Nasha Si Chef Bunny Bagian #13

Bagian #13

AKU TIDAK AKAN MENYERAH!

 

Di babak eliminasi, aku dan Titania mendapat tantangan membuat Chocolate Dome. Tingkat kesulitan terdapat pada proses membuat kubah cokelat. Aku harus bisa membuat kubah dengan ketebalan yang tepat, agar mudah meleleh saat dituang saus putih.

“Jadi, untuk tantangan kali ini, dibutuhkan ketelatenan dan kehati-hatian. Perhatikan pengaturan waktunya. Kalian diberi waktu selama 60 menit, dimulai dari sekarang!” Chef Arjuna mulai memberi aba-aba.

Tanpa membuang waktu, aku dan Titania lari menuju pantri untuk mengambil bahan makanan, lalu kembali ke cooking station. Selanjutnya lari menuju tempat perlengkapan masak, dan kembali lagi ke cooking station.

Masih dengan napas tersengal, aku menyiapkan bahan. Dengan cepat, aku menyalakan oven. Langsung membuat chocolate torte. Setelah adonan cokelat itu masuk ke oven. Aku mulai membuat kubah dari cokelat dengan hati-hati, jangan sampai salah membuat ketebalan kubahnya. Terakhir, aku membuat saus putih.

Saat mulai menata piring saji, aku tata potongan chocolate torte berselang seling dengan buah red berry. Saus putih masih tetap berada di panci untuk menjaga suhunya tetap panas.

Waktu memasak telah habis. Namaku yang dipanggil pertama. Segera saja, aku lari menuju kulkas untuk mengambil es krim. Selanjutnya, aku letakkan satu cup es krim vanila di atas potongan chocolate torte. Bagian atas es krim, kuletakkan chocolate dome yang telah kulepas dari cetakan. Dengan jantung berdebar, aku maju ke depan meja juri.

Chef Melinda menjadi pencicip pertama. “Kamu yakin dome-nya akan pecah?”  

Pertanyaan itu membuat keringat di tubuhku mengalir deras. Padahal ruang galeri memakai pendingin ruangan. Aku mengangguk. Mulutku terasa begitu kelu. Chef Melinda mengambil wadah saus putih, dan mulai menuangnya ke atas dome. Perutku seakan dipenuhi balon-balon yang akan meletus.

Saus putih itu meluncur jatuh ke atas chocolate dome. Lalu mengalir ke bawah, ke setiap sela yang bisa dilaluinya. Aku hanya bisa berdoa agar kubah cokelatku berhasil meleleh. Ya Allah, kupejamkan mata sejenak, mengusir rasa takut.

Good job, Nasha. Dome kamu pecah.”

 Aku membuka mata, dan melihat cokelat dome-ku meleleh. Yes, aku berhasil. Tetes bening dari mata tiba-tiba mengalir lembut. Ya Allah, terima kasih.

Giliran Titania maju ke depan meja juri. Namun, tak seperti dome-ku yang sukses meleleh, cokelat dome buatan Titania hanya retak sedikit.

“Lihat dome ini, susah sekali dipecahkan!” Dengan sendok yang dipegangnya, Chef Melinda memecahkan dome buatan Titania. Wajah anak perempuan itu terlihat pucat. Matanya penuh air. Titania kembali ke mejanya dengan berurai air mata. Perjuangannya ternyata harus berakhir di babak empat besar.

Aku dan Katrina berpelukan erat. “Kita berhasil masuk tiga besar, Nasha! Doa kita terkabul.

**

Kini, tinggal tiga orang yang tersisa di galeri Junior Chef. Aku, Tom, dan Katrina. Pagi ini kami sudah berada di galeri, bersiap menerima tantangan.

“Selamat untuk kalian bertiga. Saya tahu, perjuangan kalian panjang untuk sampai di tiga besar Junior Chef. Pesan saya, hanya orang yang mudah menyerahlah yang kalah. Artinya? Terus semangat! Berikan kami masakan terbaik kalian. Buat kami merasa bangga. Tunjukkan bahwa kalian layak berada di tiga besar. Kalian paham?” Chef berwajah galak itu menatap kami satu per satu.

Kami bertiga mengangguk. Chef Arjuna kemudian mulai menanyakan ulang motivasi kami mengikuti kompetisi Junior Chef.

“Aku ingin mengembangkan bisnis restoran almarhum Papa.” Jawaban Tom membuatku tertegun. Aku baru tahu kalau ayah Tom sudah tiada.

“Aku ikut kompetisi ini karena mau membuktikan bisa jadi koki profesional.” Katrina menjawab dengan suara lantang.

Selanjutnya aku mengatakan kalau motivasiku ikut Junior Chef untuk memberikan trofi juara dan membuat keluargaku bangga. Selain itu, aku juga memiliki janji untuk terus menjaga warisan resep dari Nenek.

Chef Arjuna mengangguk. “Apa pun motivasi kalian, pegang erat-erat, dan wujudkan!”

Di depan meja kami telah tersedia box hitam. Chef Budi mulai menerangkan tantangan selanjutnya. Kami diminta membuat hidangan dengan satu bahan dasar yang telah ditentukan.

“Kalian penasaran apa bahan dasar di dalam mystery box? Silakan buka box di depan kalian. Satu … Dua … Tiga!”

Aku, Tom dan Katrina membuka box hitam yang tersedia di depan meja kami, dan taraaa … di piring itu tersaji otak sapi segar. Warnanya putih pucat bercampur lendir kemerahan. Perutku bergolak. Hampir saja aku muntah saking jijiknya. Kututupi mulut dengan tangan. Ya Allah, aku harus menguatkan diri dengan kata-kata positif.

Nasha, kamu sudah sejauh ini. Ingat pesan Chef Arjuna tadi. Jangan menyerah!

Chef Melinda menjelaskan tentang otak sapi. “Otak sapi merupakan bahan yang familier dalam kuliner nusantara. Pengolahannya sangat beragam. Tekstur otak itu sangat lembut. Di sinilah tingkat kesulitannya, bagaimana mengolah otak sapi menjadi masakan istimewa, yang tidak amis, tetapi tidak kehilangan teksturnya.”

Aku menggigit bibir bawah, dan meremas jemari yang terasa sangat dingin. Ayo, Nasha berpikir! Otak sapi itu harus kuolah menjadi apa?

“Ingat, jangan pernah menyajikan masakan yang kalian sendiri tidak mau memakannya. Pastikan yang kalian hidangkan itu memang lezat. Kalian paham?”

“Paham, Chef!” jawab kami kompak. Chef Melinda lalu mulai memberi komando. Kami pun lari ke pantri untuk mengambil bahan-bahan makanan yang diperlukan. Waktu yang diberikan hanya 60 menit.

Bahkan sampai di pantri pun, aku belum menemukan ide masakan. Kulihat baik Tom dan Katrina dengan cepat mengambil bumbu-bumbu dan bahan yang mereka butuhkan. Ayo, Nasha, ayo cepat putuskan!

Aku memejamkan mata memutar memori ke masa silam, saat Nenek masih hidup. Aku teringat kata-kata Nenek, untuk menghilangkan amis, gunakan kekuatan bumbu rempah. Aku menemukan daun mangkokan dan asam kandis di pantri. Aku juga pernah membaca tentang gulai otak dari Minang. Asam kandis dan daun mangkokan yang dirajang halus inilah yang akan menghilangkan amis otak sapi. Saat seperti ini, aku bersyukur memiliki hobi membaca. Sangat membantu ketika dibutuhkan.

Dipacu waktu, aku terus memasak. Hingga bel berdentang, tanda waktu masak telah habis. Dengan cepat, kami mengangkat tangan ke atas.

Saat penjurian, Tom yang pertama dipanggil. Ia menghidangkan otak sapi goreng krispi, dengan nasi, tumis bayam dan sambal. Para chef cukup puas dengan hasil masakan Tom. Selanjutnya, Chef Budi memanggil namaku.

“Nasha Razeta!”

Aku menggigit bibir bawah saat satu per satu chef mencicipi gulai otak sapi buatanku. Chef Budi tersenyum. “Seperti biasa, saya selalu suka keberanianmu menggunakan rempah-rempah. Ini gulai ala minang, ya? Sangat enak, tidak terasa amis, tekstur otak tetap lembut. Good!”

Selanjutnya Chef Arjuna. “Gulai adalah salah satu hidangan favorit saya. Di sini kamu cukup berhasil membuat perpaduan otak yang gurih dan memiliki tekstur lembut dengan kuah gulai yang kental bumbu.”

Penilaian senada juga diberikan Chef Melinda. Intinya ketiganya puas dengan olahanku. Ya Allah, leganya. Aku kembali ke cooking station dengan senyum lebar.

Katrina menjadi kontestan terakhir yang dipanggil. Ia menyajikan hidangan pepes otak sapi. Sayangnya, hidangannya mendapat kritikan Chef Budi. Cita rasanya dianggap kurang memuaskan. Dengan hasil penilaian tersebut, Katrina menjadi kontestan yang pulang. Dengan tegar, Katrina menyalami semua juri. Aku menangis saat memeluknya erat.

“Jadilah juara Junior Chef, Nasha. Kamu pasti bisa. Janji?” Katrina meletakkan genggaman tangan di dadanya, yang kuikuti.

Air mataku masih saja tak bisa berhenti mengalir, mulutku terasa terkunci, tetapi aku mengangguk. Katrina tersenyum dan kedua kepalan tangan kami beradu.

 

Bagikan artikel ini:

Satu pemikiran pada “Nasha Si Chef Bunny Bagian #13”

Tinggalkan komentar