Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil – Part 8

Part 8 – Hiu yang Ganas

“Jadi mancing, nggak, Bung? Bengong saja!” Lilis mencolek pundak Bunga.

“Jadi, dong!” Bunga menyiapkan alat pancingnya.

“Kita cari ikan dulu saja. Kalau kita punya bekal banyak ikan, kita bisa bakar ikan di pantai yang kita singahi nanti,” ujar Ujang sambil mengatur mesin tempel agar terpasang sempurna di belakang perahu.

“Betul juga!” ujar Matahari, “cerdas kamu, Jang! Kerja dulu baru makan. Tidak seperti Dudung, makan terus.”

“Apa kamu bilang?” Dudung melotot.

“STOP! Jangan pada ribut. Perahu kita bisa oleng lagi. Aku tidak mau tenggelam,” seru Bunga.

Dudung cemberut. Ia terpaksa diam. Matahari senyum-senyum. Lilis memberi kode pada Matahari, menyuruhnya berhenti menjahili Dudung.

Ujang mencari-cari sesuatu. Ia meraba-raba tepi perahu bagian dalam di sekitar dia duduk.

“Cari apa, sih, Jang?” tanya Matahari.

“Dapat!” Ujang mengangkat jala ikan yang disimpan sudut dalam perahu.

“Hati-hati mancing di laut, Bunga,” Ujang menasihati.

“Kenapa?”

“Ikannya bisa dapat yang besar-besar, tenaga mereka kuat!” jawab Ujang.

“Ah, masak, sih? Hanya ikan ini tidak mungkin sekuat aku,” remeh Bunga sambil melempar pancing dengan umpan buatan mirip ikan kecil. Berkali-kali Bunga melempar pancing, tapi pancing itu jatuh tanpa tenaga. Lilis tertawa geli. Bunga juga ikut tertawa. Ternyata mancing itu ada tekniknya, bestie!

Ujang sudah menjaring banyak ikan kembung. Ikan-ikan itu sebesar telapak tangan orang dewasa. Matahari, Lilis, dan Dudung sibuk membantu Ujang melepaskan ikan-ikan dari jala. Mereka lalu mengumpulkannya ke dalam ember yang sudah ada di perahu sejak awal.

“Tolong! Tolong!” teriak Bunga panik.

Ujang sigap meraih pancing Bunga. Tarikan pancing itu terasa berat. Sepertinya umpan di alat pancing Bunga dimakan ikan laut berukuran besar.

“Ulur, Bung! Ulur! Ikannya terlalu kuat!” perintah Ujang.

Hup! Hup! Matahari ikut membantu menarik. Dudung dan Lilis menatap cemas. Perahu mulai oleng ke kiri dan ke kanan.

“Lepaskan saja! Ikan ini terlalu besar!” seru Ujang.

“Jangan! Sayang, bisa untuk makan seharian!” seru Bunga dengan suara lebih kencang.

BYUR!

Tiba-tiba ikan yang ada di ujung pancing itu melompat keluar dari permukaan air. Semua anak kaget bukan kepalang. Ikan itu besar sekali!

“LEPASKAN! LEPASKAN!” Ujang panik sambil memaksa Bunga dan Matahari melepaskan pegangannya di alat pancing.

Matahari patuh. Beda dengan Bunga, ia masih saja memegang pancingnya. Ia bahkan sampai terbungkuk-bungkuk menahan kuatnya tarikan ikan.

“LEPASKAN, BUNG!” teriak Ujang dengan marah.

“LEPASKAN, BUNG! LEPASKAN!” Lilis, Matahari, dan Dudung ikut ribut.

“Kalian kenapa, sih, jadi penakut begitu? Sayang, nih, dapat ikan sebesar itu!” ujar Bunga heran masih terbungkuk-bungkuk memegang pancing sendirian.

“Hiu, Bung! Itu hiu!” seru Ujang.

“APA?!” Bunga melepas pancingnya. Ia terpelanting ke tengah perahu. Pancingannya terjatuh masuk ke dalam laut.

“Kalian pegangan perahu erat-erat!” perintah Ujang pada keempat anak kota itu.

Ujang sigap menyalakan mesin tempel. Ia membawa perahu itu berlayar dengan kecepatan tinggi menjauhi hiu tadi. Jantung Matahari, Lilis, Dudung, dan Bunga seperti mau copot keluar dari tubuh, mereka sangat ketakutan.

Cukup jauh Ujang melarikan perahunya. Ia lalu mengurangi kecepatan perahu.

“Itu tadi benar hiu?” Bunga mengusap keringat dingin yang menempel di dahinya.

“Iya, tenaga hiu memang sangat kuat. Kita tidak akan kuat melumpuhkannya. Dia bahkan bisa menabrak perahu kayu kita ini kalau dia mau. Kita bisa tenggelam!” kata Ujang.

“Astaga!” Bunga melongo.

“Kalau tenggelam, kita sudah tidak bisa berenang, disantap hiu pula, hiyy ngeri!” Lilis bergidik.

“Makanya jangan sok bisa nangkap ikan laut. Begini, kan, jadinya. Untung kita masih bisa melarikan diri. Mending kita kemping saja!” seru Matahari.

Bunga cemberut. Lilis dan Dudung diam.

“Tapi seru, kan?” celetuk Ujang tersenyum kecil, hendak mencairkan suasana tegang.

“Enggak, ah! Lebih seru makan-makan!” ketus Dudung.

“Seru dari mana? Serem, tahu!” Lilis menyeka air matanya.

Matahari tersenyum melihat ketiga temannya masih tegang. Ujang tersenyum lihat Matahari tersenyum. Matahari tertawa melihat Ujang tersenyum. Mereka berdua tertawa geli.

Bunga, Lilis, dan Dudung jadi ikut tertawa. Ah, lega rasanya bisa lolos dari bahaya.

“Maafkan aku ya, hiu,” ujar Bunga pelan.

“Lho, kenapa?” tanya Matahari diikuti tatapan anak-anak lain ke arah Bunga.

“Pancingnya, kan, masih nyangkut dibawa hiu,” jawab Bunga.

“Iya, aku juga kasihan sama hiunya,” jawab Ujang. “Alat pancing bisa dibeli lagi, tapi kail dan alat pancing itu masih bersama hiu.”

“Terus bagaimana, dong?” Bunga sedih. Anak-anak yang lain juga baru sadar yang dikatakan Ujang dan Bunga.

“Nanti kalau pulang ke Tanjung Lesung, aku minta tolong Bapak-bapak nelayan. Semoga mereka bisa meloloskan hiu itu dari kail pancing. Ya, aku tahu aku akan dimarahi mereka karena ceroboh. Itu termasuk merusak alam, tapi tadi keadaannya darurat,” Ujang menunduk.

“Maafkan aku, ya, Ujang,” Bunga menyesal.

Ujang mengangguk, “Kita istirahat dulu, ya? Lemas, nih, habis olah raga jantung, deg-degan banget ketemu hiu!”

“Istirahat di atas perahu ini? Panas!” Lilis mengeluh.

“Kita berlabuh,” ujar Ujang.

Di manakah Ujang akan melabuhkan perahu kayunya? Apakah anak-anak kota itu setuju dengan tempat yang dipilih Ujang untuk melabuhkan perahunya?

(Bersambung…)

Misteri Monster Berbintil di Pulau Terpencil
Novel Petualangan Anak 10-12 Tahun
Penulis: Tethy Ezokanzo dan Wahyu Annisha

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar