Bagian #2
AKU SUKA MEMASAK
“Kalau sudah besar, Nasha mau jadi apa?”
Suara Nenek terdengar empuk dan menyenangkan. Aku bisa merasakan usapan lembut di kepala. Nenek pasti menunggu jawaban. Aku mendongak dan tersenyum lebar.
“Mau seperti Nenek, dong!”
Suaraku terdengar lantang dan riang. Mendengar jawabanku, Nenek tersenyum.
“Oh, jadi nenek-nenek, begitu?”
Perkataan Nenek membuatku tergelak. Dengan cepat, aku menggeleng. “Bukan! Nasha mau jago masak seperti Nenek. Terus punya restoran yang besar.”
Aku menjawab pertanyaan Nenek sambil merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Nenek tertawa hingga matanya menyipit. Ia mengecup kedua pipiku bergantian.
“Neng, Neng Nasha!”
Ah, aku melamun lagi, sampai-sampai panggilan Bi Inah membuatku kaget. Tiap kali berada di dapur, ingatan tentang almarhum Nenek sering sekali muncul. Mungkin karena dipicu aroma rempah bistik lidah yang sedang dimasak Bibi. Wangi bumbu rempahnya mengingatkan akan kenangan bersama Nenek.
Nenek adalah sosok pertama yang membuatku akrab dengan dapur. Setelah Nenek meninggal dua tahun yang lalu, Bi Inah yang menemani hari-hariku belajar masak dan berkreasi di dapur.
“Masih pagi udah bengong, Neng. Nanti dipatok ayam, lho.”
Bibi suka bercanda. Aku hanya membalas dengan senyum tipis. Tadi, saat kesal dengan tingkah Kak Beryl dan Kak Ayu, aku langsung lari ke dapur. Namun, setiba di dapur, ternyata Bibi sudah hampir selesai masak. Aku lalu mengusulkan membuat camilan.
“Neng Nasha mau buat kue apa?”
Aku membuka lemari tempat menyimpan bahan-bahan pembuat kue, semua bahan masih lengkap. “Kita bikin cupcake, yuk, Bi.”
Usulanku dibalas anggukan Bi Inah. Aku mulai menimbang terigu, dan menyiapkan bahan lainnya. Pertama, aku mulai memanaskan susu cair. Kemudian mulai memasukkan cokelat bubuk sedikit demi sedikit hingga tercampur rata. Selanjutnya aku memasukkan potongan cokelat batang.
Di sebelahku, Bibi mencampur mentega dan gula. Kemudian menambahkan kuning telur dan mengocoknya hingga mengembang. Ia memasukkan tepung terigu sambil terus mengaduk. Di wadah lainnya, aku mengocok putih telur hingga mengembang, lalu menambahkan gula halus dan garam. Semua proses menyiapkan adonan telah selesai. Kini saatnya mencampur adonan menjadi satu, lalu diaduk rata. Saat aku mulai menuang adonan ke cetakan cupcake, terdengar suara Bibi.
“Neng, kalau masukin adonan ke cetakan jangan penuh-penuh, cukup 2/3 saja.”
Aku mengangguk. Beruntung ada Bibi yang telaten mengajariku. Selanjutnya, aku memasukkan adonan dengan hati-hati ke dalam cetakan cupcake yang sudah dilapisi paper cake. Saat dipanggang, cupcake akan mengembang. Kalau adonan dimasukkan terlalu penuh, bisa-bisa meluber ke mana-mana.
Setelah semua adonan dituang ke cetakan dan dipanggang, selanjutnya giliran yang paling kusuka, menghias cupcake. Dimulai dari membuat frosting yang digunakan untuk melapisi bagian luar kue. Frosting dibuat dari bahan dasar krim atau mentega, teksturnya kental dan lengket, tidak akan mengeras saat kering. Rasa frosting manis karena terbuat dari campuran whip cream, susu cair, cream cheese, dan gula halus.
“Neng, ini cupcake yang sudah dingin, sudah bisa dihias.”
Bibi menyerahkan baki berisi beberapa cupcake yang telah siap untuk dihias. Aku mengambil sebuah cupcake, lalu mulai memberikan frosting warna pelangi di atasnya. Selanjutnya kutabur sprinkle. Di bagian puncak, aku letakkan cokelat berbentuk hati. Hiasan yang sederhana, tetapi membuat mata Bibi berbinar.
“Cakep, Neng. Bibi seperti melihat gambarnya Neng Nasha. Itu yang suka dicoret-coret pakai krayon warna-warni.”
Aku tersenyum, lalu melanjutkan menghias cupcake lainnya. Akhirnya selesai juga pekerjaan menghias. Di atas meja telah tersaji piring berisi cupcake-cupcake cantik. Aku baru saja selesai mencuci tangan, ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekati dapur. Sosok jangkung dengan senyum lebar menyeringai telah hadir di depanku.
“Halo, Bunny! Hidung Kakak mencium aroma kue yang lezat.”
Kakakku itu sepertinya lupa kalau tadi sudah membuatku kesal. Karena dengan santai, ia mengambil sebuah cupcake, lalu duduk, dan langsung memakannya. Sebaliknya Kak Ayu malah sibuk mengamati tampilan cupcake di atas meja.
“Wow, cantiknya! Ini Nasha semua yang buat?” Ada binar kekaguman di matanya. Aku mengangguk. Bibi yang berdiri di dekatku ikut bersuara.
“Bibi ikut bantu, Neng. Bagian tabur sprinkle,” ucap Bibi berseloroh.
Kak Ayu tertawa. “Ya, kalau Bibi nggak usah ditanya.” Ia menarik kursi, lalu duduk dan mulai mencicipi potongan cupcake.
“Eh, aku juga bantuin, lho. Bantu makan!”
Kak Beryl juga ikut bicara sambil terus mengunyah. Kak Ayu mengambil sebuah cupcake lagi, diikuti Kak Beryl. Perasaan sebal pada kedua kakakku perlahan hilang, ketika melihat mereka makan cupcake buatanku dengan lahap. Bahkan, dalam waktu sebentar, sudah tiga atau empat buah cupcake habis dimakan Kak Beryl.
“Lapar, Kak?”
Pertanyaanku dijawab Kak Beryl dengan seringai lebar. “Iya juga, sih. Pas lapar, ada cupcake. Ya sudah, daripada mubazir, makanya Kakak makan sampai habis.”
Ah, bilang saja kalau cupcake buatanku enak, Kak. Aku melirik hidangan makan siang buatan Bibi yang terhidang di meja makan. Ada bistik lidah, capcay, sambal dan kerupuk. Namun, kedua kakakku malah lebih memilih cupcake buatanku.
“Hm, cupcake-nya lembut, moist di mulut. Bunny makin pinter masak, lho!”
Sebenarnya aku suka dipuji Kak Beryl, hanya saja aku tidak mau dipanggil Bunny, memangnya aku kelinci. “Ah, Kak Beryl, kapan sih manggil namaku Nasha?”
Kak Beryl hanya mengangkat bahu. “Never! Sekali Bunny, tetap Bunny! Bunny forever!” ujar Kak Beryl cuek. Bukan jawaban itu yang mau kudengar, mukaku cemberut.
“Udah, udah! Sampai kapan kalian ribut terus masalah nama.” Kak Ayu memotong perdebatan antara aku dan Kak Beryl. Ia kemudian menatapku. “Sha, Bunny itu panggilan sayang buat kamu dari Kak Beryl. Nggak usah marah dipanggil gitu.”
Aku terdiam, mencoba memahami kata-kata Kak Ayu. Bertahun-tahun Kak Beryl selalu memanggil dengan sebutan itu, rasanya menyebalkan, tetapi sebenarnya aku tahu Kak Beryl tidak sungguhan mengejekku. Benar seperti kata Kak Ayu, Kak Beryl hanya jail dan iseng. Aku menghela napas.
Tiba-tiba saja Kak Beryl mengetuk dahiku dengan telunjuknya. “Hey, bengong! Ayo, makan, nanti sakit.” Memang Kak Beryl itu walau jail, tapi perhatian juga.
Kak Beryl dan Kak Ayu sudah lebih dulu mengambil menu makan siang. Perutku juga mulai keroncongan. Jadi, aku mulai menyendok nasi, mengambil sepotong bistik dan sedikit sayur capcay. Di meja, ada sambal dengan harum jeruk. Aku suka makanan pedas, tanpa ragu aku menyendokkan sambal ke piring.
“Besok, bikin martabak keju, dong, Sha. Aku pengin makan yang menul-menul gurih.”
Mulutku masih penuh makanan, jadi aku menjawab permintaan Kak Ayu dengan anggukan, hingga makanan di mulutku sudah berhasil ditelan.
“Hm, coba resepnya kasih ke aku, Kak. Semoga aku bisa bikin martabak menul-menul.”
“Asyiik!” Mata Kak Ayu terlihat berbinar. “Masalah resep itu gampang. Nanti Kak Ayu tinggal browsing.”
“Wah, hebat!” Kata-kata Kak Beryl membuat dahiku berkerut. “Berani mencoba itu hebat, Bunny.” Aku menatap Kak Beryl, tidak percaya pujian itu keluar kembali dari mulutnya.
“Hey, Bunny! Bengong terus.” Kak Beryl memencet hidungku. “Besok Bunny masak lagi yang enak.”
Suara itu, juga senyumnya. Ah, aku … senang sekali. Tapi, apakah aku bisa, selalu masak yang enak?