagi orang yang mau melintasi jembatan dan membayar dua keping perak pada Mikka. Mereka lebih memilih membawa obor dan menyalakannya ketika melewati jalan lain, dan mereka aman tanpa diganggu beruang lapar. Akibatnya, Mikka tak punya penghasilan lagi.

“Mungkin tarifku terlalu tinggi. Baiklah, akan kuturunkan tarifnya menjadi satu keping perak saja. Semoga orang-orang mau melintasi jembatan itu lagi,” begitu pikir Mikka.

Suara gemuruh di langit. Mikka menengadahkan kepala menatap langit. Tampak awan hitam bergulung-gulung.

“Sebentar lagi hujan. Lebih baik aku pulang saja. Besok, aku akan mengumumkan pada orang-orang bila tarif menyeberang jembatan itu hanya satu keping perak saja,” Mikka bergumam, lalu bergegas pulang.

Sore itu hujan sangat deras dan lama. Sungai banjir menerjang jembatan, hingga akhirnya jembatan di kampung itu pun runtuh. Keesokan harinya, Mikka sedih melihat jembatan itu telah hilang, hanyut dibawa banjir.

Mikka bergegas menuju kampung. Ia mengabarkan pada orang-orang tentang runtuhnya jembatan itu.

“Tolong, bantu aku membangun kembali jembatan itu, agar kalian bisa menyeberang bila hendak ke kampung lain,” kata Mikka pada penduduk kampung.
Tetapi tak ada penduduk kampung yang mau membantu Mikka.

“Ayo, tolonglah aku. Aku mohon,” kata Mikka pada seorang kakek yang ia temui di jalan.

“Untuk apa kami harus membangun kembali jembatan itu? Agar kami mudah bila hendak menyeberang ke kampung lain? Kami tak perlu jembatan itu, kami bisa melewati jalan lain,” kata si kakek.

“Tapi di jalan lain itu ada beruang lapar. Kalian butuh jembatan. Oh, ayolah, bantu aku membangun kembali jembatan.”

“Beruang lapar katamu?” sahut si kakek. “Beruang lapar itu tak ada. Itu hanya akal-akalanmu saja agar kami melintasi jembatan yang kau jaga dan membayar dua keping perak padamu. Tidak, kami tak mau kau tipu lagi. Kau bangun sendiri jembatan itu!” kata si kakek lalu pergi.

Mikka sedih dan malu. Tak ada penduduk kampung yang mau menyapa atau berteman dengannya lagi. Mikka pergi dari kampungnya, melangkah tak tentu arah, hingga sampailah ia di sebuah hutan.

Mikka terkejut dan wajahnya pucat, ketika di depannya muncul seekor beruang. Beruang itu memandang tajam pada Mikka. Beruang itu tampak lapar dan siap menerkam.

Mikka lari sekencang mungkin dan berteriak meminta pertolongan.

“Tolong, tolong! Ada beruang! Ada beruang lapar! Tolooooonnggg..!!!”
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Cerpen dan dongeng karyanya tersiar di Bobo, Solopos, Suara Merdeka, Tribun Timur, Analisa, dan media lainnya. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Facebook: Sulistiyo Suparno

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar