Nasha Si Chef Bunny Bagian #9

Bagian #9

SEBUAH JANJI

 

Aku pura-pura tidak mendengar perkataan Titania. Kalau dijawab pun hanya akan membuat keadaan jadi makin tidak nyaman. Untunglah Katrina menjadi penyelamat. Ia menggandeng tanganku menuju tempat duduk penonton.

“Udah nggak usah diladeni.”

Aku setuju dengan usul Katrina. Lebih baik fokus menghadapi kompetisi. Seperti kura-kura yang tetap fokus berjalan, walaupun awalnya ia diremehkan si kelinci dan hewan-hewan lainnya.

**

Di babak eliminasi, setiap peserta akan memasak sendiri-sendiri. Ali, Titania dan empat kontestan lainnya menjadi peserta pertama yang masuk babak eliminasi di 20 besar. Dua peserta dengan hasil masak terburuklah yang akan pulang. Ya Allah, aku berdoa semoga bukan Ali yang pulang.

Di babak eliminasi 20 besar, Chef Melinda memberikan tantangan membuat makanan penutup. Aku bisa melihat kalau keenam kontestan sudah berusaha memberikan yang terbaik. Begitu pula, Ali. Walaupun terkenal suka bercanda di jam belajar, dan sering dihukum Kak Ardy, tetapi di cooking station, Ali terlihat berbeda. Dengan cekatan, ia menyiapkan bahan dan mengolahnya. Ali terlihat tenang dan terampil.

Waktu masak habis, satu per satu peserta dipanggil untuk dicicipi hidangannya oleh ketiga chef. Giliran nama Ali disebut, jantungku rasanya mau copot. Ini saat penentuan untuk Ali, tetap bertahan atau pulang.

Di babak ini, Ali menyajikan keik tipis yang disusun tiga layaknya pancake. Bagian atasnya disiram dengan saus karamel dengan diberi stroberi utuh. Benar-benar tampilan dessert yang menarik. Chef Melinda menjadi pencicip pertama.

“Wow, dessert kamu ini rasanya enak. Teksturnya empuk, lapisan keiknya bagus, garnishnya cantik. Saya suka stroberi.” Chef Melinda tak ragu memuji hasil masakan Ali.

Mendengar komentar itu, aku dan Katrina yang duduk di barisan penonton begitu gembira. Chef Budi memberi jempol, sedangkan Chef Arjuna bahkan sampai tiga kali menyuap sekaligus menghabiskan dessert buatan Ali. Sebuah pertanda bagus.

Saat pengumuman peserta yang tereliminasi, bukan nama Ali maupun Titania yang disebutkan Chef Arjuna. Aku bersyukur Ali masih bertahan.

**

Tantangan demi tantangan kami hadapi, satu per satu peserta mulai berguguran dan pulang. Hingga akhirnya, tersisa sepuluh anak kontestan Junior Chef. Mereka adalah aku, Katrina, Ali, Titania dan enam anak lainnya. Kuperhatikan anak-anak yang masuk sepuluh besar berusia belasan tahun. Ketatnya kompetisi mau tak mau cukup menyulitkan bagi peserta yang usianya muda.

Di antara kontestan tersisa, ada satu yang mencuri perhatianku, Tom Khaleed Mudzafar. Anak laki-laki bertampang blasteran itu pembawaannya kalem dan pendiam. Usianya 13 tahun, dan menjadi peserta tertua di kompetisi ini.

Namun, entah kenapa, setiap melihat Tom, aku seperti melihat sosok Kak Beryl. Kalau diperhatikan lebih jelas, memang ada sedikit kemiripan antara wajah Tom dengan Kak Beryl. Terutama bentuk hidung mancungnya, serta cara mereka tersenyum.

**

Di sepuluh besar ini, terjadi pergantian kamar. Memang secara berkala, panitia melakukan rooling agar antar peserta lebih akrab dan saling mengenal. Saat Kak Ardy membacakan penempatan kamar, aku bersorak ketika namaku disebut bersama Katrina. Artinya aku akan sekamar dengan sahabatku.

Aku jadi tambah semangat mengikuti kompetisi. Malam sebelum tidur, aku dan Katrina suka mengobrol apa saja.

“Sha, aku perhatiin kamu suka ngeliatin Tom, kenapa?” bisik Katrina yang mengagetkanku. Aku tidak menyangka bakal diperhatikan Katrina.

“Oooh, mungkin karena aku kangen Kak Beryl. Wajah Tom itu agak mirip kakakku. Tapi, teman-teman kontestan di Junior Chef, semua udah kuanggap seperti keluarga.”

Katrina mengangguk dan ikut mengakui jika ia sama sepertiku. Namun, tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah jail.

“Sama Titania, juga?”

Katrina mengucapkan nama tersebut sambil menutup mulutnya. Ia tahu aku masih saja bermasalah dengan anak perempuan itu. Aku sendiri juga heran, apa salahku hingga begitu tidak disukai Titania. Perasaan, tingkahku biasa saja.

“Wkwkwk. Nggak tahu deh, kenapa dia nyebelin gitu, ya?”

Katrina mengangkat bahu. “Bukan cuma sama kamu aja Titania jutek, sama aku dan yang lain juga. Mungkin karena Titania itu anak tunggal. Jadi biasa dapat apa pun yang dia mau. Padahal, nggak semua yang kita inginkan itu bisa kita dapetin.”

Aku menatap Katrina, dan menyadari betapa dewasa pikirannya. “Wuiih, kamu makan apaan, Kat? Kok ngomongnya udah kayak ibu ustazah.”

Katrina terbahak. “Ya nasi, dong. Masa piring, jadi kuda lumping, dong.”

Kami tertawa bersama. Benar-benar asyik satu kamar dengan Katrina. Anaknya riang dan cocok denganku.

“Tapi perasaanku bilang kalau Tom itu yang akan masuk grand final, Sha. Entah dia akan berhadapan denganku atau kamu.”

Mendengar perkataan Katrina itu aku terkikik. “Pede banget kamu, Kat.”

Katrina tersenyum. “Wo, jelas. Pede nama tengahku. Katrina Pede Almaira,” ucapnya terkekeh. Sejurus kemudian, Katrina berdiri, lalu berjalan dengan menggoyang-goyang tubuhnya sembari melambaikan tangan. Benar-benar persis selebriti yang sedang berjalan di atas panggung.

Aku melempar bantal ke arah Katrina yang dengan gesit ditepisnya. Sejurus kemudian tawa membahana memenuhi kamar. Aku suka sikap positif yang dimiliki Katrina, menyenangkan memiliki sahabat sepertinya.

Katrina mengempaskan tubuhnya ke ranjang, tepat di sampingku. Wajahnya berubah serius. “Tapi yang kubilang itu benar, lho, Sha. Tom itu punya kemampuan di atas kita. Lihat saja, siapa yang sampai saat ini punya lencana juara terbanyak? Tom! Dia berhasil mendapatkan empat pin winner.”

Iya juga, ya. Pantas saja banyak penonton yang menjagokannya. Selain sering jadi pemenang tantangan, Tom juga orang yang menyenangkan. Dia tidak suka sesumbar dan menonjolkan diri.

“Kalau gitu, di grand final nanti Tom sama aku aja, deh!” Perkataanku ini sukses dibalas dengan lemparan bantal dari Katrina. Sayangnya aku tidak dalam posisi siap menerima serangan. Bantal itu tepat mengenai mukaku. “Aduh, Kat. Bukannya ucap amin. Malah lempar bantal. Sakit, nih!”

“Ya ampun, maaf, Sha. Aku lemparnya terlalu kencang.” Ekspresi wajah Katrina begitu menyesal. Aku meringis sambil mengusap muka.

“Tapi, Kat, sebenarnya aku berharap, kita yang masuk grand final. Pasti seru banget.”

Katrina memelukku. “Iya, asyik banget kalau itu terjadi beneran. Makanya, kita mesti sungguh-sungguh, Sha. Janji, yuk. Kita harus saling menyemangati dan do the best?

Aku mengangguk dan mengepal tangan mengarah ke depan. Katrina juga mengepalkan tangannya. Kami mengadu kedua kepalan tangan.

“Aku janji!”

“Kita akan jadi yang terbaik. Ayo semangat!” Katrina berseru lantang. Kami pun memejamkan mata dan mulai tertidur.

Aku ingin esok segera tiba. Tak sabar menanti tantangan apa yang akan kami hadapi berikutnya.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar