Pasar Tiban

Aroma pisang, santan dan pandan berpadu mendesak keluar dari klakat. Kepulan uap terus menerus membumbung di atas kompor. Dapur Bude menjadi tempat uji nyali saat puasa di tengah hari.

Sudah tak terhitung berapa kali Sari harus menelan ludah menahan godaan. Aneka aroma makanan membuatnya meningkatkan rasa sabar. Bahkan ia sempat tergiur dengan seledri yang sedang diirisnya, padahal biasanya ia tak tertarik makan sayur.

“Sari, sekarang tolong bungkus nogosari ya,” ucap Bude sambil membawa wadah berisi adonan tepung beras. 

Sari memang sudah terbiasa untuk perkara membungkus nogosari ini sejak awal membantu Bude. Siapkan daun pisang sesuai ukuran, ambil satu sendok makan adonan, taruh di tengah daun pisang, beri potongan pisang, tambahkan sedikit adonan, lalu tutup dengan melipat sisi kanan, kiri, atas dan bawah daun pisang.

Setelah ashar semua menu sudah siap. Carang gesing, nogosari, bihun yang sudah terbungkus, koktail dalam plastik kecil, mendoan dan bakwan dalam satu kotak besar.  Sari dan Mbah Kakung pun sudah siap membantu untuk membawakan ke meja lapak Bude di Pasar Tiban.

Allahu Akbar!” Tiba-tiba terdengar teriakan Bude di dapur.

Mbah Kakung segera berlari menuju dapur, disusul Sari. Bude masih posisi tersungkur di depan kamar mandi. Wajah Bude begitu pias, Sari pun tak kalah cemas.

Innalillah, kowe ngapa?” Mbah Kakung mengangkat tubuh Bude supaya bisa duduk.

“Tadi kepleset, mungkin keseleo, sakit sekali ini digerakkan.” Bude mengamati kedua kakinya yang sedang diluruskan. 

Mbah Kakung membantu Bude berjalan ke ruang tengah. Bude terlihat sangat kesusahan untuk melangkah. Sari segera mengambil minyak urut yang diminta Bude.

Kedua tangan Sari perlahan membalur kaki Bude dengan minyak urut. Ia sangat hati-hati karena khawatir membuat Bude kesakitan.

“Bagaimana ini, Pak? Aku tidak bisa jalan.” Bude memandang ke arah makanan yang berbaris rapi siap untuk dijual.

Mbah Kakung menangkap maksud Bude, lalu menatap ke arah Sari.

“Sari, kamu bisa jualan ya?” tanya Mbah Kakung, lebih tepatnya minta tolong.

Sari terlihat bingung. Ia selalu membantu Bude memasak di dapur, tapi belum pernah sampai ikut Bude berjualan. 

Terlintas ide dalam pikiran Sari.

“Mbah Kakung, Sari boleh mengajak Eka berjualan?” tanya Sari.

“Tidak apa-apa, Nduk. Nanti saat pembeli banyak, kalian bisa bagi tugas.” Bude yang menjawab dengan ramah, meski tetap menahan sakit. 

Sari bergegas ke rumah Eka, menyampaikan maksudnya. Sesuai perkiraan Sari, Eka antusias dengan ajakannya, meskipun keduanya belum pernah ikut berjualan. Mereka segera diberi penjelasan singkat oleh Bude. Tak lupa Sari mencatat semua harga di selembar kertas.

Meja lapak Bude sudah siap, bersama deretan meja lain dengan aneka menu jualannya di Pasar Tiban. Pasar yang hanya ada saat bulan puasa di Kauman ini selalu dinanti oleh warga kampung juga dari luar kampung. Tak heran area parkir motor selalu memenuhi sebagian tepi jalan raya. 

Sari dan Eka pun bersiap di belakang meja. Mereka semangat sekaligus terselip rasa khawatir bagaimana nanti saat melayani pembeli. Berulang mereka menghafal harga setiap menu.

“Carang gesing dua ya.” Pembeli pertama sudah datang.

Sari memasukkan dua bungkus carang gesing ke dalam kresek dengan hati-hati.

“Jadi 2.500, Bu” ucap Sari ramah.

Sari lega, transaksi pertamanya lancar.

Tak menunggu lama, pembeli kedua datang.

“Nogosari empat, bihun tiga, mendoan lima.”

Sari segera mengambil tiga kresek, lalu berbisik ke telinga Eka.

“Kamu bantu hitung harganya ya, biar cepat.”

Sari menyebut makanan yang sudah dimasukkan ke dalam kresek, dan Eka segera menghitungnya.

“Nogosari empat 2.000, bihun tiga 3.000, mendoan lima 1.000. Jadi semuanya,” Eka berpikir sejenak.

“Semua jadi 6.000, Bu,” ucap Sari kepada pembeli.

Sari dan Eka bernafas lega, transaksi kedua lancar meskipun cukup menantang.

“Sari, nanti kamu yang hitung saja. Aku sering lama mikir.” Eka tertawa.

Suasana Pasar Tiban semakin sore semakin ramai. Begitu juga di meja lapak Bude. Pembeli ketiga dan keempat datang bersamaan. Ketegangan mulai muncul di raut wajah Sari dan Eka. Sebenarnya Sari pun lemah untuk berhitung cepat.

Kertas yang dibawa Sari tadi mulai kusut karena penuh coretan penjumlahan. Mereka menyerah untuk berhitung cepat. Akhirnya pakai hitungan di kertas supaya tidak salah menjumlah.

Seorang anak perempuan mampir di meja lapak Bude. Ia memperhatikan Sari dan Eka yang sedang sibuk melayani pembeli dan berhitung di atas kertas.

“Eh, Dewi. Mau beli apa?” tanya Eka. Ia mengenal Dewi, anak tetangga yang sering malu diajak bermain.

“Aku boleh bantu kalian jualan?” Pertanyaan Dewi jelas membuat kaget Sari dan Eka.

“Eh, boleh sini!” Sari tak berpikir panjang, karena mereka berdua sudah mulai kewalahan melayani pembeli dengan cepat.

Tak disangka, Dewi datang benar-benar sebagai penolong. Kemampuan Dewi berhitung jelas di atas rata-rata. Selanjutnya pembagian tugas sudah jelas. Eka bertugas memasukkan pesanan ke dalam kresek, Dewi menghitung total harga, Sari menerima dan memberikan kembalian sesuai hitungan dari Dewi.

*

      

Cerita Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar