#TalisCerpen Roti Bulat ala Ale

Woooy! Irwaaan! Lihat, niiih!” Ale menggerakkan-gerakkan selembar kertas yang dipegangnya.

“Apah?” teriak Irwan.

Tak kunjung mendapat jawaban, Irwan berlari menghampiri sahabatnya. Ia menuruni bukit yang beraroma busuk dengan hati-hati.

“Ada apah, Le?” Irwan langsung merebut kertas yang membuat Irwan senyum-senyum sendiri.

“Makan itu, yok!” ajak Ale.

Mata dan mulut Irwan membulat. Ia memandang Ale dan gambar di kertas secara bergantian. Beberapa hari ke belakang, Ale selalu tergiur saat melihatnya. Roti bulat dengan isian keju, beberapa jenis sayuran, dan daging ayam gepeng yang dibalut tepung. Nyaaam … memang terlihat sangat lezat.

Akan tetapi, Irwan sangat tahu diri. Mereka tak pernah memiliki cukup uang untuk membelinya. Jangankan untuk roti bulat, keinginan keduanya untuk bersekolah saja selalu ditentang orang tua mereka. Biaya menjadi kendalanya.

“Heh! Malah bengong. Saya lagi ngomong sama kamu!” Ale melambaikan tangannya di depan wajah teman bermainnya yang beda suku itu.

“Susah pisan kalau kamu udah punya mau, mah. Susah, susaaah!” Irwan mengembalikan selebaran iklan roti bulat itu.

Ale terbahak-bahak.

“Saya harus jelasin gimana lagi, Le? Apa perlu saya bikinin kamu roti bulat versi Indonesia? Biar kamu enggak ngiler lagi kalau lihat gambarnya.” Irwan berdecak kesal.

Sorot mata Ale berbinar. “Ide bagus, Wan! Roti bulat versi Indonesia.” Ale manggut-manggut. “Enggak sia-sia, saya berteman sama kamu. Ayok, lah, kita bikin barengan. Kayaknya bahannya ada semua di rumah saya.” Ale menarik kaos lusuh Irwan.

“Eh, eh, eh. Main tarik aja!” protes Irwan.

Irwan terpaksa ikut ke rumah Ale. Padahal, ia hanya asal bicara. Roti bulat versi Indonesia? Bagaimana wujudnya? Ah, Ale … seperti ibu hamil lagi ngidam saja. Kalau sudah punya keinginan, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya.

Beberapa menit kemudian, kedua anak laki-laki berusia sebelas tahun itu sampai di tujuan. Ale bergegas masuk, setelah mencuci kaki di kali kecil sebelah rumahnya. Tentu saja, Irwan mengekor di belakang Ale.

Ada dua ruangan di rumah Ale. Satu difungsikan sebagai ruangan serba guna, sedangkan satu lagi untuk kamar tidur orang tuanya. Dinding rumah Ale terbuat dari papan. Sementara atapnya menggunakan seng bekas yang sudah banyak berkarat. Lantai di semua ruangan masih beralaskan tanah.

Ale celingukan. Ia mengedarkan pandangan di ruangan serba guna. “Nah, itu dia!” celetuknya.

Ale duduk bersila, lalu mengobrak isi pada plastik-plastik hitam di hadapannya. Di dalamnya terdapat ‘harta karun’ lain daripada yang lain. Ale menyisihkan dua tomat yang sebagiannya sudah busuk. Selain itu, selada layu pun tak luput dikeluarkan.

Irwan pun menyodorkan satu ketimun utuh yang bagian luarnya tampak masih bagus. “Ini beneran mau bikin roti bulat versi Indonesia?” tanyanya sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

Ale menoleh, lalu memainkan kedua alisnya sambil tersenyum lebar. Irwan bengong sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya.

Ale terbahak-bahak lagi melihat wajah Irwan yang kebingungan. “Nah, sekarang kita masak telur dulu.” Ale beranjak, lalu melangkah ke kamar orang tuanya. “Yok!” ajak Ale sambil memamerkan satu butir telur di tangannya.

Irwan mengikuti Ale ke samping rumahnya. Walaupun ia masih tak paham, roti bulat versi Indonesia yang akan Ale ‘ciptakan’.

“Telurnya mau didadar atau diceplok?” tanya Ale setelah mempersiapkan wajan dengan sedikit minyak bekas di atas kompor minyak tanah.

Irwan mengedikkan bahunya. Ale manggut-manggut, lalu mengambil mangkuk dan sendok untuk mengocok telurnya. Tak lupa, Ale masukkan sejumput garam. Setelah minyaknya panas, Ale memasukkan telur yang sudah terkocok rata. Hingga berwarna sedikit kekuningan, Ale mematikan kompornya.

Telur dadar dengan aroma menggiurkan pun dibawa Ale ke dalam rumahnya. Setelah itu, kedua anak laki-laki itu bersama-sama memotong tomat dan ketimun.

“Trus, kamu punya roti bulatnya?” tanya Irwan.

Ale menggeleng. “Kalau pakai roti, kan, bukan versi Indonesia lagi, Wan. Kamu gimana, sih?” Ale terkikik.

Irwan nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Trus?”

Ale mengambil plastik berisi beberapa kerupuk bulat berwarna putih. “Kita pakai ini!” ucapnya riang. “Meskipun udah agak melempem dan tengik, kalau dikasih sentuhan kecap dan saos, pasti bakal enak, Wan.” Mata Ale merem – melek membayangkannya.

“Oh, gitu. Saya baru ngerti.”

Irwan pun bergegas membantu Ale membelah telur dadarnya menjadi dua bagian. Kemudian, mereka menambahkan beberapa tetes kecap manis dan saos sambal pada empat kerupuk. Setelah itu, menumpuknya dengan urutan kerupuk, selada, tomat, telur dadar, ketimun, selada, dan kerupuk.

“Uhuy … jadi, deh!” sorak Ale.

“Mantap! Roti bulat ala Ale!” Irwan menimpali.

Kedua anak pemulung itu terbahak-bahak, lalu menikmati ‘hasil karya’ dengan lahap.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar