Legenda Gunung Kelud

Legenda Gunung Kelud

Alkisah ada seorang raja yang bernama Prabu Brawijaya yang memimpin kerajaan majapahit. Ia memiliki seorang putri yang bernama Dyah Ayu Pusparani. Ia dikenal sangat cantik jelita kulitnya sehalus sutra.

Karena kecantikanya tersebut, banyak pangeran yang datang ingin meminangnya. Namun, tak ada satu pun yang menjadi pilihan Dyah Ayu. Hal tersebut membuat Prabu Brawijaya merasa sedih.

“putri cantik, kamu harus segerah menikah, Nak kata sang ayahanda! Ayahanda semakin tua. Ayah ingin menyaksikan pernikahanu sebelum pergi dari dunia ini. Ayah tahu, kamu tentu ungn mempunyai sosok suami yang hebat,” ucap Prabu Brawijaya pada Putrinya.

“Ayahanda, jujur saja, Adinda ingin memiliki suwami sehebat ayahanda. Supaya kelak ia bisa melindungiku seeprti ayah menjagaku selama ini. Entah kenapa, aku tak bisa memilih mana yang paling tepat di antara para pangeran yang melamaraku, ayah, “jawab  Dyah Ayu.

Mendengar keinginan anaknya, Prabu Brawijaya merasa terharu. Ia lalu memikirkan cara agar anaknya bisa mengetahui kehebatan para pangeran yang melamarnya. Setelah berpikir keras, akhirnya Ptrabu menemukan jalan keluar.

“Anakku, bagaimana kalau Ayahanda adakan sayembara untukmu. Jadi, siapa pun yang bisa membentangkan busur Kyai Garudakayasa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima adalah pangeran hebat yang akan menjadi suaimu. Bagaimana?Kamu setuju dengan sayembara tersebut” ucap Prabu Brawijaya.

“Baiklah, ayah. Adinda menyetujui saran Ayah. Semoga dari sayembara tersebut Adinda mendapatkan suami hebat yang tepat,” jawab Dyah Ayu Pusparini.

Prabu Brawijaya menggelar sayembara tersebut karena ia yakin hanya orang hebatlah yang sanggup membentangkan busur dan mengangkat gong milik para Kyai itu.

Para pengawal kerajaan menyebar luaskan sayembara kepada seluruh penyuru dan kepada semua pangeran-pangeran di kerajaan sekitar. Sayembara terbuka untuk umum, jadi siapa  pun bisa mengikutinya.

Pada hari yang telah ditentukan para pangeran dan para pria yang ingin melamar Dyah Ayu pun berkumpul di halaman kerajaan. Prabu Brawijaya duduk di singgasananya menyaksikan para pria yang melamar anaknya.

Satu persatu pria mencoba membentangkan busur dan mengangkat gong tersebut, tapi tak ada satu pun yang berhasil. Bahkan, diantara mereka ada yang patah tangan, patah tulang pinggang, himngga jatuh tersungkur.

Mengetahui fakta tersebut membuat Prabu Brawijaya cemas, “Adinda, bagaiamna ini, belum ada satu pun pria dan pangeran hebat yang mampu melakukan syarart yang Ayah berikan,” ucap Dyah Ayu menenangkan Ayahnya. Betapa sedih hati Brawijaya, karena ternyata tak ada satu pun pria atau pangeran yang dapat membentangkan busur dan mengangkat gong itu.

Saat prabu Brawijaya hendak menutup sayembara, tiba-tiba ada salah satu pemuda berkepala lembu yang menghampirinya.

“ Ampun, Gusti Prabu! Apakah hamba diperkenankan mengikuti sayembara ini?” pinta pemuda itu.

“Hai, pemuda aneh! Siapa namamu?” tanya Prabu Brawijaya.

“Nama hamba Lembu Suro, Prabu. Saya sangat ingin mengikuti sayembara ini,” ucap pria aneh berkepala lembu itu.

Prabu Brawaijaya sebenarnya tak ingin pria aneh itu mengikuti sayembara ini. Namun, ia tak ingin oramg-orang menganggapnya tak adil. Setelah berpikir sejenak, Prabu akhirnya mengizinkan Lembu Suro mengikuti sayembara. Ia beranggapan bila Lembu Suro tak akan berhasil membentangkan busur dan mengangkat gong sakti.

“Baiklah! Kamu boleh mengikuti sayembara ini, “ ucap Prabu Brawijaya.

Ketika Lembu Suro menghampiri gong Kyai Sekardelima, semua orang yang hadir tampak tegang, terutama sang putri. Dalam hati, ia tak ingin menjadi istri pemuda berkepala lembu itu.

Tak ada yang bisa menduga, ternyata Lembu Suro berhasil mengangkat gong sakti itu hanya dengan satu tangan saja. Semua orang bersorak dan berteouk tangan. Namun, Prabu Brawiajaya dan Putrinya tampak cemas. Mereka masih berharap Lembu Suro gagal membentangkan busur Kyai Garudayaksa.

Setelah berhasil mengangkat gong, Lembu Suro lalu mengambil busur sakti milik Kyai Garudayaksa. Ia memegang busur itu dan berhenti sejenak sembari mengumpulkan tenaga. Lalu, “Bang!” teriak orag-orang.

Semua orang pun bersorak-sorai. Mereka kagum dengan kekuatan pria berkepala lembu tersebut. “Lembu Suro! Lembu Suro!” teriak oramg-orang.

Dyah Ayu Puspitasari panik. Ia tak ingin memiliki suami seperti Lembu Suro. “Ayah, Adinda tak mau punya suami berkepala lembu. Tolong Dyah, Auah!” regek Dyah Ayu pada Prabu Brawijaya.

Mendengar ucapan anaknya, Prabu Brawijaya langsung terkulai karena telah mengecewakan putrinya. Akan tetapi, ia juga harus menepati janjinya untuk menjaga martabat sebagai seorang raja. Dengan demikian, Dyah Ayu tetap harus menikah dengan Lembu Suro.

Karena tak ingin menikah dengan Lembu Suro, Dyah Ayu mengajukan permohonan yang tak mungkin bisa dikabulkan.

“Lembu, sebelum menikahiku, tolong buatkan sumur di Gunung Kelud. Namun, sumur itu harus selesai dalam waktu semalam saja,” ucap Dyah Ayu. Tanpa pikir panjang, Lembu Suro menyanggupi syarat tersebut. Saat sore tiba, ia langsung ke puncak Gunung Kelud dan menggali tanah dengan tanduknya. Dalam waktu singkat, ia berhasil menggali tanah yang cukup dalam.

Mengetahui hal tersebut. Dyah Ayu merasa panik. Ia tak menyangka bila Lembu Suro berhasil membuat sumur yang teramat dalam. Ia lalu merengek lagi pada Prabu Brawijaya, “Ayah, bagaimana ini? Apakah Adinda harus menikah dengannya?” ucap Dyah Ayu sambil menangis.

Prabu Brawijaya tak ingin membuat anaknya kecewa untuk kedua kalinya. Tanpa pikir panjang, ia meminta para pengawal istana untuk menimbun sumur dengan bebatuan yang di dalamnya masih ada Lembu Suro.

“Pengawal! Timbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan sekarang juga!” seru Prabu.

“Tapi, Tuan. Di bawah masih ada Lembu Suro,” ucap salah satu pemngawal.

“Aku tak peduli! Dia harus mati!” seru Prabu Brawijaya.

Tak satu pun pengawal yang berani membatah. Mereka pun segera melaksanakan perimntah sang raja. Lembu Suro terkejut karena tanah dan batuan jatuh menimpanya.

“Tolong!…Tolong!….Tolong! Jangan timbun aku dalam sumur ini!” teriak Lembu Suro meminta tolong.

Para pengawal tak menghiraukan teriakan pria berkepala lembu itu. Mereka tetap menimbun sumur itu dengan bebatuan dan tanah. Dalam sekejap, Lembu Suro terkubur dalam Gunung Kelud.

Sebelum akhirnya meninggal, ia teriak sangat keras sehingga terdengar dari luar, “ Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung.

Bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi, “Wahai orang-orang Kediri, suatu saat akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri akan menjadi sungai, Blitar akan menjadi daratana, dan Tulungagung menjadi daerah perairan dalam.”

Karena sumpah penuh amarah itu, warga dan raja pun ketakutkan . ia lalu memerintahkan para pengawal untuk membangun sebuah tanggul pengaman yang kokoh di sekitar Gunung Kelud. Tanggul tersebut telah menjadi Gunung Pegat.

Setiap Suro, Prabu Brawijaya juga menyelenggarakan ritual selametan yang disebut larung sejaji untuk mendoakan Lembu Suro. Karena sumah serapah tersbut, warga menyakini jika Gunung Kelud meletus, maka itu adalah amukan Lembu Suro sebagai pembalasan dendam atas perbuatan Prabu Brawijaya dan Putrinya.

“Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaperLand 2024”

 

Sumber gambar : Wikipedia

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar