Keseruan di Negeri Capung

Pada sore hari, Faris bermain di halaman rumahnya. Ia berlarian mengejar capung dengan sayap berwarna-warni. Meskipun bertubuh kurus, Faris sangat lincah berusaha menangkap capung-capung yang terbang ke segala arah. Selincah serangga-serangga berkepala bulat itu menghindar agar kedua pasang sayap tipis dan transparan mereka tidak cedera.

“Mau ambil jaring dulu, ah,” teriak Faris. Ia bergegas melangkah ke dalam rumah.

Nisa dan Ainun yang memperhatikan Faris dari teras pun tergoda ingin mengejar capung-capung itu.

“Yaaah … cuma ada satu jaring. Gimana, nih?” tanya Faris sambil menunjukkan jaring berwarna biru muda.

“Pakai saringan minyak juga bisa,” usul Nisa pada sang adik.

Faris berlari kembali ke dapur. Ainun menyusulnya. Mereka pun mencari saringan minyak bersama-sama. Sementara Nisa, mengendap-endap mengikuti capung yang terbang ke dalam rumah.

“Hai, ke sini! Cepat!” panggil Nisa pada kedua adiknya. “Lihat, ada capung yang hinggap di meja belajar Kakak.” Ia berlutut dengan jarak sangat dekat dengan capung tersebut.

“Tangkap, Kak,” bisik Ainun setelah berdiri di belakang Nisa.

“Jangan!” cegah Nisa. “Kakak lihat matanya dari tadi berkedip-kedip.”

“Masa, sih?” celetuk Faris dengan lantang.

“Sssttt … ngomongnya pelan-pelan. Biar capungnya enggak takut.” Nisa melirik Faris. “Perhatiin aja,” sambungnya.

Akan tetapi, kedua adiknya itu menggeleng.

“Masa kalian enggak ngeh, sih?” Nisa berdecak, lalu memperhatikan kedua mata bulat capung itu lagi.

Akhirnya,  Faris dan Ainun turut menatap capung bersayap hijau itu. Akan tetapi, tiba-tiba ketiga kakak beradik itu terpejam saat mata capung berkedip. Bagaikan orang yang terkena hipnotis. Seketika itu juga, badan mereka terasa seperti sedang melompat dari atas pohon yang sangat tinggi.

“Hai.”

Mata Nisa terbuka setelah mendengar sapaan itu. Ia terlonjak, lalu mengedarkan pandangan. Wajah tampak bingung dan memucat.

“Namaku Puca. Capung yang hinggap di dalam rumah kalian,” sapa Puca.

Mata dan mulut Nisa membulat. Ia membangunkan Faris dan Ainun yang masih tergeletak di sampingnya. Setelah membuka mata, Faris dan Ainun pun terkejut. Badan mereka gemetaran dan tak berani memandang Puca. Ketiganya pun duduk sambil saling berpelukan.

“Jangan takut. Kalian sedang berada di negeri capung. Badan kalian hanya sedang mengecil. Jadi, bukan aku yang membesar.” Puca tersenyum pada Nisa.

“Lalu?” tanya Faris memberanikan diri mencuri pandang pada Puca.

“Kami ketakutan saat kalian membawa jaring dan saringan minyak. Padahal, capung dewasa cuma bisa hidup selama empat bulan.” Puca berbalik badan, lalu mengedarkan pandangannya. “Aku dan teman-temanku sangat senang jika dapat terbang bebas.”

Nisa, Faris, dan Ainun saling bertatapan.

“Maaf, Puca. Aku dan adik-adikku cuma ingin main sama kalian,” sesal Nisa sambil berdiri, lalu menghampiri capung jantan itu.

“Iya. Maafkan aku juga, ya,” sambung Faris dan Ainun bergantian. Keduanya melepaskan pelukan.

“Ta-ta-tapi, kalian tidak akan memakan kami, kan? Aku pernah membaca kalau capung itu merupakan predator yang ganas,” tanya Ainun sambil menunduk dan memandangi rerumputan hijau di sekelilingnya.

“Hahaha. Tentu tidak,” jawab Puca dengan terpingkal-pingkal. Ia berbalik badan lagi. “Oh, iya. Kalian mau terbang bersama kami? Sebagai tanda pertemanan kita.”

Ketiga kakak beradik itu menerima tawaran Puca dengan sorakan bahagia. Puca pun memanggil teman-temannya untuk ditunggangi oleh Faris dan Ainun. Kedua capung itu bernama Cati dan Caku.

Perlahan, Nisa naik ke punggung Puca. Disusul Faris bergegas naik ke punggung Caku. Sementara Ainun, berhati-hati naik ke punggung Cati.

Setelah semua siap, para capung pun terbang secara perlahan. Nisa, Abang Faris, dan Ainun berpegangan erat pada punggung masing-masing capung yang ditunggangi. Capung-capung itu mengudara dengan lihai. Mereka berbaur bersama sekawanan capung yang sedang mencari makan. Bahkan, capung-capung itu beberapa kali menunjukkan atraksi terbang mundur.

Beberapa saat kemudian ….

“Hari mulai gelap. Kami harus kembali ke habitat,” ucap Puca kepada Nisa. Ia mendarat dengan hati-hati. Diikuti oleh Cati dan Caku.

Ketiga kakak beradik itu sangat menikmati kebersamaan bersama para capung. Ketiganya enggan menyudahi keseruan di negeri capung. Akan tetapi, Puca terpaksa menolaknya. Mereka pun berpisah. Tiba-tiba Nisa, Faris, dan Ainun merasakan sakit di kepala.

“Hoaem.” Nisa menggeliat dan tertegun sejenak. Kamarnya mulai gelap. “Bangun, bangun. Kayaknya kita ketiduran, deh.” Nisa menggoyang-goyangkan badan kedua adiknya. Kemudian, menceritakan mimpi indahnya bersama para capung.

Faris dan Ainun terkejut saat mengetahui jika mengalami mimpi yang sama. Seolah-olah keseruan di negeri capung itu bukanlah mimpi semata. Secara spontan, mereka celingukan mencari Puca.

Namun, ketiga kakak beradik itu tidak menyadari, jika di sudut lain ada seekor capung yang tersenyum mendengar obrolan mereka. Setelah matahari tenggelam di sebelah barat, Puca pun terbang menjauh.

***

Image by brgfx on Freepik

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar