Saya menghela napas dalam-dalam, lalu perlahan-lahan mengembuskannya. Dia bertopang dagu dan—tanpa sadar—melirik ke arah kalender yang tergantung di sebelah papan tulis. Sebentar lagi bulan Maret akan berakhir.
Mungkin hal ini adalah perkara biasa bagi orang-orang di sekitarnya. Namun, bulan April adalah bulan yang paling ia tunggu setiap tahunnya. Bukan karena bulan April adalah bulan ulang tahunnya. Hal itu sedikit berpengaruh, tentu saja. Namun baginya, ada hal lain yang lebih istimewa di bulan ini.
Ketika di Jepang dulu, hanya di bulan-bulan ini dia turut mendengar berita pagi. Atau lebih tepatnya, dia hanya mendengar ramalan tentang waktu mekarnya bunga sakura. Penting sekali untuk mengetahui hal itu jika ingin melakukan hanami bersama teman-temannya.
Tahun ini pun Saya menunggu bulan April datang. Setidaknya, sebelum akhir Januari tiba. Saat dia mendapat kabar bahwa keluarga mereka akan pindah dari Jepang.
Saya kembali menghela napas. Namun, sebelum sempat mengeluarkannya, dia dikejutkan oleh sebuah tepukan di bahunya.
“Kamu gak jajan, Saya?” Wajah itu tersenyum ramah, tetapi Saya hanya diam. Meskipun sudah satu minggu bersekolah di Indonesia, Saya masih tetap merasa canggung. Berbicara bahasa Indonesia dengan orang lain selain ayahnya terasa aneh.
Ditambah lagi, Saya tidak bisa mengingat dengan baik nama teman-teman sekelasnya. Bahkan nama gadis ini, yang sering menyapa dirinya. Nama mereka terdengar asing di telinganya. Jangankan mengingat, menyebutkannya saja sudah sulit! Ia takut salah memanggil dan mempermalukan dirinya sendiri.
Untungnya bel segera berbunyi. Waktu istirahat sudah habis. Saya bersyukur guru pelajaran selanjutnya segera datang, sesuatu yang sangat jarang dia lakukan. Dia jadi memiliki alasan untuk tidak menjawab anak itu.
***
“Okaa-san, kapan kita pulang ke Jepang?” Saya bertanya sepulang sekolah.
Ibunya tertawa kecil. “Mau sampai kapan kamu bertanya tentang itu?”
“Habis aku ‘kan sudah janji sama Yuka-chan hanami lain. Kita bakal Otou-san bareng lagi tahun ini.”
“Oh, itu. Yah, mau bagaimana lagi. Otou kan, tiba-tiba Okaa-san diminta kembali ke kampung halamannya. Hanami, sih, bisa nanti lagi, ‘kan?”
Saya hanya bisa cemberut. Okaa-san tidak mengerti, ini tahun terakhirnya sekolah dasar. Siapa yang tahu apakah mereka masih bersama-sama nanti? Bisa saja mereka terpisah-pisah ketika sekolah menengah nanti.
Rupanya ibunya melihatnya, karena dia segera berhenti memotong kentang. Dia mengelap tangannya dengan celemek dan duduk di sebelah Saya.
“Saya-chan, okaa-san tahu semua ini tidak mudah. Okaa-san juga masih beradaptasi, kok. Tapi tidak semua perubahan itu buruk, loh.” Melihat raut muka Saya yang masih tidak senang, dia menambahkan, “Asal pohonnya masih ada, kalian bisa hanami kapan saja. Toh, bunga sakura masih akan mekar indah setiap tahun meskipun hanya untuk beberapa saat. Lagi pula, hanami tidak harus di Jepang, kan?”
Mereka berdua terdiam. Saya sebenarnya masih tidak puas. Namun, dia tahu omongannya tidak akan mengubah apa pun.
“Ngomong-ngomong, kamu sudah mengundang siapa untuk pesta ulang tahunmu nanti? Sebentar lagi, loh!”
Saya makin cemberut.
***
Awal April akhirnya tiba. Saya hanya bisa berpura-pura ceria saat menjawab teman-teman Jepangnya di grup percakapan mereka. Bahkan kue sakuramochi buatan ibunya pun gagal membangkitkan semangatnya.
Saat itu, Saya melihat notifikasi di grup kelasnya. Atas saran ibunya, beberapa hari yang lalu dia mengirim undangan ulang tahunnya ke grup itu. Buru-buru dia menutup ponsel yang sedang dia pegang. Saya sebenarnya merasa sangat malu mengirim undangan itu. Mengobrol saja tidak pernah, siapa yang mau datang?
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Alangkah terkejutnya Saya melihat hampir semua teman sekelasnya di balik pintu. Salah seorang dari mereka terlihat membawa sebuah bungkusan yang agak besar. Dia adalah gadis yang sering menyapa Saya di kelas.
“Selamat ulang tahun, Saya!” seru mereka, meskipun tidak satu suara.
“Katanya kamu kangen Jepang, ya?” gadis pembawa bungkusan itu berkata. Sambil membuka bungkusan tadi, dia kemudian menambahkan, “Ini hadiah dari kami. Cuma seadanya, sih.”
Saya melihat ke dalam kantung itu dan terkejut. Di dalamnya terdapat banyak origami bunga sakura. Tidak lama kemudian sebagian temannya sudah memanjat pohon besar di halaman rumahnya. Sebagian lain bertugas mengoper bunga kertas dari bawah. Mereka menempel-nempelkan bunga sakura kertas ke tangkai pohon itu.
Saya tertawa lepas, mungkin yang pertama sejak dia pindah ke Indonesia. Pohon sakuranya terlihat aneh dirimbuni banyak daun hijau. Bunganya juga terlihat terlalu besar. Namun, pohon itu tetap terlihat indah di matanya.
Mereka akhirnya menggelar tikar di bawah pohon itu. Semua menikmati kue mochi buatan ibu Saya dan melihat bunga sakura kertas mekar di atas sana. Ya, hanami dengan bunga origami: Saya menamainya kami-hanami.