Si sulung tetap mendengarkan dengan baik. Karena penasaran, dia tiba-tiba bertanya, “apa ibunya pernah membawa Tenri ke kampung itu, Paman?”
“Sampai ibunya meninggal, Tenri tidak pernah ke sana bersama ibunya.” Saat mengucapkan itu, entah kenapa tiba-tiba suaraku berubah menjadi pelan sekali dan terdengar parau.
Karena sudah tidak kuat lagi menahan rasa ingin tahunya, si bungsu, tiba-tiba berbicara dengan suara keras, “ceritanya mana, Paman? Dari tadi kampung itu terus.”
“Ssssstttt…,” kami bersamaan mengucapkan itu, tapi terlambat. Orangtua mereka dari kamar sebelah mendengar ucapan si bungsu. Tak lama kemudian, mereka sudah berdiri di mulut pintu kamar mereka. Dan setelah menyalakan lampu, mereka memanggil-manggil keduanya. Tak ada yang menyahut. Kedua kakak-adik itu pura-pura tidur, sementara aku tiba-tiba diam sediam-diamnya agar orangtua kedua anak itu tidak menyadari keberadaanku. Melihat tidak ada yang aneh dan hanya mengira anaknya mengigau, pasangan suami istri itu meninggalkan kami. Begitu aman, aku mendengar si sulung memarahi adiknya. Di tempatku, aku tetap berdiam sambil mengucapkan nama Tenri, ibu, dan ayahnya berkali-kali. Suaraku semakin parau dan lirih. Kalau saja masih bisa menangis, mungkin sekarang aku sudah menangis sejadi-jadinya.
Kedua kakak-adik itu berhenti bertengkar, lalu hening. Mereka sudah tidur. Dan aku masih terus diam dan bersedih.
****
Pada malam berikutnya, aku menunggu dengan tenang kedua kakak-adik itu. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Akan kuceritakan semuanya tentang hidup Tenri, tentang bagaimana bukunya bisa hidup, dan tentang bagaimana orangtuanya mati. Cerita ini tidak bisa kusimpan sendiri.
Aku harus menceritakannya selagi aku masih memiliki kesempatan. Aku harus menceritakannya sebelum nenek tua menakutkan itu menemukanku.
Tapi begitu kami bertiga kembali melingkar di kamar mereka, si sulung malah tiba-tiba menanyakan pertanyaan lain yang belum sempat kuduga dan aku memang tidak pernah berniat menceritakannya.
Dia bertanya, “paman, kami mau tahu bagaimana cerita kelahiran Tenri di dunia. Bisa paman ceritakan?”
Aku terkejut karena tidak pernah menduga si sulung akan menanyakan itu, “apa itu penting?” kataku bertanya balik.
“Kalau di film-film, biasanya cerita kelahiran seorang anak selalu penting, Paman. Lagipula apa yang aneh dengan goa itu sehingga ibunya tidak mau menceritakannya? Jangan-jangan ada hubungannya dengan cerita kelahiran Tenri.”
Kekagetanku semakin bertambah karena apa yang baru saja dikatakan si sulung memang benar adanya. Rahasia kelahiran Tenri-lah yang membuat kedua orangtuanya tidak pernah mau menceritakan soal goa itu kepadanya. Bagaimana anak ini bisa memikirkannya?
Baiklah, kalau begitu, aku pun harus menceritakan rahasia ini.
Sebelum Tenri lahir, ibunya sudah enam kali mengandung, tapi apabila kandungannya sudah berumur delapan bulan, tiba-tiba saja bayi di dalam perutnya itu akan hilang. Selalu seperti itu selama enam kali kehamilannya. Kedua suami-istri itu tidak habis pikir dibuatnya. Apakah Tuhan tidak mau mempercayakan seorang anak kepada kita? Apakah ini kutukan? Apa kita sudah melakukan dosa yang besar? Apa kesalahan kita? Mereka tidak bisa memikirkan penyebabnya. Setiap kali bayi di dalam kandungan itu hilang entah kemana, mereka hanya bisa pasrah tanpa pernah tahu apa sebabnya dan tanpa pernah berencana mencaritahunya.
Sampai pada akhirnya, pada kehamilan keenam terungkaplah penyebabnya. Sehari setelah bayi keenam itu hilang, ayah Tenri berpikir keras untuk memecahkan sebabnya. Tampaknya dia pun sudah tidak bisa sabar. Keajaiban yang diharapkannya tidak akan datang apabila dia hanya diam menunggu. Maka, entah didorong oleh apa, dia berjalan-jalan sendirian ke goa yang ada di dalam hutan itu. Dia diserang rasa takut yang sangat besar begitu berada di depan goa itu. Suasananya menyeramkan sekali. Mulut goa itu besar sekali dan sangat gelap. Di kiri-kanannya banyak sekali pohon-pohon aneh, pohon-pohon yang tidak pernah dilihatnya di mana pun. Pohon-pohon itu seperti berjalan dan ranting-rantingnya seperti bergerak melambai. Belum lagi suara-suara aneh yang baru didengarnya yang entah berasal dari mana. Semua itu membuatnya takut setengah mati. Lututnya
bergetar hebat dan keringatnya tak berhenti mengucur. Dia pernah berniat menyerah dan berencana pulang saja, tapi sebagian sisi laki-laki pemberaninya yang masih tersisa menahannya untuk tetap tinggal, dan lagipula keanehan-keanehan yang dilihat, didengar, dan dirasakannya itu semakin menguatkan keyakinannya bahwa goa itu memiliki hubungan atas hilangnya bayi-bayi di dalam kandungan istrinya.
Maka dengan langkah terpaksa, dia menguatkan tekad untuk memasuki goa itu. Baru saja dia memijakkan kaki di mulut goa itu, sebuah hawa aneh dan panas tiba-tiba menyergap tubuhnya. Beberapa detik kemudian hawa itu berganti dengan angin yang cukup kencang. Sambil berlutut, dia berpegangan di dinding goa agar tak terlempar dibawa angin. Saat angin itu menghilang, teriakan- teriakan dari dalam goa menggantikannya. Sepertinya ada banyak sekali orang yang berteriak dan di antara teriakan itu, dia mendengar ada teriakan bayi. Sontak saja dia bangkit, lantas segera berlari masuk. Namun yang ditemuinya hanya gelap dan senyap. Hening tanpa suara sedikit pun. Karena tak ada penglihatan sedikit pun, kaki dan tangannya meraba-raba permukaan goa itu. Dia mencari jalan yang bisa dilaluinya. Tapi alangkah takutnya ketika kakinya menyentuh benda bulat yang entah apa. Selangkah kemudian, dia menginjak benda-benda panjang yang berserakan. Begitu seterusnya setiap kali dia melangkah. Benda bulat dan panjang bergantian diinjaknya. Dia tak bisa menghitung, tapi dia yakin sudah banyak sekali yang dilalui dan diinjaknya.
Tak lama kemudian, dia berhasil menepi ke dinding goa. Belum sempat dia berhasil mengatur dan menenangkan napasnya yang tersengal-sengal, sebuah cahaya putih dari kejauhan tiba-tiba muncul. Terang, terang sekali sehingga bisa menerangi penuh goa itu. Maka betapa terkejutnya lelaki itu tatkala dia melihat dengan jelas apa yang baru saja dilewatinya tadi. Tulang dan tengkorak. Ya, tulang dan tengkorak manusia yang jumlahnya banyak sekali. Tiba-tiba saja dia jatuh terduduk di tanah. Punggungnya bersandar lemah pada dinding goa. Dia kehilangan daya dan semangat. Dia berpikir, mungkin di tempat itulah dia akan menemui maut. Dia putus asa dan pasrah. Keringatnya semakin mengucur deras dan jantungnya berdetak lebih cepat. Tengkorak-tengkorak itu membuatnya takut tak kepalang.
Cahaya putih itu bergerak mendekatinya. Saat cahayanya tak seterang tadi, lelaki itu bisa melihat jelas apa sebenarnya yang bercahaya itu. Sesosok wanita yang sangat cantik.
“Kau kemari mencari anakmu?” tanyanya dengan suara menakutkan. “Kau siapa?” tanya lelaki itu dengan suara bergetar.
“Kalau kau mau bertemu anakmu, carilah di antara tumpukan tulang-tulang itu,” kata sosok wanita cantik itu sambil menunjuk hamparan tulang-tulang yang saling bertumpuk di tanah. Tangannya hitam dengan kuku-kuku yang sangat panjang. “Saya mengambilnya dari perut istrimu
untuk menyempurnakan ilmuku. Setelah memakan bayimu yang ke tujuh nanti, saya akan sempurna menjadi parakang. Tidak akan ada yang bisa membunuhku. Saya akan kekal selama-lamanya,” lanjutnya lagi dengan suara yang besar menggelegar dan tawa yang menakutkan. “Saya sengaja tidak memakan kalian berdua supaya saya selalu punya bayi untuk kupersembahkan kepada Sulili’. Tapi begitu bayimu yang ke tujuh sudah saya makan, segera kalian berdua akan menemui ajal. Semua manusia yang tinggal di hutan dan kampung ini harus menderita. Saya benci kalian semua,” suaranya kini menjadi semakin besar dan matanya menyala-nyala merah. Parasnya yang semula cantik kini berubah menjadi mengerikan. Matanya hitam lebam, kulitnya keriput, dan rambutnya acak-acakan. Tapi tak lama setelah itu, kecantikannya tiba-tiba kembali, dan beberapa detik kemudian wujudnya berubah lagi menjadi seekor ular.