Bagian #7
WELCOME, CHEF BUNNY!
Presentasi signature dish pun tiba. Satu per satu peserta mulai dipanggil namanya. Aku menunggu giliran di luar galeri dengan cemas. Saat menunggu begini, rasanya begitu lama. Pikiranku jadi penuh oleh bayangan di dalam galeri. Aku jadi menebak-nebak pertanyaan apa yang nanti diajukan juri.
“Nasha Razeta!”
Aku tersentak ketika namaku dipanggil. Lalu aku mulai menarik-embuskan napas, dan mendorong troli memasuki ruang presentasi. Di dalam ruangan, sudah duduk tiga orang juri. Chef Arjuna yang tegas dan suka bicara ceplas-ceplos. Ada Chef Melinda yang keibuan dan feminin. Terakhir, Chef Budi yang pembawaannya kalem.
“Halo, Chef Arjuna, Chef Budi dan Chef Melinda,” ucapku menyapa para juri. “Saya, Nasha Razeta, dari Jakarta. Usia 12 tahun. Signature dish saya adalah opor ayam.”
Aku mulai menghangatkan masakan. Opor ayam akan lebih enak dicicipi dalam keadaan panas. Selanjutnya, aku menata potongan ayam ke dalam mangkuk saji. Kuhias dengan memberi potongan tomat dan sedikit taburan daun peterseli.
Chef Budi yang menjadi penanya pertama. “Saya sebenarnya penasaran dengan alasan kamu memilih opor ayam sebagai signature dish, padahal peserta lain rata-rata memilih menyajikan masakan barat yang kekinian. Mengapa kamu memasak menu rumahan yang sangat biasa, apa istimewanya opor ini?”
Aku tahu pertanyaan ini pasti akan keluar. Saat memikirkan masakan apa yang mencirikan aku, yang bisa jadi masakan unggulan, yang terbayang hanya opor ayam. Masakan yang paling sering kubuat di rumah.
“Baik, Chef. Opor ayam ini hidangan favorit di keluarga saya. Saya memilihnya sebagai signature dish karena ingin menjaga resep masakan yang diwariskan Nenek. Saya yakin masakan rumahan nggak kalah menarik dari masakan luar negeri.”
Chef Budi tersenyum. Mata itu menatap teduh. “Menarik sekali, saya suka jawaban kamu. Tapi, ini sebuah kompetisi, Nasha akan bersaing dengan 49 kontestan lain. Apa Nasha yakin opor ini bisa membuat kamu masuk 20 besar?”
Aku menelan ludah, merasakan perut yang mulas. “Iya, Chef, insyaAllah yakin.”
Chef Budi mengacungkan jempol. Selanjutnya, giliran Chef Arjuna dan Chef Melinda yang bertanya. Satu per satu pertanyaan berhasil kujawab.
“Baik, waktu presentasi sudah habis.” Chef Melinda tersenyum. “Saya yang pertama menjadi pencicip masakan kamu.”
Chef Melinda lalu menghampiri meja tempat aku meletakkan mangkuk berisi opor ayam. Ia menyendok sedikit kuah, mencicipinya. Kemudian mulai memotong ayam dan memakannya. Aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Apakah Chef Melinda suka opor ayam buatanku?
Selanjutnya, giliran Chef Budi. Aku menggigit bibir bawah, sangat gugup. Chef Budi terkenal sangat menguasai kuliner nusantara.
“Gimana rasanya dicicipi masakannya oleh Chef Melinda? Dengar-dengar kamu fansnya, ya?” Chef Budi menunggu jawaban sambil mengunyah.
Aku tersenyum. Entah dari mana Chef Budi tahu aku fans Chef Melinda.
“Iya, Chef. Saya suka acara Chocolate with Love yang dipandu Chef Melinda di TV.” Usai menjawab, refleks aku melirik Chef Melinda. Ia tersenyum dan memberiku tanda love dengan jarinya.
Terakhir giliran Chef Arjuna. Ia mengambil sendok, menyendok potongan ayam dan mengunyahnya. Ekspresi wajahnya terlihat biasa saja.
“Saya perhatikan kamu itu gugupan, ya?” Tiba-tiba saja Chef Arjuna bertanya.
Aku mengangguk. “Iya, Chef. Saya gampang demam panggung.”
Chef Arjuna menatapku. “Ini bukan di panggung, kenapa demam? Coba Nasha minum parasetamol biar turun demamnya.”
Mendengar perkataan Chef Arjuna, aku dan dua juri lainnya spontan tertawa. Rupanya di balik wajah galaknya, Chef Arjuna suka melucu. “Biar Nasha nggak tegang, canda sedikit.” Chef Arjuna meletakkan sendok dan kembali ke tempatnya duduk.
Sesi selanjutnya bagian paling mendebarkan, sesi penilaian juri. Aku meremas tanganku yang dinginnya seperti es.
“Oke, tanpa berpanjang-panjang, kita masuk ke sesi terakhir. Hasil penilaian kami bertiga akan menentukan apakah Nasha layak dapat apron ini atau tidak.” Chef Arjuna mengacungkan apron di tangannya. Ia menjelaskan bahwa peserta yang mendapat apronlah yang berhak masuk 20 besar. “Silakan Chef Melinda. Lady, first.”
Chef Melinda mengangguk. “Saya penyuka opor ayam. Untuk saya, bumbu rempah opor buatan Nasha cukup kuat. Tekstur ayam juga sudah pas. Dagingnya empuk, dengan bumbu meresap ke dalam ayam.” Wanita yang menggunakan blus putih itu tersenyum. “Hanya ada satu yang kurang. Nasha tahu apa?”
Aku menggeleng.
“Nasi! Coba tadi kamu sajikan opor dengan nasi yang masih panas, pasti hasilnya lebih oke. Karena gurih kuah opor berpadu dengan nasi itu akan bikin sensasi beda di lidah. Tapi, untuk kali ini nggak apa. Saya masih ingin melihat masakan Nasha yang lain. Jadi dari saya, yes!”
Satu juri telah memberikan suaranya. Selanjutnya giliran Chef Budi. Dengan wajah ramah, chef yang berasal dari daerah Jawa ini mulai bicara. “Secara cita rasa, opor buatan kamu bisa dinikmati. Bumbu rempahnya kuat, yang menjadi kekuatan dalam masakan Nasha. Hanya sayang tidak ada nasi, serta sambal. Tapi, dari saya, juga yes.”
Chef Arjuna menjadi juri terakhir yang memberi penilaian. “Sudah dua yes. Kayaknya dua juga cukup, nggak perlu lagi yes dari saya. Ya, nggak, Nasha?“
Aku hanya meringis, bingung harus memberi komentar apa. “Hm, masih perlu, Chef.”
Chef Arjuna tergelak. “Baiklah, biar cepat. Saya juga, yes!”
Alhamdulillah, tiga yes. Artinya, aku masuk babak 20 besar. Terima kasih, ya Allah.
Aku mendapat apron putih yang harus langsung dipakai. Melihatku kesulitan memasang apron, Chef Melinda berinisiatif membantu. Ia mengikatkan talinya.
Hatiku lega sekali. Perlahan jalan menuju mimpiku makin terbuka. Di aula, Mama dan Kak Beryl menyambut gempita.
“Tuh, kan, apa Kakak bilang, Chef Bunny pasti bisa!” Mata hitam Kak Beryl menatap hangat. Aku menghambur ke dalam pelukannya. Tangisku pecah.
“Udah jangan nangis. Kita ketemu lagi, tiga bulan dari sekarang, di grand final Junior Chef. Bunny, bisa kan?”
Kata-kata dari Kak Beryl itu membuatku terdiam seketika. Aku baru sadar apa yang akan terjadi ketika masuk 20 besar. Aku akan masuk karantina, artinya aku akan berpisah dengan keluargaku selama tiga bulan. Ya Allah, membayangkannya saja sudah membuat perutku tiba-tiba mulas. Apa yang harus aku lakukan?
“Jangan terlalu cemas. Tiga bulan itu nggak lama, kok. Bunny pasti bisa.”
Kak Beryl kembali menguatkan. Aku tidak pernah jauh dari keluarga. Kalau sehari dua hari, sih, tidak masalah, tapi ini tiga bulan. Apa aku sanggup? Aku menghela napas. Tapi, ini kesempatan untuk membuat Mama dan Papa bangga. Melihat antusias mereka sejak awal kompetisi, aku tahu tidak boleh menyerah begitu saja. Lalu, aku mengangguk.
“Iya, Nasha akan berusaha. Kak.”
Kak Beryl menepuk kepalaku lembut. “Good! Kakak tahu Bunny pasti bisa!”
Hari itu juga, aku langsung masuk karantina. Setiap kontestan boleh didampingi salah satu orangtua. Di awal karantina, selama beberapa hari, aku akan didampingi Mama.
Oh iya, di tempat karantina, penempatan kamar sudah diatur oleh panitia. Betapa kagetnya aku saat membaca nama teman sekamarku. Ya Allah, ternyata, aku satu kamar dengan anak perempuan berwajah jutek itu. Anak perempuan yang pancinya kusenggol, aduh!
Ketika bertemu di kamar, aku mengulurkan tangan tanda berkenalan. “Hai, aku Nasha.” Dengan gaya angkuh, anak perempuan itu membalas uluran tanganku dan melepasnya cepat-cepat. Tidak ada senyum di bibirnya.
“Titania,” jawabnya singkat, sekaligus menutup pembicaraan.