Kantin sekolah dipadati murid-murid yang beristirahat. Di salah satu sudutnya, duduk Gio dan Dino. Gio mengeluarkan sesuatu berbentuk persegi panjang pipih dan berwarna hitam metalik dari saku celana panjangnya.
“Nih, lihat! Keren, kan?” kata Gio bangga.
Dino terbelalak. “Ya, ampun, Gio! Kamu bawa HP ke sekolah?!”
“Sst! Jangan berisik!” Gio menempelkan telunjuk di depan mulut.
“Gimana kalau ketahuan guru? Bisa disita nanti!”
“Ya, jangan sampai, dong!”
Dino menatap ponsel Gio beberapa saat. “Jadi ini HP baru yang kamu ceritakan kemarin, ya?”
“Iya, ayahku yang membelikan,” Gio melanjutkan. “Harganya 25 juta. Kamu tahu, jumlah orang yang memiliki HP ini di Indonesia tidak sampai sepuluh orang. Aku salah satunya.”
Dino mengangguk-angguk mendengar penjelasan Gio. Ia mengamati lagi ponsel Gio. Dino jadi iri. Betapa enaknya jadi Gio bisa memiliki barang mahal dan membawanya ke mana saja. Dino ingat, ia juga pernah minta dibelikan HP oleh orang tuanya. Namun, permintaannya belum bisa dikabulkan. Dino bisa paham, kondisi keluarganya memang tidak semampu keluarga Gio.
Dering bel tanda jam istirahat berakhir membuyarkan lamunan Dino. “Eh, sudah masuk. Yuk, kita kelas!” Dino bangkit dari kursinya.
“Ayo!” Gio ikut berdiri. “Tapi kamu duluan saja, aku mau ke kamar mandi.”
“Oke! Tapi jangan lama-lama. Kamu, tahu, kan, Pak Galib tidak suka dengan siswa yang terlambat.”
Gio mengangguk. Tentu saja ia tahu kebiasaan wali kelasnya itu. Ia pun buru-buru meninggalkan Dino.
Gio menghela napas lega karena Pak Galib belum ada di ruangan ketika ia tiba di kelas. “Untung Pak Galib belum datang,” cengir Dino saat Gio sudah duduk.
“Ya, tadi aku sempat melihat beliau jalan ke arah kelas kita,” balas Gio.
“Jangan lupa matikan HP! Kalau nanti tiba-tiba berbunyi, kan, repot jadinya!” Dino mengingatkan.
Gio terperanjat dan menepuk dahinya. “Astaga, aku lupa! Tadi sewaktu mencuci tangan, aku meletakkannya di pinggir wastafel.”
“Ya ampun, Gio! Sifat pelupamu benar-benar parah. Cepat ambil sana. Sebentar lagi Pak Galib masuk!”
“Iya!”
Gio langsung melesat tanpa memedulikan tatapan heran murid-murid lainnya. Lima menit kemudian, Gio masuk kembali ke kelas. Napasnya terengah-engah.
“Din!” Gio menatap Dino panik. “HP-ku tidak ada!”
“Haaah?!” Dino berdiri dan memekik kaget. Akibatnya, semua mata murid tertuju ke arahnya dan Gio.
“Bantu aku mencarinya, Din!” Gio terlihat sudah hampir menangis.
Dino kebingungan. “Tapi bagaimana kalau…?”
“Assalamu alaikum.” Pak Galib sudah masuk dan menyapa murid-murid.
“Wa alaikum salam.” Pandangan murid-murid segera beralih dan serentak membalas salam guru mereka, kecuali Gio dan Dino.
“Gio dan Dino, kok, masih berdiri? Ayo, duduk!” perintah Pak Galib.
Gio bertambah lemas. Tertutup sudah peluangnya untuk mencari benda kesayangannya. Mau tak mau, ia harus menunggu sampai pelajaran selesai. Bagaimana jika HP itu hilang atau diambil orang, pikir anak berambut ikal itu kalut.
Sepanjang pelajaran berlangsung, Gio tidak bisa berkonsentrasi. Di sebelahnya, Dino hanya terdiam dan sesekali melirik iba kepada Gio. Waktu pun berjalan bagaikan siput bagi Gio.
Ketika pelajaran berakhir, Gio dan Dino berlari keluar dari ruangan secepat mungkin. Mereka tiba di kamar mandi dan menuju wastafel. Tempat mencuci tangan dari keramik berwarna putih itu kosong melompong.
“HP-ku benar-benar hilang, Din.” Gio tersedu. “Duh, aku harus bagaimana?”
Dino berpikir sejenak mencari jawaban. “Kita harus mencari di tempat lain.”
“Tidak mungkin!” tolak Gio. “Aku letakkan di wastafel ini, kok!”
“Ya, mau bagaimana lagi?” Dino hanya bisa mengangkat bahu.
“Bagaimana kalau ada yang mencurinya? Huaaa! Ayahku bisa marah besar nanti!” Tangisan Gio bertambah keras.
Dino hanya bisa mengangkat bahu.
***
Pak Galib tiba di kantor. Pria berperawakan besar itu menghampiri meja salah satu staf administrasi sekolah. Pemilik meja itu sedang mengetik di laptop. Kepalanya yang ditutupi jilbab ungu langsung terangkat saat melihat Pak Galib.
“Ada apa, Pak?” tanyanya ramah.
“Saya mau meminta surat penyitaan HP. Saya menemukan ini di toilet siswa putra. Waktu saya lewat di situ, terdengar HP-nya berdering.” Pak Galib mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Staf administrasi itu geleng-geleng kepala. “Punya anak-anak, ya?”
Pak Galib mengangguk. “Ya, milik salah satu siswa di kelas saya. Nanti kalau suratnya sudah jadi, saya akan memanggil anak itu.” Pak Galib tersenyum.