Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – Part 12

Part 12 – Siapa yang Mengintai Kemah?

Matahari, Dudung, dan Ujang sudah tertidur lelap dalam kemah. Wajah Matahari tidur menghadap ke salah satu sisi kemah.

Krak! Krak!

Matahari terbangun ada suara dari luar kemah. Suara tadi tepat di depan wajahnya, seperti suara ranting kayu yang patah karena terinjak. Matahari segera membuka mata. Ia menoleh ke teman-temannya. Ujang dan Dudung masih tertidur lelap.

Tiba-tiba kemah mereka ada yang menggoyang-goyang. Sekelebat bayangan melewati dinding kemah. Matahari terkesiap.

“Lilis? Bunga?” panggil Matahari, tapi tidak ada balasan suara.

“Jang! Dung! Bangun!” bisik Matahari menguncang-guncang tubuh kedua temannya. Mereka tak bangun. Lelap sekali tidur mereka.

Matahari mencari-cari senter dari dalam ranselnya. Sayang, dia lupa di mana letaknya. Dibongkarnya semua isi tas. Cukup menguras waktu mencari senter itu. Akhirnya senter itu ketemu di belakang badan Dudung, tertutup baju.

Matahari keluar kemah sambil menggenggam senter. Dingin langsung menyergapnya. Di ucek-ucek matanya yang masih terasa berat. Ia melangkah ke kemah anak-anak perempuan.

Sekelebat bayangan melintasi pohon dekat Matahari. Matahari langsung menyenteri pohon itu, tapi bayangan itu sudah menghilang.

Krak! Krak! Krak!

Terdengar seperti ranting-ranting kayu patah karena terinjak-injak. Matahari segera menyenteri sekitarnya. Tidak ada apa-apa. Tidak ada lagi suara burung yang ramai di siang hari. Angin pun tidak. Sunyi! Hanya dingin yang menusuk kulitnya.

“Lilis, Bunga, kalian sudah tidur belum?” Matahari mengarahkan cahaya senternya kemah Lilis dan Bunga. “Lilis, Bunga!” Matahari menggocang-goncang kemah. Tak ada suara sedikit pun.

Matahari menyenteri pintu kemah Lilis dan Bunga. Mata Matahari terbelalak. Pintu kemah itu terbuka! Matahari mengecek isi kemah. Kedua anak perempuan itu tidak ada di kemahnya!

“LILIS! BUNGA!” Matahari memanggil berulang-ulang kali dengan nada keras ke arah hutan dan kolam. Namun ia hanya mendengar suaranya sendiri.

Teriakan Matahari membangunkan Ujang. “Bangun, Dung!” Ujang mengguncang-guncang badan Dudung dengan kasar.

Dudung bangun dengan wajah bingung. Ia mengucek-ucek matanya, “Ada apa, Jang?”

“LILIS! BUNGA! LILIS! BUNGA!” terdengar lagi suara Matahari memanggil-manggil Bunga dan Lilis.

Ujang segera menarik tangan Dudung keluar kemah menemui Matahari. Dudung yang masih terkantuk-kantuk hanya bisa mengikuti tarikan Ujang.

“Ada apa, Mat? Bunga dan Lilis kenapa?” tanya Ujang.

“Bunga dan Lilis tidak ada di kemahnya!”

“Ah, paling-paling mereka sedang buang air kecil, Mat!” ujar Dudung sambil menguap. “Nanti juga mereka balik.”

“Tapi aku sudah cukup lama memanggil-manggil mereka. Mereka tidak menjawab. Apa mungkin mereka sudah tidak ada di sekitar sini, tapi mereka kemana? Kalau mereka tidak balik bagaimana?” tanya Matahari.

Dudung dan Ujang diam. Mereka kini jadi ikut khawatir.

“Bunga dan Lilis tidak memberi petunjuk?” tanya Ujang.

“Tadi ada yang mengintai kemah kita,” jelas Matahari.

“Mengintai bagaimana? Mungkin itu Bunga dan Lilis,” ujar Dudung.

“Tadi saat kita tidur, aku dengar bunyi langkah-langkah kaki di sekitar kemah kita. Seperti sedang mengintai kita, bahkan kemah kita diguncang-guncang. Saat aku keluar, tidak ada siapa-siapa, tapi ada bayangan lewat sekelebat. Sepertinya mereka lebih dari satu,” ujar Matahari.

Mata Dudung terbelalak. “Monyet kali! Jang, di Tanjung Lesung ada monyet tidak?”

“Ada, sih, monyet liar.”

“Tapi ini bukan monyet. Aku yakin bukan monyet. Dia tahu aku mencarinya makanya dia pergi,” bantah Matahari.

“Duh, jangan nakut-nakutin, dong, Mat. Ujang, kan, sudah bilang pulau ini nggak ada manusia yang tinggal. Masak sekarang kamu bilang ada orang di sini. Jangan-jangan nanti kamu bilang ada hantu juga di sini. Ah, menyebalkan!” Dadang cemberut.

Ujang garuk-garuk kepala. Heran juga lihat Dudung yang berbadan paling besar ini ternyata penakut.

“Ya, sudah. Anggap saja aku tadi menggigau dalam tidur,” Matahari meringis kasihan pada Dudung yang wajahnya berubah ketakutan.

“Iya, lagian monyet juga adanya di Tanjung Lesung. Bukan di pulau ini,” tambah Ujang menghibur.

Dadang mengangguk. Walaupun masih cemberut paling tidak kini wajahnya tidak ketakutan lagi.

“Lihat! Apa itu?” seru Ujang sambil menunjuk sesuatu di depan pintu kemah anak perempuan. Sesuatu berwarna putih menyembul dari balik dedaunan kering.

Matahari segera memungut benda itu. “Sepertinya surat!” Matahari menimbang-nimbang benda menyerupai amplop putih.

“Mungkin milik Lilis dan Bunga yang terjatuh, atau sengaja dijatuhkan?” ujar Ujang.

“Hati-hati buka itu. Jangan-jangan isinya bubuk beracun,” ujar Dudung dengan wajah khawatir.

“Jangan berkhayal yang aneh-aneh gitu, dong, Dung!” jawab Matahari.

“Bukan berkhayal, hanya hati-hati saja. Ingat Lilis dan Bunga tidak ada di kemah. Siapa tahu ada yang menculik mereka,” ujar Dudung lagi.

Apakah isi surat beramplop putih tersebut itu? Siapakah pengirimnya?

(Bersambung…)

Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar