#TALISCERPEN RESSA TAK INGIN SEKOLAH BARU

Ressa tidak terlalu menyukai lingkungan baru. Seluruh keluarganya tahu itu. Berbeda dengan Rania, adiknya, yang selalu bersemangat setiap orangtua mereka pindah tugas. Namun, Ressa tidak memiliki pilihan lain selain ikut pindah.

Hari ini, perdana Ressa masuk sekolah. Ibu hanya mengantarnya dan Rania sampai gerbang sekolah, sesuai aturan dari sekolah. Satpam sekolah memberi isyarat selamat datang, Ressa sedikit terkejut, lalu membalasnya dengan isyarat terima kasih.

“Bang, Nia duluan ya, itu teman Nia manggil,” ucap Rania yang bicara sambil menatapnya, Ressa mengganggukkan kepala. Rania memang telah masuk sekolah tiga hari lebih awal darinya, sementara Ressa memilih tidak langsung bersekolah.

“Selamat datang, Nak Ressa,” ucap seorang wanita dengan bahasa isyarat, setelah menepuk bahunya, “sudah tahu ruang kelasnya?”

Ressa menggeleng, dia belum tahu. Ressa mengamati wanita tersebut, dari seragam yang digunakan, sepertinya wanita itu seorang petugas kebersihan sekolah.

“Mari Bu Rahmi antar,” ucap wanita itu, lalu menepuk keningnya, “oh iya, ibu lupa, kepala sekolah berpesan, agar Nak Ressa menemui kepala sekolah terlebih dahulu sebelum diantar ke kelas.

Maka, Ressa mengikuti langkah Bu Rahmi menuju sebuah ruangan tertutup. Di sana, ibu kepala sekolah bercerita banyak hal tentang sekolah. Sekolah yang dipilih orangtuanya adalah sekolah inklusi, yang terbagi menjadi sekolah umum dan sekolah luar biasa. Ressa mengira dia akan dimasukkan ke bagian sekolah luar biasa, ternyata tidak. Ressa digabungkan dengan anak-anak normal. Nyali Ressa semakin ciut.

Ibu Anna, sang kepala sekolah, menanyakan kesiapan Ressa masuk kelas. Ressa menghela napas, lalu menyatakan siap. Tidak ada pilihan lain, bukan?

Ressa telah berdiri di depan kelas, Bu Anna kembali ke ruangannya, meninggalkan Ressa dalam pengawasan Bu Sisi, wali kelas lima. Bu Sisi memintanya memperkenalkan diri, namun tak sepatah katapun keluar dari mulut Ressa. Dia terlalu takut berada di lingkungan baru, khawatir teman-teman barunya tidak suka punya teman tuli lalu malah membuli.

“Anak-anak, teman baru kita namanya Ressa, ucapkan selamat datang pada Ressa, ya,” ucap Bu Sisi, setelah bermenit-menit kelas hening.

“Selamat datang Ressa, semoga kamu senang berteman dengan kami, ya!” ucap anak-anak kelas lima, dengan bahasa isyarat. Ressa menatap tak percaya, dia menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Perkenalkan namaku Adit,” ucap seorang anak berkacamata, masih dengan bahasa isyarat.

“Hanifah.”

“Akbar.”

“Miranda.”

Satu persatu teman barunya memperkenalkan diri dengan bahasa isyarat. Ressa menatap takjub ke arah mereka. Dia merasa diterima.

“Hai teman-teman, terima kasih atas sambutannya. Namaku Ressa, apakah teman-teman juga tuli seperti aku?” tanya Ressa dengan bahasa isyarat. Seluruh kelas tertawa.

“Tidak Ressa, kami semua bisa mendengar, tapi kami senang mempelajari bahasa isyarat,” ucap Akbar yang duduk paling depan. “Apakah kamu bisa membaca gerakan bibir?”

Ressa mengangguk, tentu dia bisa membaca gerakan bibir. Dia sebenarnya juga bisa bicara, meskipun tak sefasih orang dengar.

Ressa ditempatkan di bangku kosong di sebelah Akbar. Pelajaran pertama dimulai, Bu Sisi mengajar dengan cara menyenangkan. Selain bicara, Bu Sisi juga menerangkan pelajaran dengan menggunakan gerakan tangan. Ressa merasa dihargai.

Begitu bel istirahat berbunyi, sebuah tepukan menghampiri bahu Ressa, membuatnya memalingkan kepala ke arah belakang. Ternyata Miranda yang menepuk bahunya.

“Ressa, aku dengar, kamu jago menggambar ya? Aku juga suka menggambar, namun tidak terlalu mahir. Nanti kamu ajari aku cara menggambar yang bagus,” ucap Miranda.

Mata Ressa berbinar, mengetahui ada teman dengan hobi yang sama di kelasnya. Selama jam istirahat, mereka berbincang mengenai teknik menggambar dan gambar-gambar apa saja yang pernah mereka buat.

***

Jika saat pergi sekolah, wajah Ressa tanpa senyuman, maka saat pulang, Ressa terlihat cerita. Dia bercerita tentang teman-teman barunya sepanjang jalan pulang.

“Ressa senang saat di sekolah, tadi?” tanya Ibu sambil menatap wajahnya. Ressa menggangguk, dia teramat senang. Tak membayangkan jika teman-teman barunya akan menerimanya tanpa syarat.

“Tapi bagaimana mereka tahu, jika Ressa tuli?” Dia teringat kedatangannya di sekolah pagi tadi. Semua orang menyambutnya dengan menggunakan bahasa isyarat.

“Itu ide Rania,” ucap Ibu sambil menjawil hidung adiknya.

“Habis, Abang sih, pakai acara mogok sekolah,” ucap Rania, berpura-pura cemberut, “Gak asyik tahu berangkat sendiri, apalagi Ibu kemarin-kemarin gak sempat ngantar, jadinya Nia ditumpangkan sama Witri, teman yang manggil Nia tadi pagi.”

“Maaf ya, sayang, kemarin-kemarin Ibu masih banyak yang diurus,” ucap Ibu, “tapi kamu jadi langsung punya teman, kan? Mamanya Witri itu teman ibu saat sekolah juga, lo.”

“Tidak apa-apa, Bu, Rania malah senang. Lagipula, ide penyambutan abang itu, hasil pemikiran bersama dengan Witri,” ucap Rania mengedipkan sebelah mata. Ressa tersenyum melihatnya.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar