Kisah Sepasang Kekasih Kepiting yang Terpisah

 

Oleh: Nur Auliya’ul Qodria

Terdapat suatu hal yang sederhana. Apabila raja laut selesai berpesta, maka tibalah masa di mana air laut akan surut. Hewan-hewan laut yang berada di dekat garis pantai bergegas menuju tengah laut untuk menyelam lebih dalam. Kerang-kerang mulai menggali lumpur untuk bersembunyi. Tak ketinggalan, sepasang kepiting yag telah menjadi suami istri berdiskusi.

“Telur yang ku kandung sudah akan menetas.” Ucap istri kepiting.

“Iya. Itu sudah nampak, telur-telur yang sudah turun ke bawah perutmu sudah menghitam.” Ucap suami kepiting.

“Malam ini adalah malam purnama, esok pagi laut barat akan surut, itu bagus untuk menetaskan anak-anak kita di sana.” Ucap istri kepiting.

“Baiklah, esok pagi kita menuju tepi laut barat.” Sang suami kepiting menyetujui ucapan istrinya.

Fajar telah menyingsing, air laut barat mulai menyusut sedikit demi sedikit. Beruntung ikan-ikan telah berenang ke tengah. Di tepi laut barat sana tinggal spesies kerang yang telah bersembunyi di dalam lumpur. Sesekali mereka bernafas sehingga mengeluarkan suara “tok!”. Terkadang hal itu mengundang perhatian manusia yang sedang berjalan-jalan di tepi pantai utuk mencarinya. Namun bukan kerang namanya kalau tidak pandai bersembunyi. Mereka kembali menyelam ke dalam lumpur dengan secepat kilat supaya tidak tertangkap manusia.

Kembali lagi ke sepasang kepiting. Mereka bergegas pergi ke tepi pantai untuk menetaskan anak-anaknya di sana. Di perjalanan, mereka bertemu dengan makhluk-makhluk laut lainnya seperti ikan, udang, keong, siput laut, penyu, dan juga hewan lainnya. Tapi di sini istri kepiting keheranan, di sepanjang perjalanan, mereka belum bertemu dengan kuda laut. Kemanakah mereka?

“Tumben sekali si kuda laut tidak kelihatan batang hidungnya.” Ujar istri kepiting.

“Aku juga tidak tahu, mengapa mereka tidak kelihatan sama sekali.” Jawab suami kepiting.

“Hmm, ya sudahlah. Tapi aku masih penasaran mengapa kita tidak bertemu dengan mereka.” Ucap istri kepiting.

“Mungkin, jalan yang kita lalui memang bukan jalur mereka.” Ujar suami kepiting. Sang istri merenung. Suami kepiting mendekati istrinya, ia merangkul istri kepiting dengan capitnya untuk menenangkan suasana hati istri kepiting, “sudahlah, jangan dipikirkan. Mari kita memikirkan ratusan telur kita itu,” ujar suami kepiting.

“Aku tidak memikirkan itu, tapi aku masih merasa aneh saja. Apakah akan ada sesuatu nanti?” Istri kepiting mengemukakan firasatnya.

“Percayalah, semua akan baik-baik saja,” dasar lelaki, suami kepiting kembali menenangkan istrinya padahal di hatinya juga terdapat perasaan aneh yang tidak bisa diungkapkan.

Obrolan yang cukup panjang membuat perjalanan kepiting tidak terasa, tiba-tiba mereka sudah hampir sampai di tepi laut yang airnya semakin menyurut. Di sana mereka bertemu dengan kawan lamanya, Wideng. Wideng adalah sejenis kepiting namun memiliki kepala berbentuk kotak dan memiliki cangkang yang berwarna ungu-ungu kemerahan. Sedangkan sepasang kepiting tadi berjenis senggik, senggik adalah nama yang diberikan oleh masyarakat Pulau Mengare untuk spesies kepiting laut, berbeda dengan rajungan dan kepiting bakau. Terjadilah saling sapa diantara sepasang Senggik dengan Wideng. Karena sesama teman harus saling sapa, bukan?

“Hai Senggik, tumben sekali kalian ke tepi pantai?” Tanya Wideng.

“Halo Wideng, kami ke tepi laut untuk menetaskan telur-telur kami.” Jawab suami Senggik.

“Wahh selamat ya, semoga berhasil!” Ujar Wideng.

“Terimakasih Wideng, kami pamit dulu.” Ujar sepasang Senggik.

“Sama-sama,” jawab Wideng.

Sepasang suami istri kepiting itupun melanjutkan perjalanannya ke tepi laut yang sedang surut. Akhirnya tibalah mereka di tepi laut. Mereka bersembunyi diantara bebatuan untuk menghindari manusia. Suami-istri tersebut tidak merasa aneh selama berada di tepi pantai. Mereka menikmati genangan-genangan air yang masih tersisa. Tiba-tiba istri kepiting menemukan sumber air di celah batu-batu. Di sumber air itu pula terdapat genangan air yang cukup melegakan apabila dipakai berenang untuk seekor kepiting. Istri kepiting bergegas menuju sumber air itu.

“Aku sudah memutuskan bahwa aku akan menetaskan telur-telurku ini di sana!” Ucap istri kepiting.

Suami kepiting mengikuti langkah istrinya. Sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sepasang anak perempuan berjalan menghampiri mereka. Tidak, sebenarnya kedua perempuan itu tidak ingin menghampiri kepiting, melainkan mereka sedang mencongkel cangkang kerang untuk mencari kerang hidup. Istri kepiting bersembunyi di balik batu sedangkan suami kepiting kebingungan mau bersembunyi ke mana. Akhirnya suami kepiting memutuskan untuk tetap diam di situ sambil mengambil posisi siaga kepiting. Suami kepiting berdiri sambil mengacungkan kedua capitnya ke atas, bersiap untuk mencapit apapun yang mengancam keselamatannya.

Sepertinya hari itu bukanlah hari keberuntungan sepasang kepiting. Salah satu dari dua anak perempuan itu mengetahui posisi kepiting. Bukan manusia namanya apabila tidak mempunyai akal. Yah, manusia memiliki banyak ide kreatif dalam kehidupannya. Terbesit dalam pikiran anak manusia itu bahwa kepiting tersebut apabila direbus akan menjadi makanan yang enak. Bagaimana cara menangkap kepiting itu? begitu pikir anak perempuan tersebut. Ia ingin menangkap kepiting, tetapi ia takut tangannya dicapit. Akhirnya anak perempuan itu mengambil sepotong kayu. Ia tahu bahwa capit kepiting mudah terlepas apabila ditekan. Itu merupakan salah satu bentuk perlindungan kepiting untuk dirinya sendiri. Selain menyerang musuh menggunakan capitnya, kepiting pun menggunakan capitnya untuk mengelabuhi musuh agar ia tak tertangkap dengan melepaskan capitnya ketika capitnya mendapatkan tekanan.

Anak perempuan yang paling besar itu menindih capit kepiting dengan kayu. Akhirnya capit kanan kepiting terlepas dari badannya. Giliran capit sebelah kiri, anak perempuan tersebut kembali menindih capit milik kepiting. Kasihan kepiting, ia pasti merasa kesakitan ketika capitnya terlepas. Tapi bagaimana lagi, Tuhan menciptakan kepiting sebagai makanan bagi manusia. Sesakit apapun yang dirasakan kepiting saat proses penangkapan itu, tapi begitulah kodrat kepiting yang diciptakan sebagai makanan.

Setelah kedua capit kepiting terlepas, anak perempuan itu meraih tubuh kepiting dengan tangannya. Ia kemudian memanggil saudara perempuannya yang kecil.

“Hei sini! Aku mendapatkan seekor kepiting.” Ujar kakak perempuan.

“Wah, benarkah?” Adik perempuan terkagum-kagum. Ia menghampiri kakak perempuannya.

“Iya!! Sini!!” Balas Kakak perempuan.

Di lain sisi, istri kepiting merasa sedih mengetahui suaminya telah ditangkap oleh manusia. Ia tahu bahwa suaminya pasti akan dijadikan makanan oleh manusia. Mengetahui hal tersebut, istri kepiting berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan membesarkan anak mereka sepenuh hati. Istri kepiting bertekad, kelak apabila anak-anaknya sudah mulai mengerti, ia akan mengajari mereka bagaimana cara melindungi diri sendiri karena hidup itu penuh misteri. Salah satu cara untuk bertahan hidup adalah dengan melindungi diri sendiri.

****

Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024.

#PaberLand #ForumPenulis #ForumPenulisCeritaAnak #ForumPegiatLiterasi #BacaanAnak #PenerbitBukuAnak

****

Biodata Penulis

 *Nur Auliya’ul Qodria, Mahasiswa S1 Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya (2022-Sekarang). Ia saat ini telah menempuh semester 4 di perkuliahan. Karya-karyanya yaitu novel Kaulah Takdirku, beberapa cerpen dan puisi yang dimuat di majalah sekolah.

Bisa di hubungi via:

Instagram: @liaqodria__

Gmail: anur01160@gmail.com

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar