Nasha Si Chef Bunny Bagian #8

Bagian #8

GALERI JUNIOR CHEF

 

Mau tahu di mana tempat karantina kami? Di sebuah hotel di daerah Jakarta Barat. Psst, aku dilarang menyebut nama hotelnya, kata Kakak Panitia biar rahasia. Baiklah, aku menurut saja. Setelah urusan merapikan kamar selesai, seluruh peserta dikumpulkan di aula. Aku berharap bertemu Katrina.

Sejak di hotel, kami belum sempat bertemu. Makanya, saat masuk aula, mataku langsung mencari sosoknya. Dan, itu dia! Gadis berkacamata itu sedang duduk. Hampir berlari aku menghampirinya. Katrina yang menyadari kehadiranku tersenyum lebar. Kami berangkulan. Hatiku benar-benar lega.

“Nasha, kita masuk 20 besar. Janji, ya, kita akan bertahan di galeri hingga grand final?” Katrina menyodorkan kelingking tanda berjanji. Aku mengaitkan kelingkingku pada jarinya, tanda setuju.

“Hey, kalian peluk-pelukan. Kok, sama aku nggak?” Ali tiba-tiba ada di dekat kami. Saat bertanya, ekspresi wajahnya begitu lucu. Tangan Ali terbuka minta dipeluk. Katrina memelotot.

“Jangan harap!” Omelan Katrina membuat Ali terkikik.

Aku menggeleng dan meletakkan telunjuk ke mulut. “Psst, acara mau dimulai!” Mendengar kata-kataku, Ali dan Katrina terdiam. Panitia menjelaskan peraturan selama di karantina.

“Satu lagi, tidak boleh ada latihan masak di kamar. Latihan kalian cukup di sesi kelas masak bersama para mentor. Ingat, akan ada hukuman bagi pelanggar peraturan. Kalian mengerti?”

“Siap, Kak!” jawab kami kompak.

**

Sebelum kompetisi 20 besar dimulai, selama seminggu seluruh peserta wajib mengikuti kelas memasak. Dengan dibimbing para mentor, kami akan diajari berbagai teknik dasar memasak. Selain itu, kami akan dikenalkan aneka kuliner nusantara dan mancanegara.

Jangan bayangkan kelas masak yang pesertanya anak-anak itu akan tertib. Di kelas, ketika Kak Ardy menjelaskan aneka bumbu dasar, terdengar cekikikan. Lalu beberapa anak ketahuan mengobrol. Kak Ardy akhirnya bersikap tegas. Ia mulai menghukum anak-anak yang ketahuan melanggar aturan belajar. Rupanya, di antara anak-anak yang terkena hukuman itu ada Ali yang suka bercanda.

Peraturan di karantina sangat ketat, aktivitasnya juga padat, walau begitu, seringnya kami beraktivitas bersama membuat hubungan antar kami menjadi akrab. Lalu bagaimana hubunganku dengan Titania? Ya, sama seperti awal kami bertemu, walau tinggal sekamar, hubungan kami tidak pernah dekat. Titania tipikal anak yang tidak suka berbagi, selalu ingin yang pertama melakukan apa pun termasuk saat mandi.

Pagi ini, jadwal kelas masak dimulai pukul setengah delapan pagi, setelah sebelumnya kami harus mengikuti senam bersama. Sayangnya, Titania ketika mandi lama sekali selesai. Imbasnya, aku jadi datang terlambat, dan mendapat hukuman.

“Untuk menjadi seorang chef, bukan cuma bisa masak, tapi harus memiliki attitude atau sikap yang baik. Apa itu attitude seorang chef, siapa yang tahu?”

Seorang anak mengacungkan tangan. “Disiplin, kerja keras dan pantang menyerah.”

Kak Ardy mengangguk. “Oke. Yang lain, ada lagi?”

Katrina mengacung dan dipersilakan menjawab, “Rapi dan mencintai memasak.”

“Bagus. Ada lagi?”

Ali menjawab lantang. “Punya fisik yang kuat.”

Kak Ardy mengangguk. “Benar, seorang chef mesti punya fisik yang kuat. Sebab itulah di sini, setiap jam enam pagi ada jadwal olahraga. Hal ini agar tubuh kalian tetap bugar selama di karantina.”

Sesi kelas masak selesai pada pukul empat sore. Setelahnya, Kak Ardy membawaku menuju dapur. Aku dihukum dengan bekerja di dapur. Suasana sore itu begitu sibuk, para koki di dapur sedang menyiapkan hidangan untuk makan malam. Kepala koki lalu menugaskanku mencuci bahan makanan, menyiapkan bumbu dan meraciknya. Ini pengalaman pertamaku menyiapkan masakan untuk banyak orang. Benar-benar pengalaman yang luar biasa.

Selesai dari dapur, badanku capek sekali. Seperti habis lari keliling stadion seratus putaran. Baru kurebahkan badan ke tempat tidur, aku sudah tidak ingat dan mendengar apa-apa.

**

Tanpa terasa, sudah seminggu kami mendapat pembekalan di tempat karantina. Kini saatnya menghadapi tantangan selanjutnya. Pukul delapan pagi, kami sudah tiba di galeri.

“Selamat datang, Anak-anak!”

Ketiga chef menyambut kedatangan kami. Aku bisa merasakan semangat yang menggebu begitu kaki melangkah  memasuki galeri, seakan baru pertama masuk ke ruang masak yang megah ini.

Chef Arjuna menerangkan bahwa di babak 20 besar, akan ada tiga sesi. Sesi pertama, babak individu untuk mengetahui kekuatan peserta. Sesi kedua, babak tanding berpasangan atau berkelompok, untuk kerja dalam tim. Terakhir, sesi ketiga adalah babak eliminasi. Di babak eliminasi, dua kontestan dengan hasil masak terburuk akan pulang.

“Anak-anak, galeri inilah tempat untuk membuktikan apakah kalian mampu menjadi yang terbaik di antara yang terbaik.”

Suara lantang Chef Arjuna membuatku mengangguk.

“Siapa yang ingin jadi juara satu Junior Chef?” tanya Chef Budi. Semua kontestan mengacungkan tangan, termasuk aku. Chef berwajah kalem ini mengingatkan kami untuk mengeluarkan segenap kemampuan yang dimiliki.

Selanjutnya Chef Melinda yang bicara. “Untuk tantangan kali ini kalian diminta untuk membuat menu spesial dengan bahan dasar daging sapi. Waktu kalian hanya satu jam.” Ia menjelaskan bagian-bagian tubuh sapi yang bisa diolah menjadi makanan.

Saat bel berbunyi nyaring, tanda dimulai, aku dan kontestan lain bergegas mengambil keranjang. Lalu lari menuju pantri untuk mengambil bahan-bahan untuk dimasak. Waktu terus berpacu dan aku harus bergerak cepat. Aku kembali lari ke ruang perlengkapan untuk mengambil alat masak yang digunakan. Aku akan memasak semur daging ala Nenek.

Enam puluh menit berlalu, lonceng berbunyi nyaring menandakan waktu telah habis. Semua kontestan mengangkat tangan ke atas.

Awalnya aku berharap semurku terpilih jadi masakan terbaik, karena Chef Budi terlihat sangat suka dengan masakanku. Sayangnya itu tidak terjadi. Masakan terbaik jatuh pada steak yang dimasak seorang anak laki-laki bermata hazel. Namanya, Tom. Anak yang berwajah kebule-bulean itu mendapatkan lencana berbentuk bintang.

Esoknya, kami kembali ke galeri untuk menghadapi sesi tanding berpasangan. Dengan diundi acak, aku ternyata berpasangan dengan Denise, peserta termuda yang berpipi tembam. Tantangan yang diberikan memasak keik berbahan dasar cokelat. Tiga tim yang membuat keik terburuk, akan masuk babak eliminasi.

Walau Denise baru berusia delapan tahun, ia anak yang pintar dan mudah diajak bekerja sama. Kami menjadi tim yang kompak. Saat presentasi keik, juri cukup puas dengan hasil olahan kami. Walau tidak masuk tiga besar terbaik, kami juga tidak masuk tiga terburuk.

Katrina dan pasangannya juga berhasil lanjut ke babak berikutnya. Namun, tidak buat Ali yang berpasangan dengan Titania, serta dua pasang kontestan lainnya. Keik Ali dan Titania bantet. Tentu saja, aku dan Katrina merasa was-was ketika Ali masuk babak eliminasi. Kami tidak mau Ali pulang.

“Ali, semangat! Kamu pasti bisa!”

Ali mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya yang membentuk huruf V. Ia tersenyum lebar, dan terlihat santai tanpa beban. Di samping Ali, berdiri Titania yang menatapku tajam. Aku bisa mendengar suaranya.

“Kamu pasti senang kalau aku pulang, kan?”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar