Si Lancang (Cerita dari daerah Kampar-Riau)

Pada zaman dahulu di sebuah desa di Kampar hiduplah Si Lancang hanya berdua
dengan ibunya. Mereka berdua bekerja sebagai pencari kayu di hutan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya. Agar kehidupan lebih baik, Si Lancang berniat merantau.

“Mak, Lancang sudah capek hidup miskin, Mak. Lancang mau pergi merantau ya, Mak,” ucap Lancang suatu hari. “Lancang berjanji kelak akan menjadi orang sukses dan akan membahagiakan Emak.”

Keinginan Lancang dan diucapkan dengan sungguh-sungguh membuat Ibunya terharu. “Emak tak mungkin menolak keinginanmu yang mulia itu, Nak. Tetapi, satu hal yang emak minta … Jika kau sukses nanti, jangan lupakan Emak, ya … Dan satu lagi … segeralah pulang.”

Hati lancang membuncah penuh kebahagiaan. “Baik, Mak. Lancang tak akan lupa, Mak. Karena hanya berkat doa dan restu Emaklah yang membuat Lancang akan sukses kelak. Lancang juga berjanji akan selalu mengingat Emak dan juga mendoakan agar Emak selalu sehat, bahagia, dan panjang umur.” Senyum Lancang mengembang saat mengucapkan janji dengan sungguh-sungguh. Melihat Sang Ibu membalas senyumnya, Lancang melanjutkan, “Mak, doakan Lancang terus, ya. Kelak akan jadi orang sukses!”

Bertahun-tahun merantau, doa Sang Ibu terus dipanjatkan dan bertahun-tahun juga si Lancang terus bekerja keras, hingga kesuksesan menghampirinya. Si Lancang sukses menjadi saudagar kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang, harta benda, dan anak buah yang bekerja untuknya. Si Lancang juga memiliki istri yang berasal dari keluarga kaya. Jadi, hidup Si Lancang benar-benar Makmur dan berlimpah-limpah. Namun, ibu Si Lancang masih tetap tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.Ternyata selama ini Lancang belum pernah datang meski hanya untuk mengunjungi ibunya.

Suatu hari Si Lancang beserta seluruh anggotanya berlayar ke Andalas. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa telempong rak dan gondang oguong untuk meramaikan perjalanan.

Ketika kapal mewah Si Lancang merapat di Kampar, semua alat musik dibunyikan, kain sutra dan aneka
hiasan emas – perak digelar. Semuanya sengaja dilakukan untuk menambah kesan
kemewahan dan kekayaan Si Lancang.

Warga yang melihat kedatangan Si Lancang, bergegas menyampaikan kepada ibu Lancang. “Mak, Emak. Lancang anakmu dah datang, Mak. Dia dah jadi orang kaya, Mak!”

Dengan perasaan bahagia dan haru, merasa Si Lancang datang untuk menepati janjinya, ibu Si Lancang tergopoh-gopoh menuju dermaga. Kakinya yang sudah mulai sakit karena usia tak lagi muda, tidak ia pedulikan. Ia hanya ingin meluapkan kerinduan, menyambut kedatangan anak satu-satunya. Ibu Si Lancang hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang, dan kebaya penuh tambalan. Ia tidak memedulikan penampilan, yang penting bisa berjumpa dengan anak kesayangan.

Akan tetapi, harapan tinggalah harapan. Ketika Sang Ibu mengatakan hal sesungguhnya, tidak ada anggota Si Lancang yang memercayainya. Mereka justru mengusir Sang Ibu dengan perkataan kasar.
Ibu Si Lancang tidak mau beranjak. Ia benar-benar ingin bertemu Si Lancang. Ibu sangat rindu karena sudah berpisah sangat lama. Situasi itu menimbulkan keributan.

Mendengar kegaduhan, Si Lancang menuju geladak. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan berbaju lusuh dan terlihat sangat kotor yang diusir itu adalah ibunya … Namun, si Lancang tidak berani mengatakan kebenaran. Dia malu … Ibu Si Lancang berulang kali memanggil dan mengatakan rindu … Si Lancang tetap menahan ego dan meminta para kelasi untuk mengusirnya. “Kelasi … usir perempuan ini! Kita harus melanjutkan perjalanan!”

Ibu yang malang akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Dadanya terasa sesak karena Lancang tidak mengakuinya. Sepanjang jalan pulang Sang Ibu berdoa agar hatinya dikuatkan, dan sesampainya di rumah, ia mengambil pusaka miliknya, berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, Sang ibu memutar-mutar lesung dan mengibas-ngibaskan nyiru.
“Ya Tuhanku … Jika dia memang Lancang anakku, tolong beri dia peringatan karena sudah begitu tega mengusirku … Namun, jika dia bukan Lancang anakku, hukumlah aku, ya Tuhan ….”

Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berembus sangat dahsyat sehingga menghancurkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang. Kapal Lancang hancur berkeping-keping, harta benda miliknya pun terbang ke  mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang
terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah, sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar tak jauh di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.

Konon katanya, bahwa banjir yang selalu datang tiap tahun bukan karena curah hujan atau air sungai meluap biasa, melainkan karena tiang kapal si Lancang muncul ke permukaan. Banjir itulah mata air si Lancang akibat menyesali perbuatannya.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar