Hadiah dari Zahra

Hadiah dari Zahra

“Ibu di mana, ya?” gumam Zahra.

Malam itu angin berhembus sangat kencang sehingga masuk melalui celah-celah dinding rumah Bu Atun yang terbuat dari bambu. Zahra yang tertidur pulas, terbangun dari tidurnya. Angin kencang dan dingin menyapu wajahnya. Ibunya yang biasa tidur di sampingnya, sudah tidak ada. Lalu Zahra mencari ke luar kamar. Zahra mendapati ibunya sedang salat tahajud. Selesai salat, ibunya terkejut.

“Zahra…kenapa bangun, Nak?

“Tidak Bu, Zahra hanya kaget, kok Ibu tidak ada di tempat tidur?”

“Ya sudah sekarang Ibu temenin.”

Setelah Zahra tertidur pulas, Bu Atun pun bergegas ke sumur. Satu persatu pakaian yang ia rendam sejak sore tadi mulai ia sikat dan kucek. Kemudian, ia cepat-cepat menyalakan api untuk memasak makanan sahur. Zahra pun terbangun saat mencium bau masakan ibunya. Ia cepat-cepat pergi ke dapur.

“Wow, tempe goreng, sedap sekali baunya, Bu?” ujar Zahra.

“Iya Zahra, alhamdulillah. Kemarin Ibu dapat rezeki, jadi Zahra bisa makan pakai tempe lagi,” jawab Ibu.

“Alhamdulillah, Zahra akan selalu berdoa agar rezeki kita banyak,” ucap Zahra.

Ibu Atun tersenyum bahagia. Baginya Zahra adalah hartanya yang tak ternilai harganya dibandingkan dengan kekayaan yang ada di dunia ini. Ia sangat bersyukur karena Zahra anak yang salihah.

Selesai menyajikan makanan buat sahur di meja makan, Zahra ke kamar hendak mengajak ibunya makan sahur.

Zahra sedih ketika melihat ibunya menggosok-gosok kakinya dengan minyak serai yang dibuat ibunya sendiri. Tetapi yang membuat Zahra terpaku adalah mukena yang dikenakan ibunya tampak lusuh sekali. Jahitannya yang mulai robek dan warna yang seharusnya putih, tampak seperti kuning kecokelatan, dan kusam.

“Ya Allah, selama ini mukena yang Ibu kenakan ternyata tidak layak lagi,” keluh Zahra dalam hati.

Merasa ada yang memperhatikan, ibunya melihat ke luar kamar.

“Ada apa Nak? Kamu kelihatan sedih. Apakah makanannya sudah selesai diatur?” tanya Ibunya.

“Sudah, Bu. Masakannya sudah disiapkan di atas meja makan.”

Pagi harinya.

“O ya, bu, Zahra mau tanya, apakah mukena Ibu hanya satu saja?” tanya Zahra.

Ibunya menghela nafas,

“Mukena ini satu-satunya peninggalan dari Ayahmu. Sayang kalau tidak dipakai. Ibu tahu kalau mukena ini sudah lusuh, tapi kan masih bisa dipakai. Salat itu yang penting niatnya, dan juga bersih dari najis. Lagi pula, kalau beli yang baru pasti harganya sangat mahal. Mana ada uangnya. Kita bisa makan saja sudah alhamdulillah. Sudahlah Zahra, ini sudah siang, nanti Zahra terlambat ke sekolah.”

Sepulang sekolah, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Zahra pun berlari dan berteduh di emperan sebuah toko. Tanpa sengaja, ia melihat sebuah mukena yang dipajang di etalase. Zahra mencoba untuk masuk, tetapi takut dimarahi karena bajunya sedikit basah dan sepatunya kotor. Akan tetapi, ternyata pelayan toko di tempat ia berteduh sangat ramah.

“Ada apa, dik? Adik mau beli sesuatu? Mari ke sini, masuk saja, tidak apa-apa!” ajak pelayan toko tersebut.

“Saya hanya melihat-lihat saja, kak. Itu mukena yang di ujung sana, bagus sekali, kak. Tapi sayangnya saya tidak punya uang untuk membelinya,” jujur Zahra berterus terang pada pelayan toko.

“Oh, itu murah dik, hanya seratus ribu saja!” jawab pelayan toko itu.

Sebenarnya mukena itu bentuknya sangat sederhana dan harganya terjangkau bagi sebagian orang. Tetapi bagi Zahra, harga segitu sangatlah mahal. Apalagi penghasilan ibunya satu hari hanya sepuluh sampai lima belas ribu rupiah. Hanya cukup untuk makan saja.

Hujan pun reda, Zahra berpamitan pada pelayan toko itu. Selama di perjalanan pulang, ia terus berpikir dari mana ia bisa mendapatkan uang. Lalu ia terpikir sesuatu.

“Oh iya, ini kan musim hujan. Aku punya payung di rumah. Walaupun jelek, tetapi masih bisa dipakai. Aku pakai saja buat ojek payung,” gumamnya dalam hati.

Sambil tersenyum ia pun berlari pulang. Sampai di rumah, Zahra langsung menemu ibunya.

“Assalamu’alaikum, Zahra pulang, Bu.”

“Wa’alaikumsalam, Zahra kok lama sekali? Dari mana, Nak? Bukankah pulang sekolahnya sudah dari tadi?” tanya Ibunya.

“Zahra tadi berteduh dari hujan dulu, Bu. Oh ya, tadi saat berteduh, Zahra melihat mukena. Bagus deh, Bu. Kelihatan sederhana, tetapi harganya mahal, seratus ribu,” cerita Zahra.

”Sudahlah Zahra, tak usah kita pikirkan tentang mukena lagi. Sekarang Zahra ganti baju lalu shalat dzuhur kemudian istirahat!” ujar ibunya.

Zahra mengangguk kemudian ia pergi meninggalkan ibunya.

Esok harinya Zahra berpamitan pada ibunya untuk ke sekolah. Namun kali ini ia membawa payung. Ibunya heran dan bertanya.

“Zahra, kenapa bawa payung? Sepertinya hari ini tidak hujan?”

“Iya, Bu. Terkadang cuacanya tak tentu. Sebentar panas, lalu tiba-tiba hujan, kemudian panas lagi. Jadi, Zahra bawa payung saja, biar aman. O ya, Bu, nanti Zahra pulangnya agak telat soalnya ada pelajaran tambahan!” kata Zahra.

“Ya sudah, tapi kamu hati-hati ya, Nak,” seru Ibunya.

Zahra berangkat. Dalam hatinya Zahra merasa bersalah karena selama ini ia tidak pernah berbohong pada Ibunya.

“Maafkan Zahra, Bu, kalau Zahra berkata jujur, pasti Ibu tidak mengizinkan Zahra untuk menjadi ojek payung,” gumam Zahra dalam hati.

Pulang sekolah ternyata hujan. Zahra langsung menuju halte, tempat orang-orang menunggu angkutan. Di sana banyak orang yang juga berteduh. Ia menghampiri mereka dan mulai menawarkan payungnya. Tidak banyak yang menggunakan jasanya, tetapi ia tetap bersyukur. Zahra pun menghampiri pelayan toko kemarin.

“Kak, kalau boleh, saya mau pesan mukena yang itu. Tolong disimpan ya, kak. Nanti kalau uang saya sudah cukup, saya beli. Boleh kan, kak?” tanya Zahra.

“Oh, maaf, dik, tidak bisa. Nanti kalau Kakak simpan, pembeli yang lain tidak bisa beli,” jawab pelayan toko itu.

Hari demi hari Zahra lalui, namun uang yang Zahra kumpulkan pun belum cukup juga. Sampai suatu ketika Zahra melintas di depan toko itu, mukena yang ingin dia beli untuk ibunya sudah tidak terlihat dipajang lagi. Semua yang dipajang adalah mukena model-model terbaru.

Mukena-mukena yang terlihat mahal untuk menyambut hari raya. Dengan ragu-ragu, Zahra memasuki toko. Ia memberanikan diri bertanya pada pelayan toko di sana. Ternyata pelayan toko yang biasa ia jumpai, sedang libur. Akhirnya ia pulang dengan kecewa.

Lebaran tinggal dua hari. Zahra akhirnya memutuskan untuk memecah celengan, dan menghitung uang tabungannya. Alhamdulilah, ternyata jumlahnya sudah cukup untuk membelikan ibunya mukena. Dengan riang gembira ia pergi ke toko itu tanpa membawa payungnya. Lama ia mengamati mukena-mukena yang dipajang dalam etalase. Tetapi harganya terlampau mahal. Zahra hanya mau mukena putih sederhana.

Ia mencari mukena dengan harga yang sesuai dengan uang yang dibawanya. Zahra menengok ke sana ke mari. Semua pelayan toko sedang sibuk semua. Ia membalikan badannya hendak keluar toko. Tetapi tiba-tiba…

“Dik…!” sebuah suara memanggilnya.

“Kata teman Kakak, beberapa hari yang lalu Adik cari Kakak ya? Ada apa?” tanya pelayan toko itu.

Zahra menghela napas panjang.

“Percuma saja, kak, mukenanya sudah laku,” jawab Zahra.

“Oh, itu masalahnya,” seru pelayan toko itu.

Pelayan lalu meninggalkan Zahra yang termangu. Tak lama kemudian pelayan toko itu memanggil Zahra.

“Dik, sini, ini mukena yang dulu kamu minta simpan, kan?” seru pelayan toko itu.

Zahra pun tersenyum gembira, dan dengan riang ia menghampiri.

“Terima kasih ya, kak. Kakak baik sekali. Ini uang untuk membayarnya, kak. Ibu saya pasti senang sekali,” kata Zahra.

“Ya, dik, sama-sama. Saya bungkuskan dulu, ya. Nanti pulangnya hati-hati di jalan,” ujar pelayan toko itu sambil tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba hujan turun deras. Dengan kebingungan Zahra mencari tempat berteduh. Akhirnya dapatlah ia tempat berteduh. Namun tanpa ia sadari ternyata di depannya terdapat genangan air.

Tiba-tiba, “crat…,” air genangan itu dilewati mobil dan menyiprat ke tubuhnya, bahkan mengotori plastik bungkus mukena. Dengan cepat ia membersihkan plastik itu dari cipratan air kotor. Tetapi tanpa ia sadari, plastiknya terbuka dan mukena miliknya terjatuh ke tanah yang becek. Mukena yang tadinya putih kini menjadi kotor. Zahra sedih dan menangis. Sesampainya di rumah, Ibunya terkejut.

“Zahra, ada apa, nak? Kenapa menangis dan kenapa badanmu kotor semua? Lalu, itu…, mukena milik siapa?” tanya Ibunya bingung.

“Maafkan Zahra, Bu, selama ini Zahra bekerja ojek payung agar Zahra bisa membelikan Ibu mukena. Tapi mukena ini sekarang kotor karena jatuh di tanah yang becek,” jawab Zahra sambil menangis tersedu-sedu.

Bu Atun memeluk Zahra dengan penuh haru. Ia tak menyangka anaknya begitu perhatian kepada dirinya.

“Zahra tidak usah sedih, noda ini bisa hilang kok. Sekarang Zahra mandi dulu, setelah itu kita cuci sama-sama mukena ini,” ajak Bu Atun.

Zahra mengangguk lalu pergi menuju kamar mandi.

Hari raya pun tiba, Zahra dan Bu Atun bergegas pergi ke lapangan untuk melaksanakan salat Idulfitri. Zahra pun tersenyum puas karena mukena yang dipakai ibu sudah kembali putih bersih. Suci seperti hari raya ini.

****

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar