Nasha Si Chef Bunny Bagian #5

Bagian #5

CINTA DALAM KELUARGA

Dengan mengucap bismillah aku mulai membuka amplop. Jantungku berdetak cepat seperti laju kereta api. Aku sampai menahan napas saking takutnya. Lalu, mataku mulai membaca deretan huruf yang tertera di kartu. C-o-n-g-r-a-t-u-l-a-t-i-o-n!

Alhamdulillah, aku lulus!  Bulir-bulir bening mengalir di pipi. Refleks aku lari ke tempat Mama dan Kak Beryl berada. Mama memeluk erat dan menciumi kedua pipi, sedangkan Kak Beryl mengusap lembut kepalaku.

“Nah, tebakan Kakak benar. Chef Bunny bisa!”

Ya Allah, terima kasih. Satu tahap telah berhasil kulalui. Aku tahu perjalanan masih panjang. Tahap selanjutnya, seleksi 50 besar. Para kontestan harus melakukan presentasi masak di depan para juri.

Masih ada waktu sekitar dua minggu sebelum kompetisi dimulai. Waktu yang kumanfaatkan untuk berlatih. Sejak lulus seleksi, aku begitu semangat. Aku jadi ingin berteriak ke semua orang. Hey, aku bisa! Nasha akan jadi seorang chef hebat!

**

Waktu kompetisi babak 50 besar sudah makin dekat, aku malah tambah gugup. Bagaimana jika aku gagal menampilkan masakan terbaik?

Malam sebelum kompetisi, aku menghampiri Kak Beryl di kamarnya. Aku tahu, seminggu ini ia lembur mengerjakan tugas kuliah, dan suka melewatkan makan malam. Aku akan masak makanan favoritnya, cream soup plus minuman segar, lemon tea mint.

Pukul delapan, aku mulai mengantar makanan. Saat kubuka kamarnya, ya Allah, benar-benar seperti baru terkena badai tsunami! Serpihan streofoam, guntingan kertas, potongan duplex dan batang-batang kayu berhamburan di lantai. Aku jadi sulit melangkah mendekati kakakku.

“Kak Beryl, makan dulu, yuk!”

Kakakku tidak menoleh, masih serius memasang sesuatu dengan pistol lem tembak di tangannya. “Hmm,” ucapnya menggumam. Wajah Kak Beryl begitu kusut. Membuat maket dengan skala yang detail, kelihatannya benar-benar sulit.

“Ini Nasha masakin cream soup. Semoga Kakak suka.”

Kak Beryl menoleh ke arah nampan, dan tersenyum lebar. “Wah, buatan Chef Bunny nggak boleh dilewatkan.” Ia menerima mangkuk sup krim yang kusodorkan, dan mulai makan dengan lahap.

“Gimana rasanya? Pokoknya Kak Beryl harus jujur. Kalau nggak enak mesti bilang nggak enak. Biar Nasha bisa perbaiki.”

Kak Beryl menepuk pelan kepalaku. “Bawel! Bentar, dong. Kakak masih makan.”

Aku menyeringai, menyadari terlalu bersemangat hingga tidak sabar ingin mendengar respons dari kakakku. Akhirnya mangkuk itu licin tak bersisa. Kak Beryl beralih ke gelas lemon tea mint, dan meminumnya sampai habis.

“Hmm … enak!” ujarnya sambil meregangkan tubuh.

“Terus, gimana? Supnya udah mirip yang biasa Kakak beli? Kekentalan udah pas? Rasanya? Itu minumannya segar, nggak?” Saking penasarannya, aku mendesak Kak Beryl dengan mencecar pertanyaan. Hasilnya adalah … Kak Beryl mengempit kepalaku dengan ketiaknya.

“Aduh, Kak Beryl lepasin!”

Terdengar tawa dari mulut Kak Beryl.

“Udah dibilang enak. Nih, testimoninya. Kekentalan kuah cukup, rasa gurih terasa, jagungnya enak, nggak tua juga nggak terlalu muda. Potongan ayamnya pas, tekstur empuk, nggak amis. Udah cukup, kan? Oh, iya, lemon tea-nya segar, ada rasa asem manis juga pedas mint. Paduannya seimbang. Mantap!”

Aku tersenyum lega. “Nah gitu, dong. Eh, tapi, kekurangannya apa, Kak?”

“Oh, ya pasti ada, lah!”

Kak Beryl malah kembali menyelesaikan pekerjaan membuat maket. Aku mengejar jawaban.

“Apaan, Kak?” tanyaku tak sabar.

Kak Beryl menoleh. “Kurang banyak!” jawabnya sambil memencet hidungku keras-keras. Huu, Kak Beryl. Aku mengusap hidung sambil mengamati maket yang sedang dibuat Kak Beryl. Betapa rumitnya tugas mahasiswa arsitektur itu.

“Eh, Bunny ngapain masih di sini? Sana bobo, udah malam. Besok, kan presentasi!”

Aku mengangguk. “Kak, doain Nasha, ya. Biar besok bisa tampil pede.”

Kak Beryl terdiam, lalu tersenyum. “Pasti, dong. Kak Beryl yakin Bunny bakal tembus 20 besar.” Mata hitam itu menatapku lekat-lekat. “Tapi, ada syaratnya!”

Aku membalas tatapan kakakku, menunggu jawabannya. “Apa?”

Kak Beryl kembali tersenyum. “Asal Bunny yakin dengan diri sendiri, insyaAllah bisa lanjut ke babak selanjutnya. Terus, Bunny, ingat nggak, dongeng lomba lari kura-kura dan kelinci?”

Jelas aku ingat, itu dongeng kesukaanku.

“Menurut Bunny, kenapa kura-kura yang menang lomba? Bukannya kelinci lebih gesit larinya?”

Aku menjelaskan karena kelinci menyepelekan kura-kura. Kesombongan itu membuatnya kalah. Kak Beryl mengangguk, lalu menambahkan penjelasan, ada juga faktor ketekunan, kegigihan, dan kesabaran kura-kura yang menjadi penyebab kemenangan. Aku paham maksud Kak Beryl. Kalau sedang serius begini, kakakku terlihat berbeda. Pantas dulu Kak Beryl pernah menjadi ketua OSIS.

“Bunny, kamu harus ingat, walau kura-kura berjalan lambat, dan selalu diejek, kura-kura nggak jadi lemah. Dia terus berjalan hingga garis finish.”

Aku mengangguk paham. Telunjuk Kak Beryl mengetuk dahiku.

“Nah, ngapain dikit-dikit galau. Sudah saatnya Bunny percaya pada kemampuan kamu. Di sini kami semua percaya kalau Bunny bisa. Masa kamunya melempem, cem kerupuk lupa ditutup kalengnya.”

Kak Beryl tertawa, lalu tiba-tiba mengibaskan tangan, memintaku keluar. “Ya udah, sana bobo. Kakak mau selesaiin tugas.”

Ya Allah, kakakku ini. Aku bangkit darin duduk. Langsung merapikan mangkuk dan gelas, membawanya ke luar kamar. Baru saja aku hendak menutup pintu, terdengar suara.

“Bunny, Kakak selalu percaya kamu pasti bisa jadi chef yang hebat!” Kak Beryl tersenyum. Hatiku kembali terasa hangat.

Di kamar, aku tidak bisa memejamkan mata. Bayangan akan audisi 50 besar terus menari-nari di kepala. Besok, aku akan menghadapi 49 anak dari seluruh pelosok nusantara. Bisakah aku bertahan?

Bagikan artikel ini:

2 pemikiran pada “Nasha Si Chef Bunny Bagian #5”

Tinggalkan komentar